news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jangan Pakai Kata "Makempal" di Pidato Lelayu

Inung Widjaja
Pria ganteng otodidak yang suka bisnis, management, metafisika, budaya, dan dunia kreatif.
Konten dari Pengguna
21 Mei 2018 11:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inung Widjaja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekitar Tahun 2012 saya sudah pernah menulis tentang hal ini. Banyak respon positif dari teman, saudara, dan para penutur bahasa Jawa. Dari pengamatan dan obrolan di sekitar saya, saat itu banyak kesadaran baru terkait penggunaan kata makempal ini. Namun, beberapa tahun kemudian sepertinya mereka lupa. Saya merasa perlu mengangkat lagi topik ini agar makin banyak orang yang mengetahui karena beberapa kali saya menemui kesalahan ini di pidato saat lelayu.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian besar orang Jawa yang masih sering menjumpai bahasa Jawa krama tentunya sering mendengar kata makempal. Biasanya jika ada pertemuan atau acara, sang pembawa acara sering mengatakan untuk mengisi kata sambutan. Pernah saya bertanya pada si penutur kata makempal tersebut tentang arti kata itu. Dia menjawab “Makempal berarti berkumpul, mas”. Meskipun saya sudah tahu apa makna makempal tapi saya ingin tahu bagaimana mereka memahami kata tersebut. Banyak dari mereka menganggap bahwa makempal adalah bahasa halus dari ngumpul (ngoko) atau ngempal (krama alus). Perlu dipahami bahwa kata ngempal itu sudah sangat halus. Barangkali mereka menganggap kalau kata ngempal kurang halus dan harus diberi semacam awalan.
Dalam bahasa Jawa (krama), makempal artinya bersenggama; kegiatan seks yang biasanya dilakukan oleh suami istri. Sedangkan ngempal bermakna berkumpul. Bagi beberapa orang yang sudah memahami bahasa Jawa, ngempal sering diperhalus lagi menjadi hangempal yang maknanya juga berkumpul.
ADVERTISEMENT
Kesalahan ini sangat sering terjadi hingga banyak yang menganggap bahwa makempal bermakna berkumpul. Saya berharap para penutur bahasa Jawa akan mengerti. Saya sendiri juga baru menyadari tentang kata ini sejak tahun 2010 lalu. Ketika itu saya sedang meliput acara Festival Desa Wisata di Desa Bejiharjo, Gunung Kidul. Banyak dari tokoh desa yang memberikan sambutan menggunakan kata makempal. Giliran para juri memberikan komentar. Saat itu dewan jurinya ada pak Bugiswanto, ibu Th Suharti, dan satu lagi saya lupa namanya. Yang saya ingat, dia adalah dosen karawitan di ISI Yogyakarta. Beliau-beliau tersebut adalah para tokoh budaya Jawa, khususnya Yogyakarta. Dalam komentar para juri, salah satu yang menjadi sorotan adalah tentang kata makempal.
ADVERTISEMENT
“Nuwun sewu, bapak lan ibu. Menawi kita sedaya wonten ing papan mriki sesarengan menika sanes makempal. Menawi makempal menika njih menawi bapak utawi ibu wonten ing nglebet kamar lan kedah kalian garwanipun piyambak-piyambak. Cekap ngendika ngempal utawi hangempal. Sanes makempal, njih ”, Kata ibu Th Suharti yang saat itu memberikan masukan dan kritikan. Spontan tawa audiens riuh lepas. Mereka seolah benar-benar kaget karena baru menyadari kesalahan berbahasa yang ternyata sangat fatal.
Saya nggak langsung percaya begitu saja. Beberapa kali saya bertanya dan berdiskusi dengan para tokoh dan praktisi bahasa dan budaya Jawa untuk mengkonfirmasi kebenarannya. Memang benar, ternyata kata makempal bermakna bersenggama.
Ada teman yang agak membantah. Dia yakin kalau di daerah selain Yogyakarta kata makempal bermakna berkumpul. Alasan yang membuat dia yakin adalah karena bahasa Jawa mempunyai banyak ragam. Berdasar pendapat beberapa literatur dan ahli yang saya temui, bahasa Jawa hanya mempunyai satu induk. Yang membedakan adalah tingkat kehalusannya, ada ngoko dan krama. Jika ada ragam lain, itu hanya logat. itu sebabnya hanya ada satu macam kamus bahasa Jawa. Jika ada kamus bahasa Jawa dengan ragam lain pasti akan tertulis Kamus Bahasa Jawa Banyumasan (misalnya saja begitu).
ADVERTISEMENT
Saya sampai tahun 2018, saya masih sering menjumpai banyak orang, baik itu MC, pejabat, dan orang yang memberi sambutan memakai kata makempal. “Matur nuwun dumateng para rawuh ingkang sampun kersa rawuh ing papan mriki. Dinten punika, kita sami makempal nguntapaken sedherek kita, almarhum.......”. itu salah satu contoh. Saya sering tertawa sendiri. Di saat itu istri saya pun ikut tertawa sambil mencolek tangan saya.
Coba bayangkan jika ada orang yang mengajak para tamu benar-benar makempal secara bersamaan di acara lelayu sambil berdoa untuk jenazah, dan para tamu pada nurut. Bisa membayangkan? Nggak lucu kan? Saya ngga berani membayangkan. Takut kualat. Sebenarnya ngga cuma di lelayu saja kata ini sebaiknya dihindari. Nggak perlu saya sebut spesifik, ya? Mau di pesta pernikahan, di acara wisuda, atau di rapat RT, Anda tentu tahu konteks dan konsekuensinya.
ADVERTISEMENT
Jika di tulisan sebelum ini saya menghindari menggunakan pernyataan negasi, namun di tulisan ini saya justru menggunakan kalimat negasi berupa imbauan dan larangan seperti tertulis di judul karena memang saya bertujuan agar kita menghindari pemakaian kata tersebut.
Mari sebarkan informasi ini agar semakin banyak yang tahu.
Salam makempal hokya hokya.