Implementasi Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi

Inu Aulia
Mahasiswi S1 Manajemen Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
24 November 2022 21:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inu Aulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Proses pembelajaran moderasi beragama mahasiswa Manajemen Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Proses pembelajaran moderasi beragama mahasiswa Manajemen Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Moderasi beragama adalah proses memahami dan mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, sehingga terhindar dari perilaku yang berlebih- lebihan dalam beragama atau dalam istilah lain yaitu perilaku ekstrem. Cara pandang dan sikap yang moderat dalam beragama sangat penting bagi masyarakat yang majemuk dan multikultural seperti Indonesia, karena hanya dengan cara itulah keragaman dapat disikapi dengan bijak, serta toleransi dan keadilan dapat diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, seseorang juga bisa dikatakan ekstrem dan berlebihan-lebihan dalam beragama yaitu saat mereka berani menghina atau meletakan ajaran agama dan kepercayaan orang lain, serta menghina simbol-simbol yang dianggap suci oleh keyakinan agama tertentu.
H Ahmad Gubaryo, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI mengatakan di Indonesia moderasi beragama dimaknai beragama yang tidak ekstrim, berlebihan, radikal, excesive, tatharruf. menurutnya, moderasi beragama adalah beragama yang penuh kasih sayang, toleran, anti kekerasan, dan tetap menjaga komitmen kebangsaan. Akomodatif terhadap budaya lokal merupakan ciri lain dari moderasi beragama.
Moderasi beragama itu penting karena keragaman dalam hal beragama itu tidak mungkin dihilangkan. Ide dasar dari moderasi adalah mencari persamaan dan bukan mempertajam perbedaan. Alasan mengapa kita perlu moderasi beragama adalah: pertama, moderasi beragama menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tidak serta-merta hanya memuliakan nama tuhan dan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Kedua, agar peradaban manusia tidak musnah akibat konflik yang berbasis agama. Ketiga, khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi budaya kita dalam menjaga persatuan dan kesatuan, hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang heterogen, memiliki banyak suku bangsa.
Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim Semarang, Iman Fadhilah mengatakan, banyak kajian yang mengindikasikan adanya potensi radikalisme di kalangan anak muda dan mahasiswa. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat dan menginternalisasikan nilai-nilai agama.
Iman mengatakan pemahaman dan sikap moderasi dalam beragama perlu ditanamkan sejak awal, sebagai benteng ketika berselancar di dunia digital menghadapi ajaran dan ideologi radikalisme.
Menurutnya, banyak hasil penelitian yang menunjukkan kecenderungan anak muda yang mengarah pada gerakan radikal. bisa disaksikan para pelaku terorisme ternyata banyak dari usia muda.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui akhir-akhir ini dunia pendidikan tinggi dihebohkan dengan hasil penelitian yang menyebutkan beberapa kampus di Indonesia dan mahasiswanya terpapar radikalisme.
Setara Institute (2019) menyebutkan 10 PTN terpapar radikalisme. Sepuluh perguruan tinggi tersebut antara lain UI Jakarta, IPB, ITB, UGM Yogyakarta, UNY, Unibraw Malang, Unair, Unram, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Pada 2018, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merinci ada tujuh perguruan tinggi negeri yang terpapar radikalisme. Pada tahun yang sama, Badan Intelijen Negara (BIN) juga menyebutkan bahwa 39 persen pelajar di 15 provinsi terpapar paham radikal. Hasil survei Alvara Research Center (2017) juga menunjukkan hal yang sama bahwa di kalangan mahasiswa terdapat kecenderungan paham dan sikap intoleran dan radikal, yang ditunjukkan dengan beberapa indikator pertanyaan yaitu persentase mahasiswa yang tidak mendukung non- Tokoh muslim cukup besar 29,5%; mahasiswa yang setuju dengan negara Islam sebesar 23,5%; dan persentase santri yang setuju dengan khilafah adalah 17,8%.
ADVERTISEMENT
Apakah moderasi beragama diperlukan di lingkungan universitas? Jawabannya iya. Di era modern ini, penyebaran paham radikal di kalangan mahasiswa terus digencarkan oleh kelompok radikal, terutama melalui media sosial. Apalagi di masa pandemi, pembelajaran harus dilakukan dengan metode berani yang memudahkan siswa mengakses informasi internet, termasuk konten yang berbau radikalisme.
Mahasiswa juga dapat dijadikan sebagai regenerasi yang menjanjikan bagi kelangsungan operasi gerakan kelompok radikal. Hal ini berawal dari pemahaman yang dangkal terhadap ajaran agama. Oleh karena itu, bekal dan pengembangan moderasi beragama menjadi suatu hal yang sangat penting dalam perspektif generasi milenial untuk memahami dan mendalami Islam. Sehingga mengajarkan bahwa agama tidak hanya membentuk kesalehan individu, tetapi juga mampu menjadikan paham keagamaannya sebagai instrumen untuk menghormati pemeluk agama lain.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, perlu diterapkan moderasi beragama, khususnya di perguruan tinggi, antara lain:
Pertama, kampus perlu memperkuat tasamuh (toleransi) untuk memanusiakan manusia, masalah kepercayaan yang bersifat personal dan publik perlu membangun komunikasi dengan berbagai pihak.
Kemudian yang kedua dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat harus diarahkan dengan melibatkan sasaran lintas agama untuk membangun persaudaraan dan mengarusutamakan nilai-nilai kemanusiaan tersebut.
Selanjutnya yang ketiga adalah dilakukannya penelitian kolaboratif dengan perguruan tinggi lainnya.
Harapannya, ketika ketiga hal tersebut diimplementasikan di kampus menjadi pembelajaran yang baik guna terciptanya kerukunan antar umat beragama, dan kampus hadir sebagai mediator penggerak dalam moderasi beragama.
Oleh karena itu, perhatian serius perlu diarahkan pada keberadaan kampus sebagai lembaga pendidikan yang idealnya menghasilkan lulusan yang toleran, cinta damai dan bertanggung jawab sesuai Pancasila dan UUD 1945. Bukan malah menjadi lokus sekaligus institusi yang menjadi ruang penyemaian narasi radikal dari kelompok tertentu. Untuk itu diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang kondisi toleransi dan radikalisme di kampus yang mengungkap secara lebih jelas apa dan bagaimana kondisi intoleransi dan radikalisme di kampus dapat berkembang dengan bebas.
ADVERTISEMENT
Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan kontribusi dan kerja sama dari berbagai pihak, tidak hanya kampus tetapi pemerintah, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, LSM, dan seluruh masyarakat. Dengan kerja sama tersebut, harapan dan cita-cita bersama untuk terwujudnya kerukunan, perdamaian dan kerukunan bersama dapat terwujud.
Inu Aulia Arba
Mahasiswi semester 1 Manajemen Pendidikan Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.