Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pemicu Utama KDRT, 340 ribu Anak Usia Remaja Menikah Setiap Tahun
7 Januari 2018 13:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Intan Putriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Tidak tahu, mungkin menikah!”
Ini bukan kutipan dari cerita fiksi, ini adalah jawaban dari banyak anak perempuan kelas SMA dan SMP dari beberapa sekolah di Entikong --wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
ADVERTISEMENT
Pertengahan tahun 2016 lalu saya dan rekan-rekan fasilitator forum anak dari Kalimantan Barat melakukan acara sharing session ‘remaja berencana’ bersama para remaja SMP dan SMA di Entikong.
Pertemuan dengan remaja itu dikemas secara santai dengan sesekali disisipi kuis dan permainan.
Pada saat itu ada hal yang membuat saya tercengang dan sampai saat ini masih menjadi unek-unek yang sulit dienyahkan. Pertama, ketika saya menanyai mereka, setelah lulus sekolah mereka mau ngapain? Beberapa anak yang tidak tahu bagaimana masa depan membawa mereka, menjawab : "mungkin akan menikah.”
Mendengar kalimat pendek ini terucap dari mulut remaja perempuan membuat hati saya getir. Bagaimana mungkin anak-anak mengucapkan kata menikah seolah-olah itu adalah cita-cita semata wayangnya? Nothing more.
Selama lebih dari 10 tahun saya terlibat bersama forum anak mulai dari daerah saya di Dompu-NTB dan 5 tahun menjadi fasilitator anak secara nasional.
ADVERTISEMENT
Selama itu saya menyadari banyak sekali dinamika yang dialami oleh anak dan remaja di Indonesia, rumit dan njelimet. Dari mulai terjerat kemiskinan sampai dipaksa menikah di usia anak, tapi mendengar anak-anak ‘bercita-cita menikah’ adalah yang perdana.
Menikah di usia anak atau remaja BUKAN pilihan yang tepat sekalipun dengan persetujuan si anak.
Karena menikah adalah tentang kesiapanan, melibatkan aspek fisik dan non fisik seperti kesiapan mental, ekonomi, perasaan cinta terhadap orang yang akan dinikahi, maupun kesiapan sosial.
Menilik pengertian remaja sebagai fase transisi dari masa anak-anak menuju dewasa, yang berarti remaja masih memiliki sifat kanak-kanak dan belum bisa disebut sebagai dewasa.
Namun, kenyataannya, berdasarkan analisis data perkawinan anak di Indonesia tahun 2016 atas kerja sama UNICEF dan BPS, pernikahan usia anak di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Timur dan Pasifik, di mana ada sekitar 340 ribu anak perempuan di Indonesia menikah setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Pernikahan di usia anak menurut data yang sama menyebutkan bahwa masalah pendidikan dan ekonomi berhubungan langsung dengan tingginya angka pernikahan usia anak.
Di satu sisi bahwa menikah adalah tentang kesiapan secara ekonomi untuk membiayai kehidupan pascamenikah. Disisi lain faktor ekonomi yang sulit menjadi salah satu alasan kuat untuk menikah terutama bagi remaja perempuan. Ironi.
Sama halnya juga dengan aspek pendidikan, bahwa pada kenyataannya banyak remaja Indonesia yang menikah ketika tidak bisa melanjutkan pendidikan seperti setelah lulus SMP atau SMA. Untuk segera mengganti status pelajar menjadi ibu rumah tangga.
Contoh ini banyak terjadi di daerah saya di NTB, dan ini juga dialami langsung oleh teman maupun anak dan remaja di daerah saya. Ke mana saya bisa meneriakkan “anak atau remaja adalah kandidat yang memang belum siap untuk menikah.”
Menikah menurut pandangan saya pribadi sebaiknya bukan karena terpaksa. Menikah dalam kondisi terpaksa karena alasan apapun bagi anak dan remaja tidak dibenarkan.
ADVERTISEMENT
Karena menikah di usia anak jelas melanggar hak-hak anak seperti hak untuk pendidikan, hak untuk bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak terhadap kesehatan maupun terhindar eksploitasi anak.
Pernikahan di usia remaja selain melanggar hak anak, juga bisa disebut sebagai pernikahan atas ketidaksiapan. Artinya menikah dengan melanggar syarat atas pernikahan itu sendiri. Salah satu hak anak yang dilanggar adalah hak untuk dilindungi dari kasus kekerasan dan pelecehan termasuk eksploitasi anak.
Ketika seseorang menikah di usia remaja, jelas memiliki kerentanan yang cukup tinggi untuk mengalami kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
KDRT jelas berhubungan dengan ketidaksiapan untuk menikah dan remaja adalah yang paling belum siap untuk menikah.
Kekerasan dalam rumah tangga dijelaskan dalam undang-undang No.23 tahun 2004 pasal 1 ayat (1): kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dari sisi ketidaksiapan, sangat jelas hubungannya bahwa usia remaja menjadi faktor penting bahkan mengakibatkan masalah yang sangat kompleks bagi terjadinya KDRT.
Jika faktor ini bisa ditangani dengan jelas bukan mustahil kita bisa mengurangi angka KDRT di Indonesia. Apalagi kasus KDRT yang berujung pembunuhan setidaknya terjadi 9 kali selama tahun 2017. Dan yang paling terakhir terjadi pada pasangan Kholili dan Siti.
Jika menilik batas usia remaja yang ditentukan WHO yaitu 12 hingga 24 tahun, maka jangan hanya salahkan ekonomi atas KDRT yang diterima Siti. Karena Kholili yang berusia 23 tahun dan Siti 19 tahun menikah di usia remaja.