Model Althusserian dalam Komunisme Tiongkok

M Habib Pashya
Mahasiswa Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
13 April 2021 13:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Habib Pashya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Althusserian Marxism
zoom-in-whitePerbesar
Althusserian Marxism
ADVERTISEMENT
Setelah menang dalam Perang Sipil tahun 1949 dari partai Kuomintang, Mao Zedong mengambil titik ahli kekuasaan Tiongkok dengan menerapkan ideologi komunis. Hal itu berimplementasi kepada seluruh aspek yang ada di Tiongkok mulai dari politik, ekonomi, sosial dan budaya.
ADVERTISEMENT
Tiongkok dikenal dengan sosialis yang kuat sehingga menutup diri dari luar. Aspek ekonomi mendorong Tiongkok sampai menerapkan substitusi impor yang pada saat itu Tiongkok memaksimalkan sumber daya alam di konteks domestik. Maka daripada itu, diera Mao Zedong munculah The Great Leap Forward pada tahun 1958-1960. Tidak hanya itu, komunisme bahkan menjadi doktrin dengan adanya program Cultural Revolution. Program tersebut tidak ada budaya lain selain komunisme sehingga dulu terkenal adanya ‘buku merah’ dari Mao Zedong sebagai bentuk indoktrinisasi masyarakat Tiongkok.
Pengalaman atau pemberian dari Mao Zedong membentuk Tiongkok yang dikenal sekarang di era Xi Jinping. Maka dari itu, untuk mengkonstruksikan Tiongkok dan komunismenya, model Althusser (1918-1990) menjadi kerangka pikiran. Dalam pemikirannya, Althusser menekankan bahwa ideologi menjadi pedoman utama yang melibatkan melalui penanaman ideologi sekaligus pengendalian politik dengan cara mengontrol lembaga-lembaga kebudayaan seperti sekolah, agama, pers, dll.
ADVERTISEMENT
Komunisme menjadi landasan pikiran yang harus dan wajib dipaksakan kepada masyarakat Tiongkok oleh superpower party, Partai Komunis China atau PKC. Sejak era Xi Jinping (2013), PKC adalah salah satu partai yang paling kuat. Bahkan, dibawah keambisiusannya, Xi ingin memperkenalkan Tiongkok dengan dunia melalui program Belt and Road Initiative yang menghubungkan Afrika, Eropa, dan Asia.
Melalui program tersebut, salah satu yang paling membawa isu komunisme adalah melalui Institusi Konghucu. Memang, institusi tersebut sudah berdiri sejak era Jiang Zemin dengan tanda berdirinya divisi diplomasi publik tahun 2004. Namun, langkah institusi tersebut cukup terbatas karena tidak dibawa oleh program-program yang masif oleh Jiang Zemin.
Hal itu juga diperkuat oleh adanya pernyataan dari Asisten Menteri Luar Negeri Tiongkok, Shen Guofang pada tahun 2004 yang menyatakan bahwa, "A very important field in diplomatic work [...] "The basic goal of public diplomacy is to enhance the exchanges and interaction with the public in order to guide and win the understanding and support of the public for foreign policies.”
ADVERTISEMENT
Sampai di era Xi, sudah ada lebih dari 500 Institut Konghucu di dunia. Seperti contoh di Indonesia sudah ada 6 yang salah satunya berafiliasi dengan Universitas Hasanudin, Makassar. Institut tersebut menawarkan program-program yang cukup masif membahas tentang Tiongkok misalnya melalui perkenalan bahasa Mandarin.
Pentingnya ideologi Komunis di internasional juga diimplementasikan oleh Xi dalam domestik.
Dilansir dari BBC Indonesia pada tahun 2017, Universitas Renmin di Beijing dan Universitas Tianjin mendirikan Pusat Studi Pemikiran Xi Jinping (Komunisme). Ditahun yang sama pada 2017, Xi pernah berpidato yang memaparkan pandangannya untuk 30 tahun ke depan. Xi sangat memfokuskan pembahasannya dengan model sosialisme yang memberikan 'sebuah pilihan baru bagi negara dan bangsa lain yang ingin mempercepat pembangunan dengan memelihara kemandirian'. Slogan lengkap dari gagasannya adalah 'Pemikiran Xi Jinping tentang Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok untuk Era Baru' yang disingkat dengan Pemikiran Xi Jinping (Komunisme).
ADVERTISEMENT
Peninggalan Mao Zedong yang berupa ‘buku merah’ juga ada di era Xi. Bedanya, Xi memakai kemajuan teknologi dengan berbentuk aplikasi. Pada tahun 2019, aplikasi, "Study (Xi) Strong Country," mulai naik peringkat dan menjadi aplikasi gratis yang paling banyak diunduh di App Store Tiongkok bahkan dapat melampaui beberapa aplikasi besar yang fenomenal seperti WeChat dan TikTok. Dengan logo merah bertuliskan "belajar" dalam bahasa Mandarin, atau "belajar Xi" sebagai permainan kata yang cerdik, aplikasi ini bertujuan untuk membentuk pikiran bangsa di bawah kepresidenan Xi Jinping.
Komunisme juga mampu untuk membentuk pemikiran dalam sisi agama. Dalam pasal No.36 Konstitusi Tiongkok mengatakan bahwa, “warga negara RRC memiliki kebebasan dalam kepercayaan keagamaan.” Namun, konstitusi Tiongkok tersebut perlu ada peninjauan ulang dalam implementasinya salah satunya kepada Muslim di Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Tiongkok sebenarnya tidak ingin ada Muslim di Tiongkok tapi Tiongkok ingin adanya Muslim Tiongkok. Dalam konteks ini, ada dua hal yang berbeda. Jika Muslim di Tiongkok maka konstitusi Tiongkok berlaku sepenuhnya. Para Muslim diizinkan untuk mengkonsumsi bahasanya sendiri misalnya bahasa arab dan tidak akan ada diskriminasi yang dialami oleh Muslim Uighur di Xinjiang.
Namun, jika Muslim Tiongkok, pemerintah akan berkontribusi dalam menata Muslim yang ada di Tiongkok berbasis dengan ideologi komunisme. Dalam implementasinya, Muslim Tiongkok tidak diberikan kebebasan dalam memiliki bahasa arab melainkan disandingkan dengan bahasa Mandarin. Seperti yang terjadi pada Muslim Hui dan Muslim Han. Disamping itu juga, pemerintah akan mengelaborasi rumah ibadah Muslim, Masjid dengan standar Tiongkok. Misalnya, tata ruang yang ada di Masjid terdapat bahasa Mandarin atau bendera Tiongkok. Contohnya adalah Masjid Huaisheng di Ghuangzhou.
ADVERTISEMENT
Komunisme juga hadir dalam kebebasan pers. Peraturan yang paling ketat di Tiongkok adalah censorship. Di era Xi Jinping, censorship sangat didahulukan demi menjaga aroma komunisme agar tidak diikut campurkan dengan liberalisme milik Amerika Serikat. Jadi, pers tidak diperbolehkan untuk mengkritik PKC dalam hal apapun. Untuk itu, Xi juga pernah mengeluarkan kebijakan dalam memblokir media internasional lainnya seperti the New York Times, the Times of India, dan the Wall Street Journal.