Melawan Prasangka Buruk Masyarakat Patriarki dengan Mengabaikannya

Intan Putriani
Penulis di Info Dompu - Partner 1001 Media Kumparan
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2022 9:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Intan Putriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Melihat pajangan di Museum Macan Jakarta. Doc Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Melihat pajangan di Museum Macan Jakarta. Doc Pribadi.
ADVERTISEMENT
Awal kuliah saya sempat kebingungan dengan kegiatan apa yang bisa saya lakukan selain ngampus. Kebingungan ini sangat berdasar karena saya sudah terbiasa merangkap aktivitas akademik dengan berbagai ex-school dari zaman sekolah dasar hingga SMA. Saking aktifnya bukan cuman satu kegiatan, tapi malah jadi banyak.
ADVERTISEMENT
Apa ya yang kira-kira bisa dilakuin? Memilih kuliah di Jakarta sangat tanpa rencana. Pilihan awal saya di Jogja. Harus di Jogja pokoknya. Sebenarnya setelah masuk ke kampus yang lokasinya di ibukota itu, saya malah benar-benar bingung terhadap apa saja yang bisa dilakukan.
Pertama, mencoba menganalisis apa saja kegiatan kampus yang kira-kira sesuai dengan minat dan potensi. Hingga coba-cobalah ikut bela diri Kempo (sumpah ini paling random karena pernah diajakin Didit latihan di Gedung Pemuda pas SMA) lalu dipilih oleh anggota lain untuk menjadi pengurus yaitu sebagai sekretaris. Juga pengen ikut BEM tapi BEM Kampus saja. Tapi syaratnya wajib ikut LKMU dulu.
Setelah itu mendadak ditantangin buat jadi ketua seminar padahal baru semester 1. Juga di semester 4 diminta menggantikan ketua LDK Fakultas sebelumnya di H-4. Lainnya, makin random ikut teater untuk peringatan Physiotherapy Day dan jadi seksi acara turnamen 3 on 3 basket. Termasuk menjadi yang paling enggak bisa diem ngurusin anak-anak Beasiswa Unggulan buat kumpul dan membahas PKM Dikti. Kadang pulang tengah malam, mesti naik pagar belakang kampus.
Doc Pribadi.
Kedua, di semester berikutnya barulah ada peluang ke Kementerian Pemberdaayan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Berkat kesotoy-an saya menghubungi salah satu admin SFAN (Sekretariat Forum Anak Nasional) yaitu Ka Uia, untuk memperkenalkan diri kalau punya basic kegiatan FA di daerah yaitu Dewan Anak Dompu pas SD, SMP, dan SMA. Kemudian diajaklah saya untuk main pertama kali ke kantor KPPPA tahun 2013. Masih meraba-raba semua ini untuk apa?
ADVERTISEMENT
Ketiga, seiring berjalanannya waktu, saya tetap menjalankan aktivitas kuliah dengan fokus. Karena tanggung jawab IPK di atas 3 sebagai anak beasiswa, tetap sotoy juga ikut latihan Kempo setiap minggu, juga iseng-iseng rutin gangguin Isti, Yuyun, dan Lisha ke Jogja. Dari Jogja saya pertama kali belajar naik gunung. Mulai juga meninggalkan BEM yang sangat korup, sesekali ikut kumpul beasiswa, dan mulai mengabaikan aktivitas fakultas, kecuali buat bimbingan belajar anatomi karena ketemu senior ganteng. Wkwk. Juga ikut lomba-lomba dan seminar atau workshop. Setiap hari padat merayap menjadi orang paling produktif sejagat.
doc pribadi.
Lalu mulai padatlah juga acara di Kementerian dan FAN. Hampir setiap minggu pulang-pergi naik gojek dari hotel ke hotel. Pergi pagi pulang malam. Pergi malam pulang pagi. Sampe sering banget ditanyain sama abang atau bapak ojolnya, "kerjaannya apa di hotel mba?" dengan tatapan kepo. Super kepo. Wanjay.
