Media Sosial Daring dan Bunuh Diri: Hubungan dan Penanganannya

Into the Light Indonesia
Komunitas pencegahan bunuh diri digerakkan orang muda berbasis bukti ilmiah dan hak asasi manusia. Hapus Stigma, Peduli Sesama, Sayangi Jiwa!
Konten dari Pengguna
5 Agustus 2017 8:36 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Into the Light Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin masih teringat untuk sebagian dari kita bahwa pada bulan Maret kemarin Indonesia dikejutkan dengan siaran langsung bunuh diri yang dilakukan oleh PI, seorang warga Jagakarsa, melalui akun Facebook yang ia miliki.
ADVERTISEMENT
Hal semacam ini baru ditemukan di Indonesia setelah era di mana media sosial digunakan untuk menulis ‘surat wasiat’ yang disampaikan secara publik. Fakta bahwa Jakarta menjadi ibu kota media sosial daring (selanjutnya akan hanya disebut sebagai media sosial) menunjukkan betapa pentingnya media sosial bagi masyarakat Indonesia. Sebagaimana dua sisi mata uang, media sosial dapat digunakan untuk merencanakan bahkan memublikasikan tindakan bunuh diri namun bisa juga dimanfaatkan sebagai media pencegahan bunuh diri.
Tulisan kali ini akan membahas dua sisi media sosial dalam kaitannya dengan kasus bunuh diri.
Media sosial untuk orang-orang yang melakukan tindakan bunuh diri dapat berfungsi sebagai media publikasi, baik itu dalam bentuk siaran langsung bunuh diri maupun surat bunuh diri. Thomas D. Ruder dan rekan-rekannya dari Institut Kedokteran Forensik dan Layanan Psikiatrik Grisons di Swiss mengemukakan sebuah studi kasus di mana Facebook dimanfaatkan sebagai media untuk meninggalkan surat bunuh diri dan memaparkan istilah "Werther effect" untuk menggambarkan kecenderungan ‘penularan’ bunuh diri melalui media, melalui belajar dari orang lain (utamanya figur terkenal) maupun transfer emosi negatif.
ADVERTISEMENT
Hal ini menyiratkan bahwa media massa harus ekstra berhati-hati dalam pemberitaan dan masyarakat diminta untuk tidak menyebarluaskan upaya bunuh diri melalui media sosial. Lebih lanjut, peneliti dari Sigmund Freud University di Wina, Christiane Eichenberg menyatakan bahwa pesan bunuh diri, terutama yang sifatnya eksplisit, merupakan murni keinginan dari individu yang menyampaikannya. Hal ini berimplikasi bahwa pesan yang disampaikan terkait bunuh diri perlu ditanggapi secara serius oleh warga internet (netizen) dan tidak layak diperlakukan seperti bahan bercanda.
Tidak hanya digunakan sebagai perantara, media sosial juga berpotensi sebagai pemicu bunuh diri di kalangan penggunanya. Mekanisme antara bunuh diri dan penggunaan media sosial ditengarai dipicu oleh cyberbullying. Berbeda dengan pandangan awam, bukan hanya korban cyberbullying saja yang dapat terpicu untuk memikirkan hingga melakukan tindakan bunuh diri tetapi juga pelaku cyberbullying itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan oleh Sameer Hinduja dan Justin W. Patchin dari Florida Atlantic University dan University of Wisconsin menemukan bahwa dibandingkan dengan korban bullying tradisional, korban cyberbullying memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk melakukan tindakan bunuh diri. Untuk pelaku cyberbullying, angka kemungkinan untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah satu setengah kali lebih besar dibandingkan dengan pelaku bullying tradisional.
Penulis melihat bahwa Facebook menjadi pelopor media sosial yang mengenali kecenderungan bunuh diri bagi penggunanya. Hal ini dapat dimanfaatkan media sosial lain sebagai upaya pencegahan bunuh diri yang dekat dengan masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Amy-Lee Seward dan Keith M. Harris dari University of Newcastle dan University of Queensland menemukan bahwa orang-orang dengan pikiran maupun rencana bunuh diri segan untuk meminta bantuan secara tatap muka dan cenderung menggunakan media sosial yang lebih informal untuk mencari informasi sekaligus bantuan untuk meredakan masalah terkait bunuh diri yang dialami.
ADVERTISEMENT
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa media sosial dapat menjadi suatu alat yang dapat diandalkan dan dimaksimalkan pemanfaatannya dalam mengurangi kecenderungan bunuh diri. Jika dikelola secara profesional, tidak mustahil bahwa media sosial dapat memberikan efek bagi upaya penurunan tingkat bunuh diri. Nina Jacob, Jonathan Scourfield, dan Rhiannon Evans dari Cardiff University pun berkesimpulan bahwa pencegahan bunuh diri yang dilakukan dengan media internet pun tidak hanya dapat menjangkau populasi yang rentan tetapi juga khalayak umum sekaligus mempermudah kerja orang-orang yang berkecimpung di penanganan krisis bunuh diri. Hal ini kembali lagi dikarenakan teknologi kini tidak melulu soal kemewahan dan ekslusivitas, menyusupnya internet ke seluruh lini masyarakat dan manajemen data yang lebih baik dengan teknologi.
ADVERTISEMENT
Peran pekerja teknologi dan orang-orang yang berkecimpung dalam ilmu soal bunuh diri menjadi penting dalam mengembangkan deteksi dan pencegahan bunuh diri di media sosial. Hal ini sekaligus dapat membantu praktisi di kalangan kesehatan mental untuk memetakan faktor resiko sekaligus mengidentifikasi individu yang rentan terhadap kecenderungan bunuh diri.
Bagi masyarakat pengguna media sosial, status atau pesan yang bersentimen terkait bunuh diri tidak boleh dianggap sepele bahkan dianggap mencari sensasi. Ajak bicara pemilik pesan atau status tersebut tanpa menghakimi dan rujuk ke profesional apabila diperlukan.
Satu hal yang bisa kita harapkan ke depannya, bahwa pesan atau status di media sosial tidak hanya digunakan untuk keperluan otopsi psikologis setelah kematian akibat bunuh diri, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk memberikan sinyal bahaya bahkan hingga dapat mengarahkan bantuan untuk mencegah terjadinya bunuh diri. Hal ini demi usaha menghapus stigma, peduli sesama dan menyayangi jiwa.
ADVERTISEMENT
Iqbal Maesa Febriawan Divisi Riset - Into the Light Komunitas Kesehatan Jiwa dan Isu Pencegahan Bunuh Diri