Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
RUU TNI Terindikasi Penyelewengan Legislasi, Membenamkan Demokrasi
12 Mei 2025 16:57 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Intan Nur Aeni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah dalam menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah menimbulkan keresahan dan kekecewaan yang meluas di tengah masyarakat. Langkah tersebut dianggap sebagai bentuk kemunduran demokrasi, yang terjadi di tengah situasi politik nasional yang kian menunjukkan kemerosotan kualitas demokrasi dalam beberapa tahun terakhir. RUU ini dinilai mencerminkan gejala kemunduran dari prinsip-prinsip reformasi yang telah diperjuangkan sejak 1998.
ADVERTISEMENT
Banyak akademisi, aktivis, mahasiswa, serta organisasi masyarakat sipil menyampaikan kekhawatiran bahwa pengesahan RUU TNI akan melemahkan prinsip-prinsip demokrasi dan membuka jalan bagi munculnya kembali praktik-praktik otoritarianisme seperti pada masa Orde Baru. “RUU ini berpotensi membawa Indonesia kembali ke era neo-Orde Baru,” ujar Ahmad Wafa, seorang perwakilan mahasiswa yang tergabung dalam aksi protes di Tuban. Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap arah kebijakan yang sedang ditempuh pemerintah dan DPR dalam bidang pertahanan dan keamanan negara.
RUU TNI ini mendapatkan perhatian serius dari kalangan akademisi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Mereka secara tegas menyoroti potensi kemunduran demokrasi apabila militer kembali diberikan ruang untuk terlibat dalam urusan sipil, politik, serta kegiatan ekonomi. Keterlibatan tersebut dipandang bertentangan dengan semangat reformasi dan prinsip supremasi sipil yang merupakan pilar utama dalam sistem negara hukum yang demokratis. Prinsip bahwa militer harus tunduk kepada otoritas sipil merupakan fondasi dari demokrasi modern yang sehat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, para akademisi menyatakan bahwa RUU ini membuka peluang terjadinya impunitas di lingkungan militer serta mengancam independensi lembaga peradilan. Kondisi ini dinilai dapat melemahkan sistem hukum nasional serta meningkatkan risiko terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu, mereka mendesak agar proses penyusunan dan pembahasan RUU TNI dilakukan secara transparan, inklusif, dan berpijak pada nilai-nilai demokrasi serta penghormatan terhadap HAM. Keterlibatan publik yang bermakna (meaningful participation) menjadi elemen krusial dalam memastikan kebijakan yang dihasilkan mencerminkan kepentingan rakyat dan sejalan dengan cita-cita reformasi.
Terdapat enam poin utama yang menjadi sorotan para akademisi terhadap RUU TNI, yang dianggap mengandung risiko serius bagi kehidupan demokrasi dan tatanan hukum di Indonesia.
Pertama, keterlibatan militer dalam ranah sipil dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
RUU ini dinilai membuka kembali ruang bagi militer untuk berperan aktif dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi-bisnis. Praktik ini mengingatkan pada masa Orde Baru, ketika militer memainkan peran dominan di luar fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara. Ketika militer terlibat dalam aktivitas di luar fungsi pokoknya, hal ini berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan yang mengganggu sistem ketatanegaraan yang demokratis.
Kedua, pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil dan negara hukum.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, militer seharusnya berada di bawah kendali otoritas sipil dan tunduk kepada hukum. Ketentuan dalam RUU ini dinilai mencederai prinsip tersebut dan berpotensi menurunkan kualitas demokrasi pascareformasi. Supremasi sipil merupakan prinsip fundamental yang harus dijaga untuk mencegah dominasi militer dalam ruang publik dan politik.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ancaman terhadap independensi peradilan.
Perluasan kewenangan militer yang diatur dalam RUU ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya intervensi dalam proses hukum yang seharusnya berlangsung secara bebas, adil, dan objektif. Hal ini berisiko mencederai prinsip due process of law dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Keempat, potensi impunitas di lingkungan militer.