ADVERTISEMENT
Dari hotel ke hotel di Jakarta, intensitas kegiatan di dalam kota pun berkurang dan tergantikan dengan kegiatan luar kota yang cukup padat. Hidup kebanyakan di bandara. Wara wiri ke kota A dan B, C, D.
Nah, setelah dipikir-pikir loh kok ya saya ini ternyata sering sekali mengabaikan tatapan dan pertanyaan-pertanyaan orang ya? Ditanya sama tukang ojol kerja apa di hotel enggak benar-benar saya jawab. Ketika ke hotel A pergi pagi pulang malam, atau ke hotel B pergi malam pulang pagi setelah 2 hari kemudian. Sebenarnya saya kerjanya apa di hotel-hotel itu pun bingung.
Instagram @intan.putriani_
Saya kadang jadi peserta, jadi pembicara, jadi tukang seduh kopi, tukang ngumpulin snack dengan Tupperware. Kadang-kadang jadi tukang foto. Kadang-kadang tukang debat. Banyak deh.
ADVERTISEMENT
Karena saya tidak tahu cara menjawab pertanyaan itu, sebenarnya saya kebanyakan mengabaikan. Paling cepat saya jawab "rapat". Dan orang-orang pun masih terheran-heran. Pulang ke kos saja saya sering diliatin oleh anak-anak di tongkrongan tengah malam. Saya mengundang perhatian ketika turun dari ojol. Pun saat dijemput ojol. Wahaha.
Tahun pun bergulir. Aktivitas saya setelah kembali ke Dompu tak jauh beda. Pergi subuh pulang 4 hari kemudian. Pergi setelah isya, pulang jam 3 pagi. Begitu pula ketika saya ke Jogja dan Mataram baru-baru ini.
Kadang keluar siang atau sore, pulangnya hampir tengah malam bahkan sampe pagi. Ngapain? Ke kedai kopi dan juga ke hotel-hotel. Ditanya ngapain ya saya bingung. Beneran bingung. Mungkin karena tidak terbiasa menjelaskan sesuatu pada saat kondisi mendadak atau spontan. Dibilang anak yang teks book banget ya iya. Sering juga di-bully oleh senior di kampus karena terlalu serius dan formal. Tapi memang tidak pernah ya merasa punya kewajiban sosial untuk menjelaskan apa-apa ke masyarakat apalagi ke tukang ojol atau pak RT.
MenIkmati pemandangan kawah Gunung Tambora. Foto: Doc Pribadi.
Setelah merenung dan menulis ini, saya cukup antusias menyampaikan bahwa penting bagi perempuan di era ini, untuk sering-sering mengabaikan pendapat orang lain. Kenapa? Karena kita tidak sedang hidup di zaman sebelum kata emansipasi ada. Kita hidup dimana pembahasan ketidaksetaraan gender sudah usang dan hanya pajangan orang-orang yang minim literasi dan numerasi.
ADVERTISEMENT
Prasangka buruk hanya dilontarkan oleh mereka yang tidak melek teknologi. Yaitu mereka yang hanya menggantungkan hidup pada subjektivitas masyarakat yang memberi label atau penghargaan dengan standar yang ditentukan sejak zaman pra-sejarah. Jauh sebelum orang-orang menemukan aksara. Saat mungkin orang-orang masih mengandalkan tutur kata untuk menyampaikan berita penting, lalu sering kali lupa dan yang sampai hanya asumsi belaka.
Saya tidak sedang mengajak perempuan untuk hidup dengan tidak memiliki nilai. Justru kebernilaian seorang perempuan itu diukur dari bagaimana ia mengenali potensinya. Juga menemukan nilai-nilai keperempuanan yang harus melekat erat untuk menjalani takdirnya.
Di Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Jangan mengambil tanggung jawab terlalu banyak hanya karena ingin dipandang baik oleh penilaian subjektif orang yang baru dikenal. Hiduplah seselaw mungkin tapi tetap punya nyali untuk menyalakan lampu bagi kegelapan. Jangan lupa bernapas.
ADVERTISEMENT
-
Intan Putriani, Founder Info Dompu