Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Belt and Road Initiative di Indonesia: Perkembangan, Kritik, dan Alternatif
30 Maret 2021 8:25 WIB
Tulisan dari M Habib Pashya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dilansir dari CNN Indonesia pada 23 Maret 2021, terdapat wawancara kepada Duta Besar Indonesia, Djauhari Oratmangun, menjelaskan kedekatan Indonesia dengan Tiongkok yang kian meningkat. Kedekatan tersebut semakin kuat sejak Indonesia menandatangani perjanjian strategis dengan Tiongkok pada tahun 2013.
ADVERTISEMENT
Sejak 2013, memang Indonesia menyetujui adanya program ambisius Tiongkok, Belt and Road Initiative. Tidak langsung mengarah ke Indonesia, BRI dimulai ketika Presiden terpilih Tiongkok, Xi Jinping memperkenalkan program tersebut di Kazakhstan. Melalui pidato Xi di Universitas Nazarbayev, Xi (2013) mengatakan bahwa:
“To forge closer economic ties, deepen cooperation and expand development space in the Eurasian region, we should take an innovative approach and jointly build an "economic belt along the Silk Road". This will be a great undertaking benefitting the people of all countries along the route. To turn this into a reality, we may start with work in individual areas and link them up over time to cover the whole region”
ADVERTISEMENT
Program Tiongkok berkembang dengan pesat. Di Pakistan, Tiongkok memiliki mega proyek di Balochistan (Pelabuhan Gwadar). Pemerintah Pakistan telah menyetujui proyek peningkatan jalur kereta api senilai 7,2 miliar dolar AS antara Peshawar dan Karachi yang akan terhubung ke Kashgar di bawah Koridor Ekonomi China Pakistan (CPEC) pada tahun 2015. Fakta tersebut dipertegas melalui Letjen (Purn), Asim Saleem Bajwa, ketua otoritas CPEC yang berargumen bahwa:
"Persetujuan proyek untuk meningkatkan jalur kereta api sepanjang 1.872 km dari Peshawar ke Karachi adalah tonggak besar untuk fase kedua CPEC."
Di samping itu, Tiongkok juga menghubungkan proyek dengan Myanmar. Di bawah pemerintahan, Aung San Suu Kyi, kedua negara telah menandatangani adanya Koridor Ekonomi China-Myanmar (CEMC) pada awal tahun 2020 (CNBC Indonesia, 2020). Program tersebut memfasilitasi Myanmar dalam membangun pelabuhan Kyaukphyu yang ada di Rakhine sebesar US$1,3 miliar.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, pembangunan tersebut akan menghubungkan sirkulasi ekonomi kedua negara melalui Samudra Hindia.
Pada 2016, pemerintah Tiongkok juga melibatkan Djibouti sebagai salah satu negara yang terlibat dalam proyek BRI. Di sana, Tiongkok sudah membangun pangkalan militer pertama di dunia. Hal itu sudah diperjelas oleh juru bicara Menteri Pertahanan Nasional Tiongkok, Wu Qian. Qian menyatakan bahwa:
“Through friendly consultations between China and Djibouti, the two sides have reached consensus for China to build support facilities in Djibouti. The facilities will mainly be used for logistical support and personnel recuperation of the Chinese armed forces conducting such missions as maritime escort in the Gulf of Aden and waters off the Somali coast, peacekeeping and humanitarian assistance. Currently, construction of infrastructure for the support facilities has started, and the Chinese side has dispatched personnel to Djibouti for relevant work.”
ADVERTISEMENT
Pangkalan militer tersebut ditujukan kepada Tiongkok untuk melakukan penanganan terhadap komoditas yang akan disebarluaskan ke Afrika sampai melawan pembajakan di Teluk Aden.
Beberapa contoh dari proyek tersebut diinisiasikan sebagai bentuk kekuatan Tiongkok untuk menghubungkan tiga benua (Eropa, Afrika, dan Asia). Namun, program BRI tersebut mengundang kritik dari beberapa kalangan yang menyebutkan bahwa program BRI merupakan debt trap dan alat hegemoni Tiongkok.
Hal itu disikapi oleh Tiongkok bahwa ‘mereka’ yang berkomentar tidak mengerti dengan proyek BRI yang dapat menguntungkan satu sama lain atau win-win cooperation. Proyek ini berkembang, awalnya dari Kazakhstan menuju Indonesia.
