Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Mengeja Lelah dari Hujan Pamulang ke Senja Langkawi
20 Januari 2025 13:59 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Intan Idaman Halawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jam dinding di kamar kos Pamulang menunjukkan pukul 05.00 ketika alarm berdering. Di pagi-pagi sebelumnya, tombol snooze adalah penyelamat rutin untuk lima menit tambahan di balik selimut. Namun, tidak untuk hari ini - jadwal penerbangan ke Langkawi memaksa tubuh bergerak lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Handuk berwarna biru kusam kuangkat dari gantungan bambu yang dimakan usia. Langkah kaki menggema di kamar mandi sempit, tempat ember merah muda setia menunggu untuk ritual mandi pagi. Suara air yang mengucur bersahutan dengan dengung mesin pompa tetangga - orkestra pagi yang akrab.
Di sudut kamar, koper abu-abu 20 inci berdiri tegak dengan hiasan pita ungu, sudah siap sejak semalam. Di sampingnya, bersandar tas hitam cokelat berkotak yang berisi laptop dan tas hitam mungil berisi deretan botol perawatan kulit dan perlengkapan mandi yang disusun seperti permainan tetris. Ukurannya yang kompak menyembunyikan bobot yang bisa membuat bahu melorot setelah lima menit membawanya.
Hujan mengguyur Tangerang tanpa ampun. Air mengalir deras di sela pepohonan, menciptakan dentingan ritmis saat menghantam deretan atap seng. Di layar ponsel, pesanan transportasi daring ditolak beruntun - dampak dari tiga hal: hujan, jam kerja, dan rute menuju bandara.
ADVERTISEMENT
Jam di dinding terus berdetak. Pukul 06.00. Tiga jam tersisa sebelum lapor masuk ditutup. Di hari biasa, perjalanan ke bandara sudah memakan waktu minimal 60 menit, dan pagi ini situasinya jauh dari biasa.
Gang Salak sudah menampilkan rutinitas paginya: antrian kendaraan berlampu merah memanjang, diiringi klakson yang saling bersahut. Anak-anak berseragam putih merah dan putih biru masih rapi, truk sampah dengan aromanya yang khas, dan penumpang ojek daring berbagi jalan dalam gerakan yang tersendat-sendat.
Mobil bergerak dalam ritme rem dan gas yang melelahkan. Tiap meter terasa seperti perjuangan, dibarengi helaan napas panjang sang pengemudi yang berkali-kali melirik jam. "Jam berapa lepas landas?" tanya pak sopir, memecah keheningan setelah aku lebih tenang. "Pukul 09.15, Pak," jawabku dengan suara parau. Papan instrumen digital menunjukkan pukul 08.15, kami belum mencapai jalan tol, padahal perjalanan masih membutuhkan 35 menit lagi.
ADVERTISEMENT
Pukul 08.40, Tol Kunciran akhirnya menyambut, memberi ruang bagi mobil meluncur tanpa hambatan. Terminal 2F Soekarno-Hatta menampakkan diri pukul 09.07, menara kontrolnya menjulang di antara awan yang menggantung kelabu. Sopir taksi menurunkan barang dan menunjuk ke arah konter lapor masuk dengan gerakan yang tergesa-gesa.
Di depan papan informasi penerbangan, layar digital berkedip menampilkan deretan kode dan waktu keberangkatan. Seketika lutut melemas saat papan informasi menyatakan bahwa penerbangan OD 319 sedang dalam proses naik pesawat - batas waktu lapor masuk sudah lewat. Terminal 2 yang biasanya lapang kini terasa mencekik, pendingin ruangan yang biasanya sejuk tak mampu menghalau keringat yang mulai mengucur.
Berlari sambil menyeret koper dan menggendong ransel terasa seperti olahraga pagi yang tidak direncanakan. Seorang petugas berseragam biru muda menjadi titik cerah ketika berkata "tunggu sebentar" seusai mendengar tujuan dan waktu terbang. Di belakang, antrean panjang penumpang dengan berbagai ukuran bagasi menjadi saksi bisu ketegangan pagi ini.
ADVERTISEMENT
Pukul 09.11, pengumuman yang ditunggu akhirnya terdengar: "Penumpang dengan keberangkatan pukul 09.15 dipersilakan maju." Tungkai yang tadi lemas mendadak bertenaga. Proses lapor masuk berjalan bagai potongan film yang dipercepat: paspor keluar, koper naik timbangan, pas naik pesawat tercetak, diikuti langkah cepat ke pos pemeriksaan.
Terminal dengan desain modern ini berubah menjadi lintasan lari. Lorong-lorong panjangnya memantulkan derap langkah tergesa di atas lantai granit yang berkilau. Papan petunjuk gerbang yang biasa mudah dibaca kini seperti teka-teki yang mesti dipecahkan dalam hitungan detik. Pukul 09.16, pintu pesawat akhirnya tampak. Napas masih memburu ketika pramugari menyapa dan mengarahkan ke kursi 26F. Pesawat berbadan kecil ini menjadi tempat berteduh sejenak sebelum babak baru dimulai.
