Polusi Jakarta, Bukti Ketidakseriusan Pemerintah dalam Mengurangi Emisi

Intan Lestari
Mahasiswi Sekolah Ilmu Lingkungan UI- Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan
Konten dari Pengguna
23 Agustus 2023 16:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Intan Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto kondisi polusi udara Jakarta pada pukul 14:45 WIB pada Jumat (18/8/2023).  Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Foto kondisi polusi udara Jakarta pada pukul 14:45 WIB pada Jumat (18/8/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selama sebulan polusi mengakibatkan buruknya kualitas udara di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia masuk kategori tidak sehat. Dilansir oleh CNBC (9/8), Air Quality Index (AQI) di Jakarta mencapai 165 AQI US. Pola yang sama juga dialami oleh beberapa kota besar lainnya. Sebagai contoh, indeks kualitas udara pada 16 Agustus 2023, di Surabaya (82 AQI US), Pontianak (78 AQI US), dan Bandung (122 AQI US), juga termasuk rendah.
ADVERTISEMENT
Beberapa data di atas, menunjukkan kualitas udara yang sangat rendah di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini akan berdampak negatif kepada kesehatan masyarakat di beberapa kota tersebut. Padahal, konstitusi menjamin bahwa setiap warga Negara berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu, kondisi udara yang buruk menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menjamin hak asasi manusia untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat.

Menyangkal Jaminan Lingkungan Hidup Sehat

Secara konstitusional, setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Hal ini dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Artinya, Negara wajib menjamin kondisi lingkungan hidup yang baik demi kesehatan masyarakat. Namun, alih-alih menjamin hak tersebut, pemerintah justru menunjukkan sikap penyangkalan terhadap realitas lingkungan.
ADVERTISEMENT
Penyangkalan pemerintah dapat terlihat pada gugatan sejumlah kelompok masyarakat sipil di PTUN pada 2019 lalu. kelompok tersebut menggugat Presiden, Menteri LHK, Menteri Kesehatan, dan Gubernur DKI Jakarta yang gagal menjaga kualitas udara di Jakarta. Putusan tersebut mengabulkan gugatan penggugat, namun presiden dan kementerian justru mengajukan banding dengan dalih telah melakukan aksi yang dituntut dalam gugatan. Hanya Pemprov DKI Jakarta saja yang menerima dan menjalankan Putusan tersebut.
Pemerintah kembali menyangkal faktor kualitas udara yang buruk ketika polusi udara di Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya menjadi perbincangan publik. Tuntutan publik untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat, justru dijawab dengan imbauan work from home dan mengkambinghitamkan emisi transportasi sebagai penyebab utama. Padahal, dalam beberapa kajian, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) disinyalir menjadi kontributor signifikan bagi buruknya kualitas ibukota dan daerah penyangga.
ADVERTISEMENT

Kegagalan Menangkap Masalah Polusi

Polusi udara mengepung Monas di Jakarta Pusat, Selasa (25/7/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Respons pemerintah terhadap kualitas udara yang buruk sangat parsial dan gagal menyasar akar permasalahan. Sebagai contoh, Presiden hanya fokus pada imbauan Work From Home bagi para pekerja. Hal yang sama juga diujarkan oleh Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. Selain itu, solusi yang ditawarkan pasca Ratas Kabinet (14/8) untuk jangka menengah dan panjang, hanya berfokus pada pengurangan emisi dari sektor transportasi.
Nyatanya, faktor polusi bukan hanya bersumber dari emisi penggunaan transportasi. Polusi juga disebabkan beroperasinya PLTU yang bersumber dari pembakaran batubara dengan dampak yang cukup signifikan. Terdapat sebanyak 16 PLTU yang ada di sekitar Jakarta, 10 di antaranya berada di Banten dan 6 berada di Jawa Barat (Data Indonesia, 2023).
ADVERTISEMENT
Namun, pemerintah melalui KLHK menampik argumen tersebut, dengan menegaskan bahwa PLTU bukan sebagai sumber utama polusi di Jakarta (Antara, 2023). Menteri LHK, melakukan pemantauan hanya berfokus pada PLTU Suralaya, sementara masih terdapat 15 PLTU lainnya tersebar di sekitar Jakarta.
Alih-alih mempermasalahkan sumber mana yang menghasilkan polutan lebih banyak, pemerintah seharusnya beralih menggunakan energi bersih. Gas buangan (NOx, SOx, COx) yang dihasilkan dari PLTU batubara dapat memperburuk kualitas udara dan berdampak terhadap kesehatan. Penelitian Masyitoh (2015) menunjukkan kenaikan konsentrasi sebesar 1 μg/m3 pada SO2 dan NO2 akan meningkatkan kejadian ISPA sebesar 41 dan 22 kejadian. Dampak langsung yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar PLTU Marunda juga menunjukkan hal serupa yaitu meningkatnya penyakit ISPA, penyakit kulit, gatal, hingga jantung, dan penyumbatan darah di otak (Greenpeace, 2023).
ADVERTISEMENT
Dampak tersebut merupakan eksternalitas negatif yang tidak disertakan dalam biaya produksi. Kerugian kerugian yang dirasakan masyarakat tidak dihitung sebagai biaya tambahan yang seharusnya dicover dalam biaya produksi. Untuk menekan pasar dalam mengurangi emisi maka perlu adanya instrumen untuk menginternalisasikan eksternalitas negatif tersebut.