BRI di Indonesia
Proyek BRI telah disepakati di Indonesia pada Oktober 2013. Saat itu, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Dalam kesepakatannya, kedua negara telah menyetujui setidaknya enam aspek yaitu industri, ekonomi, perdagangan, maritim, pariwisata, meteorologi dan klimatologi, serta luar angkasa.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya, proyek Tiongkok sudah bermunculan di Indonesia
PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) menjadi megaproyek yang menghubungkan Jakarta-Bandung. Proyek tersebut telah menghabiskan dana sebesar 6,071 miliar dolar. Dalam perkembangannya, proyek tersebut tidak berjalan dengan mulus.
Pada awalnya dijanjikan akan beroperasi pada akhir 2019 - awal 2020 menjadi 2024 dan memerlukan biaya tambahan sebesar 1,39 miliar dolar.
Di Medan, terdapat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang berkolaborasi antara Batang Toru PLTA Consortium, PT North Sumatera Hydro Energy, dan perusahaan Tiongkok, Sinohydro Corporation Limited yang telah menghabiskan dana sebesar Rp. 22 triliun.
Tidak hanya sampai di situ, Indonesia dan Tiongkok juga sedang melakukan pembangunan di Morowali Industrial Park. Proyek ini juga menggaet perusahaan Tiongkok Tsingshan Steel Group untuk membangun pabrik nikel. Di samping itu, Indonesia dan Tiongkok juga bekerja sama dalam pembangunan terhadap jalan tol Probolinggo-Banyuwangi, Weda Bay Industrial Park, dst.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, pada tahun 2020, Indonesia merencanakan untuk bekerja sama dengan Tiongkok dalam pembangunan ibu kota di Kalimantan Timur. Di tengah pandemi Covid-19, Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun mengaku bertemu Wakil Presiden Tiongkok, Gezhouba Group International Engineering Co Ltd Hu Peng.
Kritik dan Alternatif
Berbagai dari beberapa proyek BRI yang sudah berjalan di Indonesia justru menimbulkan kritik tajam. Ekonom Indonesia, Faisal Basri mengatakan bahwa:
"We all know that there are many 'under table' cooperation with China. Don't expect to be clean if you are still cooperating with China."
Proyek BRI juga dikritik oleh Manajer Kampanye dan Iklim WALHI, Yuyun Harmono, pada 2019. Harmonio memandang bahwa proyek yang dikerjakan oleh Tiongkok justru cenderung masuk ke dalam debt trap. Harmono berargumen bahwa:
ADVERTISEMENT
"Pertama, BRI akan menjebak negara-negara mitra dalam jebakan utang ke Cina."
Hal itu juga dipertegas oleh Ekonom Indonesia, Rizal Ramli yang memandang Indonesia sudah tergantung Indonesia bahkan terpengaruh dengan Tiongkok. Ketergantungan tersebut juga terlihat bahkan di tengah pandemi Covid-19, investasi Tiongkok meningkat sebesar 9 persen. Ramli juga memandang bahwa di tengah pandemi Covid-19, respon pemerintah Indonesia yang lambat bahkan karena eksistensi Tiongkok. Maka dari itu, pada 2020, Ramli mengatakan bahwa:
"Saya mohon maaf. Awal-awalnya respons pemerintah itu relatif lambat dan terlambat. Mungkin karena sungkan dengan Tiongkok. Karena kejadiannya di Wuhan, Tiongkok, pejabat sungkan bicara soal Tiongkok.”
Berbagai eksistensi Tiongkok di Indonesia mulai sudah banyak dikritik oleh beberapa pihak. Sehingga, Indonesia perlu hati-hati dalam bekerja sama dengan Tiongkok. Pemerintah Indonesia justru tidak selalu bergantung dengan Tiongkok sebagai mitra utama melainkan menilik mitra baru sebagai bentuk dalam konsistensi dalam prinsip bebas-aktif. Tidak hanya itu, dalam bernegosiasi dengan Tiongkok, Indonesia harus berhati-hati agar tidak mampu dikuasai oleh Tiongkok sepenuhnya dalam kelas domestik.
ADVERTISEMENT