news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Surat Telegram dan Demokrasi

M Habib Pashya
Mahasiswa Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
11 April 2021 17:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Habib Pashya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo hadir dalam acara Tanwir 1 Literasi Kebangsaan Pemuda Muhammadiyah, di Sulawesi Utara. Foto: Polri
zoom-in-whitePerbesar
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo hadir dalam acara Tanwir 1 Literasi Kebangsaan Pemuda Muhammadiyah, di Sulawesi Utara. Foto: Polri
ADVERTISEMENT
Demokrasi di Indonesia sempat memburuk sebentar sebab berita Indonesia dipenuhi dengan wacana konyol dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dalam pembicaraannya, Prabowo, menerbitkan surat telegram yang mengatur soal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Telegram yang menunjukkan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 itu ditandatangani oleh Prabowo pada 5 April 2021. Dikutip dari Kompas.com pada 6 April 2021, terdapat 11 isi dari surat telegram tersebut. Pertama, media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.
Kedua, tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana. Ketiga, tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.
Keempat, tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan. Kelima, tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual. Keenam, menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Ketujuh, menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur. Kedelapan, Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku. Kesembilan, tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.
Kesepuluh, dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten. Kesebelas, tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.
Ketetapan terhadap penyampaian tersebut dijelaskan oleh Prabowo berdasarkan ‘hukum’ di Indonesia yaitu peraturan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Perkap Nomor 6 Tahun 2017 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi pada Tingkat Mabes Polri, dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012. Namun, hal ini justru menjadi polemik di masyarakat. 
ADVERTISEMENT
Menurut (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) berargumen bahwa, di bagian tiga, bagi YLBHI ini menjadi bermasalah dalam kasus-kasus publik yang membutuhkan transparansi, dalam pengalaman YLBHI liputan terhadap rekonstruksi yang terbuka akan membantu masyarakat dan terutama pendamping-pendamping hukum melihat bagaimana penyidikan berlangsung.”
Tidak hanya itu, keputusan yang dilakukan oleh Prabowo tersebut juga dikritik oleh Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti yang memandang bahwa pengumuman tersebut merupakan salah satu cara untuk membatasi kebebasan pers di Indonesia. Dikutip juga berdasarkan dari Suara, Indarti berargumen bahwa, “Kami berharap STR (Surat Telegram) ini direvisi, khususnya poin-poin yang kontroversial membatasi kebebasan pers serta yang menutup akuntabilitas dan transparansi Polri kepada publik agar dicabut.”
Masyarakat yang mengkonsumsi berita di setiap harinya, melihat kejadian tersebut juga bereaksi. Sebab, sejak awal berdasarkan penelitian dari Lina Febrianti dan Herdiyan Maulana pada tahun 2013 dalam jurnalnya yang berjudul “Pengaruh Persepsi Masyarakat pada Kinerja Kepolisian Terhadap Kepercayaan Pada Kepolisian” cenderung memiliki persepsi yang negatif.
ADVERTISEMENT
Dengan datangnya berita yang konyol tersebut, masyarakat menilai bahwa kepolisian yang memiliki tanggung jawab dalam berbicara dan menyampaikan informasi yang sempurna kepada masyarakat. 
Berdasarkan via twitter pada 7 April 2021, @akapalaka,”Ga mentri ga kapolri Di rezim ini ko pada blunder seh.” @_____Downey, “Karena lebih mudah melarang jurnalis meliput dibanding melarang polisi melakukan kekerasan(?)”, @elangprm “Kapolri main telegram mau cari apa?”.
Kekecewaan masyarakat terhadap polisi juga terlihat sejak wacana tentang polisi online/virtual di masa pandemi Covid-19. Sebagian masyarakat merasa bahwa polisi melakukan hal tersebut untuk membatasi kebebasan dalam bermain media soal yang ujung-ujungnya akan bermasalah dengan hukum. 
Untungnya, mendengar tumpahan dari kritik masyarakat, Kapolri meminta maaf. Dikutip dari Kompas pada 7 April 2021, "Mohon maaf atas terjadinya salah penafsiran yang membuat ketidaknyamanan teman-teman media. Sekali lagi kami selalu butuh koreksi dari teman-teman media dan eksternal untuk perbaikan institusi Polri agar bisa jadi lebih baik [...] arahan saya ingin Polri bisa tampil tegas, namun humanis. Namun, kami lihat di tayangan media masih banyak terlihat tampilan anggota yang arogan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, tolong anggota untuk lebih berhati-hati dalam bersikap di lapangan [...] bukan melarang media untuk tidak boleh merekam atau mengambil gambar anggota yang arogan atau melakukan pelanggaran.”
Dengan pernyataan minta maaf tersebut sebenarnya sudah tepat. Namun, pernyataan pertama dari pihak kepolisian sudah lebih dahulu dikonsumsi oleh sebagian masyarakat. Bahayanya, masyarakat tersebut mengambil dari potongan-potongan pembicaraan masyarakat lainya sehingga citra kepolisian bertambah buruk. Maka dari itu, kepolisian seharusnya memahami konteks dari keputusan yang harus dikeluarkan terlebih dahulu. Tidak hanya itu, kepolisian juga harus mempertimbangkan output dan tanggapan dari masyarakat ke depannya.
Agar, citra polisi yang ditugaskan untuk melindungi masyarakat tidak bertambah buruk. Ditambah lagi, kepolisian harus memahami bahwa demokrasi Indonesia dilandasi oleh kebebasan pers yang sudah tercantum dalam Pasal 4 ayat 1 dan 2 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjelaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Pihak kepolisian juga harus mengerti bahwa pers atau wartawan harus bahkan wajib dilindungi bukan dilarang mobilitasnya. 
ADVERTISEMENT