Monetisasi Polusi adalah Solusi?

Upaya untuk menginternalisasikan eksternalitas tersebut sudah mulai dilakukan oleh pemerintah melalui penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) melalui Perpres No. 98 Tahun 2021 di antaranya dengan skema pajak dan perdagangan karbon. PLTU batubara menjadi satu satunya sektor yang dikenakan pajak karbon dan seharusnya sudah berlaku sejak April 2022. Sementara sektor lainnya diberikan kebebasan untuk memilih skema pajak atau perdagangan karbon.
Meskipun pajak atau perdagangan karbon disinyalir dapat menekan emisi tetapi skema tersebut ditenggarai hanya dijadikan alat untuk menghasilkan pendapatan baru dari ‘komoditas’ karbon. Hal ini tercermin dari pengaturan pajak dan perdagangan karbon yang masih longgar. Salah satunya adalah offset lintas sektor.
ADVERTISEMENT
Offset lintas sektor ini hanya memindahkan kredit karbon yang dibeli tanpa melakukan penurunan emisi secara riil. Sebagai contoh, emisi sektor transportasi di Jakarta dapat di-offset dengan membeli kredit karbon hutan yang ada di Papua. Pembelian kredit tersebut tidak akan berpengaruh secara riil terhadap penurunan emisi di Jakarta. Pembelian kredit tersebut tidak lantas menjadikan kualitas udara di Jakarta lebih baik. Artinya, orang di Jakarta akan tetap menghirup udara kotor.
Seharusnya untuk memperoleh kualitas udara yang lebih baik penurunan emisi dilakukan dengan dekarbonisasi secara in situ. Offset yang seharusnya dilakukan adalah offset di dalam sektornya sendiri melalui peningkatan kualitas dan teknologi. Upaya tersebut akan menurunkan emisi secara riil dari sektornya.
Penurunan emisi secara nyata dapat dilakukan dengan memperketat offset lintas sektor. Namun, adanya kelonggaran offset ini memperkuat tujuan diberlakukannya NEK adalah generating money. Airlangga, Menko Perekonomian, menaksir pendapatan dari karbon mencapai Rp. 8000 Triliun atau hampir 4 kali APBN Tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemerintah juga lebih memprioritaskan perdagangan karbon, bukan pajak karbon. Seharusnya pemerintah lebih mengutamakan pajak karbon yang dihimpun melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) untuk kegiatan adaptasi mitigasi perubahan iklim terutama bagi kelompok rentan, marginal, dan paling terdampak dari perubahan iklim. Sebagai bentuk perwujudan keadilan iklim yang distributif. Sementara perdagangan karbon cenderung akan memberikan manfaat materil lebih besar pada kelompok bisnis besar.
Perdagangan karbon ini dapat menjadi instrumen yang dapat mempercepat aksi penurunan emisi, dengan catatan setidaknya terdapat 3 hal yang harus dipastikan (Madani, 2023). Pertama penentuan target yang ambisius tercermin dari penetapan cap yang ketat dan penentuan baseline yang riil. Kedua, harus menjamin adanya integritas sosial dan lingkungan dalam implementasi proyek.
ADVERTISEMENT
Ketiga, adanya transparansi dan keterlibatan publik dalam mengimplementasikan proyek. Terpenuhinya ketiga aspek tersebut akan mendorong apa yang sering disebut oleh Prof. Emil Salim to get the prices right menetapkan harga yang tepat bukan to get the right prices memperoleh harga yang diinginkan.
Tulisan ini merupakan pandangan pribadi tidak mewakili pandangan institusi tempat penulis bekerja.