ADVERTISEMENT
Sepasang penumpang berdiri di lorong dengan pas naik pesawat tergenggam, mata mereka bergantian mengamati nomor kursi dan wajahku. Rupanya kami mendapat nomor kursi yang sama. Pertukaran posisi pun terjadi: aku pindah ke D, mereka di E dan F. Ternyata ketiga kursi itu salah - nomor yang tertera di pas naik pesawatku sebenarnya 20B, sebuah kenyataan yang baru kusadari setelah mendarat di Langkawi. Untungnya, tak ada penumpang lain yang mengklaim kursi itu selama penerbangan.
Langit di atas awan membentang cerah, seolah mengejek drama lapor masuk yang baru berlalu. Roda pesawat menyentuh landasan Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur pukul 12.20 waktu setempat. Terminal menyambut dengan aroma kopi yang menguar dari deretan kedai, diiringi pengumuman dwibahasa yang bergema di langit-langit.
ADVERTISEMENT
Mencari konter kartu SIM di KLIA seperti menjelajahi labirin berlantai marmer. Kaki yang masih lelah terpaksa menyusuri naik-turun tangga berjalan, melewati etalase bebas bea dengan deretan parfum dan cokelat. "Hello, can you speak in Indonesia?" menjadi salam pembuka pada setiap petugas, berharap menemukan penunjuk arah yang mengerti bahasa Indonesia.
Lift tengah terminal membawa ke lantai yang dituju, tempat konter telekomunikasi berjajar menawarkan paket data. RM28 - hasil penukaran di tempat penukaran uang Pamulang - berpindah tangan untuk 20GB data selama seminggu. Ringgit itu terasa berbeda, mengingat bagaimana adik rela menembus kemacetan sore Pamulang demi menukar uang. Investasi ini penting untuk komunikasi dengan Pak Uda di Langkawi dan keluarga di Indonesia. Begitu kartu SIM terpasang, ponsel langsung ramai dengan notifikasi yang tertunda.
Petualangan di KLIA masih berlanjut. Pemeriksaan imigrasi menanti, tetapi arah menuju konter yang tepat belum jelas. Di tengah kebimbangan, petugas dengan lencana "Kementerian Kesihatan Malaysia" memberi petunjuk. Logat Melayunya mengalir ramah: "Ya, cakap saja." Di meja imigrasi, tiga petugas duduk dengan raut serius. Paspor diserahkan, pertanyaan tentang tujuan kunjungan dijawab seadanya. Dua petugas wanita berdiskusi dalam bahasa Melayu selama sepuluh menit yang terasa panjang. "Bagi dia masuk," ucap salah satu dari mereka, diikuti bunyi stempel yang mendarat di halaman paspor.
ADVERTISEMENT
Jam menunjukkan pukul 13.27 -- delapan menit sebelum jadwal lepas landas ke Langkawi. Gerbang B7 menjadi tujuan berikutnya, tetapi takdir memutuskan untuk menambah satu kejutan alur: "Pindah ke gerbang A5," kata petugas di depan pintu yang tertutup. Jarak antara gerbang B7 dan A5 terasa seperti lintas alam mini, dengan tas ransel yang semakin terasa berat di pundak.
Gerbang A5 menampilkan pemandangan yang tak terduga: penumpang duduk tenang tanpa tanda-tanda naik pesawat. Ternyata, jadwal mundur menjadi berkah tersendiri. "Tertunda sampai pukul 13.50," jelas petugas sambil tersenyum, melihat kondisiku yang tampak kelelahan. Aku duduk di kursi terdekat sambil mengusap peluh, membiarkan napas kembali teratur.
Batik Air Malaysia lepas landas pukul 13.50, membawa kami melintasi Selat Malaka menuju Langkawi. Dari jendela, laut memantulkan cahaya matahari sore seperti serpihan emas, sementara awan tipis menggores bayang-bayang di permukaan air. Pukul 15.05, Langkawi menyambut dengan udara tropis yang terasa akrab.
Di area pengambilan bagasi, koper abu-abu itu muncul di ban berjalan, bertahan melewati semua kejadian hari ini. Di balik pintu kedatangan, bapak dan mama Uda menunggu dengan senyum khas Malaysia mereka. Pelukan hangat mengakhiri perjalanan panjang, sebelum mobil membawa kami ke Taman Helang Perdana -- yang akan menjadi rumah selama sebulan di pulau yang dikenal dengan burung elang cokelatnya ini.
ADVERTISEMENT
Langkawi, dengan deretan pantai dan perbukitan yang menjulang, siap untuk dijelajahi. Namun itu kisah untuk hari lain. Saat ini, ranjang di rumah keluarga Uda adalah tempat paling tepat setelah perjalanan penuh kejutan sejak pagi.
Live Update