Konten dari Pengguna

Kerja Tanpa Henti: Melihat Hustle Culture melalui Lensa Sosiologi Kesehatan

INTANIA RAHMA DEFITA
Mahasiswa Semester 3 Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
11 Desember 2024 11:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari INTANIA RAHMA DEFITA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hustle culture, atau budaya kerja tanpa henti, semakin menjadi fenomena global di era modern. Gaya hidup ini menekankan pentingnya bekerja terus-menerus dengan mengorbankan waktu istirahat, keluarga, dan bahkan kesehatan. Berakar pada ide bahwa kerja keras adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan, hustle culture sering kali menjadi tuntutan tak tertulis dalam banyak organisasi. Namun, budaya ini memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental dan fisik pekerja. Melalui perspektif sosiologi kesehatan, kita dapat memahami bagaimana hustle culture memengaruhi individu dan masyarakat secara lebih mendalam.
ADVERTISEMENT

Hustle Culture dan Normalisasi Kerja Berlebihan

Hustle culture lahir dari perubahan besar dalam ekonomi global, khususnya dengan munculnya revolusi industri keempat yang menekankan teknologi dan inovasi. Pada hal ini, pekerjaan menjadi penanda utama kesuksesan individu. Menurut penelitian, hustle culture sering kali didorong oleh tuntutan sosial dan tekanan dari media, yang mempromosikan narasi bahwa bekerja keras tanpa henti adalah kunci keberhasilan.
Namun, paradigma ini bermasalah karena menormalkan kerja berlebihan sebagai standar. Pekerja yang mengikuti budaya ini sering kali mengabaikan kesehatan fisik dan mental mereka demi memenuhi ekspektasi produktivitas yang tidak realistis. Pada sosiologi kesehatan, ini adalah bentuk kekerasan simbolik, di mana norma sosial mendikte perilaku yang merugikan kesejahteraan individu.

Dampak Kesehatan dari Hustle Culture

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hustle culture memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental dan fisik pekerja. Individu yang terjebak dalam budaya ini sering mengalami gejala burnout, stres kronis, kecemasan, dan depresi. Burnout, misalnya, ditandai oleh perasaan kelelahan fisik dan emosional yang ekstrem akibat beban kerja yang berlebihan. Hal ini diperburuk oleh kurangnya waktu istirahat dan dukungan sosial, yang dapat mempercepat penurunan kesehatan mental. Di sektor tertentu hustle culture bahkan menjadi norma. Studi menemukan bahwa pekerja di lingkungan ini cenderung merasa bersalah jika mereka mengambil istirahat, karena hal itu dianggap sebagai tanda kurangnya komitmen. Kondisi ini menunjukkan bahwa norma kerja berlebihan tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga memperkuat ekspektasi tidak realistis di tempat kerja.
ADVERTISEMENT

Perspektif Sosiologi Kesehatan: Analisis Struktural

Melalui lensa sosiologi kesehatan, hustle culture dapat dilihat sebagai masalah struktural yang melibatkan hubungan antara individu, organisasi, dan masyarakat. Sistem ekonomi neoliberal yang menekankan persaingan dan produktivitas menciptakan tekanan bagi pekerja untuk terus bekerja tanpa mempertimbangkan keseimbangan hidup. Dalam hal ini, pekerja tidak hanya menjadi subjek, tetapi juga korban dari struktur sosial yang lebih besar.
Sosiologi kesehatan juga menyoroti peran institusi dalam mendukung atau mengatasi dampak negatif hustle culture. Misalnya, perusahaan yang tidak menyediakan program kesehatan mental untuk karyawannya berkontribusi pada normalisasi stres kerja dan burnout. Sebaliknya, perusahaan yang menawarkan fleksibilitas kerja dan dukungan kesehatan mental dapat mengurangi dampak negatif budaya kerja berlebihan ini.
Untuk mengatasi dampak negatif hustle culture, diperlukan
Ilustrasi dari hustle culture (Sumber foto: atlascompany/freepik.com)
pendekatan yang holistik. Pertama, penting untuk mengubah narasi sosial tentang kerja keras. Masyarakat perlu memahami bahwa produktivitas tidak selalu berkorelasi dengan jumlah jam kerja, melainkan dengan efisiensi dan kualitas pekerjaan. Penelitian menunjukkan bahwa mengurangi jam kerja dapat meningkatkan produktivitas sekaligus memperbaiki kesejahteraan pekerja.
ADVERTISEMENT
Kedua, organisasi perlu mengambil langkah aktif untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Ini melibatkan kebijakan seperti jam kerja fleksibel, cuti yang memadai, dan program kesehatan mental. Dengan mengintegrasikan pendekatan ini, perusahaan dapat menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan pekerja.
Ketiga, individu juga perlu diberdayakan untuk mengelola stres dan keseimbangan kerja-hidup. Pelatihan tentang self-compassion, misalnya, dapat membantu pekerja mengurangi tekanan internal untuk selalu sempurna. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang mampu menerima keterbatasan mereka cenderung memiliki tingkat stres yang lebih rendah.
Hustle culture adalah tantangan dalam dunia kerja modern yang menuntut perhatian dari berbagai pihak. Melalui perspektif sosiologi kesehatan, kita dapat memahami dampak budaya ini tidak hanya pada individu, tetapi juga pada struktur sosial yang lebih luas. Dengan mengambil langkah-langkah strategis untuk menciptakan keseimbangan kerja-hidup, kita dapat mengurangi dampak negatif hustle culture dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif.
ADVERTISEMENT

Referensi

Irmansyah, I., Ismanto, A., & Niar, A. (2024). Pengaruh hustle culture terhadap psychological distress karyawan perbankan dengan self compassion sebagai variabel moderasi. Jurnal Media Informatika Budidarma, 6(2), 395-402.
Margareta KondaKundu. (2023). Serba salah dengan hustle culture; apakah merupakan sebuah produktivitas?. SENMABIS: Seminar Nasional Manajemen dan Bisnis. 3(1). 1-12.
Syahidah, N. A., Ndari, D. P. W., Khaerunnisa, S., Pratiwi, D., Setiawati, H. S., Nazzala, Z. S., & Rahma, S. N. (2024). Fenomena FOMO yang bisa berujung hustle culture di kalangan mahasiswa UNNES. Jurnal Mediasi, 3(1), 66-78.