RUU ini dianggap dapat memperbesar peluang terjadinya pelanggaran hukum dan HAM yang tidak ditindak secara adil, mengingat lemahnya mekanisme akuntabilitas yang melekat pada institusi militer. Jika pelanggaran hukum tidak ditindak secara proporsional dan transparan, maka akan timbul budaya impunitas yang mengancam keadilan.
Kelima, kemunduran demokrasi dan melemahnya partisipasi sipil.
Penguatan peran militer dalam ranah sipil dapat menciptakan iklim otoriter dan represif, yang pada gilirannya menekan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi yang sehat memerlukan ruang partisipasi yang luas bagi warga negara, bukan dominasi institusi yang bersifat koersif.
ADVERTISEMENT
Keenam, risiko terulangnya pelanggaran HAM.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil dan politik sering kali diiringi oleh pelanggaran HAM secara sistematis. Ketidakterlibatan otoritas sipil dalam mengawasi peran militer dapat membuka ruang bagi terjadinya kembali pelanggaran serupa di masa depan.
Selain permasalahan dari segi substansi, proses penyusunan RUU TNI juga mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan. Kritik terutama diarahkan pada minimnya partisipasi publik yang bermakna. Dalam sistem demokrasi yang sehat, partisipasi masyarakat merupakan komponen esensial dalam setiap proses pembentukan kebijakan, termasuk dalam pembahasan undang-undang yang memiliki dampak besar terhadap kehidupan bernegara.
Namun, dalam pembahasan RUU ini, prinsip keterbukaan dan inklusivitas tampaknya diabaikan. Salah satu sesi pembahasan diketahui dilakukan secara tertutup di sebuah hotel, tanpa melibatkan masyarakat sipil, media, maupun pemantau independen. Ketika informasi mengenai pertemuan tertutup tersebut tersebar ke publik dan masyarakat sipil mencoba hadir untuk menyampaikan aspirasi, lokasi tersebut justru dijaga ketat oleh personel Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI. Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran mendalam karena mencerminkan adanya upaya pembungkaman terhadap kritik publik serta mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam proses legislasi.
ADVERTISEMENT
Tindakan semacam ini tidak hanya menyalahi asas keterbukaan, tetapi juga menimbulkan preseden buruk dalam praktik demokrasi Indonesia. Proses legislasi yang dilakukan secara tertutup dan eksklusif akan memperlemah kepercayaan publik terhadap lembaga negara, serta menimbulkan asumsi bahwa terdapat agenda tersembunyi yang bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Melihat berbagai persoalan tersebut, para akademisi dari berbagai institusi pendidikan tinggi menegaskan bahwa penyusunan dan pembahasan RUU TNI harus dilaksanakan secara berhati-hati, terbuka, dan inklusif. Seluruh elemen masyarakat—termasuk organisasi masyarakat sipil, pakar hukum, akademisi, dan kelompok rentan—perlu dilibatkan secara aktif dalam setiap tahapan perumusannya. Keterlibatan publik tidak boleh hanya bersifat formalitas, melainkan harus menjadi bagian integral dalam proses legislasi demi menjamin hadirnya kebijakan yang demokratis.
Reformasi sektor keamanan yang sejati hanya dapat terwujud apabila berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. TNI sebagai alat pertahanan negara harus tetap berada dalam koridor konstitusi, dan tidak menyimpang dari fungsi utamanya sebagai penjaga kedaulatan dari ancaman eksternal. Keterlibatan militer dalam urusan sipil tanpa pengawasan ketat dari otoritas sipil hanya akan membuka jalan bagi kembalinya pola kekuasaan otoriter yang telah ditolak rakyat sejak reformasi 1998.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sangat penting bagi DPR dan pemerintah untuk mengedepankan pendekatan yang demokratis, transparan, akuntabel, serta partisipatif dalam proses pembahasan RUU TNI. Tujuan utamanya adalah agar TNI tetap menjadi institusi profesional, tunduk pada konstitusi dan hukum nasional, serta tidak menyimpang dari semangat reformasi yang menjadi fondasi demokrasi Indonesia modern.