Englonesian, Tren Mencampur Bahasa Disebut Gaul?

Inyoman Dwijaputra
Mahasiswa Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran angkatan 2019 yang tinggal di cimahi
Konten dari Pengguna
28 Oktober 2021 13:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inyoman Dwijaputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menurut Pateda (1987:4), Bahasa merupakan saluran untuk menyampaikan semua yang dirasakan, dipikirkan, dan diketahui oleh seseorang kepada orang lain. Bahasa juga memungkinkan manusia untuk bisa bekerja sama dengan orang lain dalam masyarakat. Hal tersebut berkaitan erat bahwa hakikat manusia sebagai makhluk sosial memerlukan bahasa untuk memenuhi hasratnya.
ADVERTISEMENT
Bahasa adalah bagian dari kebudayaan dan bahasalah yang memungkinkan pengembangan kebudayaan sebagaimana kita kenal sekarang. Bahasa juga berperan sebagai alat integrasi sosial sekaligus alat adaptasi sosial, mengingat bahwa Bangsa Indonesia memiliki bahasa yang majemuk.
Sebagai masyarakat Indonesia tentunya kita menggunakan Indonesia sebagai bahasa nasional, yang berfungsi sebagai alat komunikasi yang mempunyai peran sebagai penyampai informasi. Namun, pemakaian bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari mulai bergeser digantikan oleh pemakaian bahasa anak remaja yang dikenal dengan bahasa gaul. Interferensi bahasa gaul kadang muncul dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam situasi resmi yang mengakibatkan penggunaan bahasa tidak baik dan tidak benar.
Pengaruh lebih jauh dari bahasa Inggris di Indonesia adalah kebiasaan mendeskripsikan sesuatu dalam bahasa Inggris, Dalam ilmu bahasa, pencampuran bahasa seperti ini disebut sebagai campur kode atau code mixing. Berdasarkan definisi linguistik, campur kode (code-mixing) adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Yang termasuk di dalamnya adalah pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, terdapat beberapa kalangan mencibir gaya berbahasa “Englonesian” yang dianggap melecehkan bahasa negara dan tak mencerminkan nasionalisme. Salah satu anggapan yang lazim dari para ahli bahasa dan pencinta bahasa Indonesia adalah penggunaan bahasa seperti ini semacam ini tanda kusutnya pikiran si penutur bahasa dan ketidakmampuannya dalam menyusun kalimat.
Walaupun begitu, tak seperti anggapan bahwa umumnya si penutur bahasa hendak memakai bahasa Inggris agar keren, Para “Englonesian” justru berkata otaknya sulit mencari kosakata yang sepadan atau sesuai untuk kalimat yang sedang disusunnya. entah itu karena kurangnya padanan kata-kata di bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia, atau memang padanan kata yang tepat kurang populer. Pada dasarnya memang banyak kata-kata yang jauh lebih mudah dan lebih “dapat diterima” dalam percakapan jika kita menggunakan bahasa Inggris. Seperti penggunaan kata Survive, which is, basically, literally.
ADVERTISEMENT
Di sinilah bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara mendapatkan tantangan. Apakah sebagai bahasa pemersatu yang sudah dijunjung tinggi dalam Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia mampu untuk tetap kokoh sebagai bahasa yang dipergunakan dengan baik?
Meskipun sudah ada UU No 24 Tahun 2009 yang mengatur soal bendera, bahasa, dan lambang negara, sikap untuk menempatkan dan menggunakan bahasa Indonesia secara semestinya masih jauh dari kata baik. Padahal, seruan untuk tidak menggunakan bahasa "Englonesian" ini bukanlah sikap kefanatikan terhadap bahasa Indonesia, melainkan sikap untuk menghargai bahasa sebagai identitas dan jati diri bangsa.
Sebenarnya alih kode/campur kode tidak melulu merupakan gejala yang buruk dan haram untuk dilakukan. Pemakaian Bahasa Englonesian mencerminkan pikiran penutur dengan kemampuan intelektual dan penyerapan luas, sepanjang dipakai dalam struktur tata bahasa yang benar. Bahkan bagi sebagian yang lain, Bahasa Englonesian bisa menjadi semacam tanda untuk mendobrak batas-batas yang dirasa mengungkung, termasuk dalam soal berbahasa.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, persoalan mendasar akan segera terbaca dari sini. Kemampuan mengajar para guru bahasa Indonesia mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi tentu perlu direformasi. Kemampuan untuk menciptakan bahasa Indonesia sebagai pelajaran yang mudah dan menyenangkan masih menjadi hambatan. Sebagian anak dengan segera menyebut belajar bahasa Indonesia susah.
Stereotipe semacam ini yang menjadikan generasi malas membaca dan tidak bisa memahami isi bacaan. Akibatnya pun beruntun di masa depan: sulit memilih diksi, tak mampu menyusun kalimat hingga paragraf, dan bahkan lunturnya kecintaan terhadap bahasa Indonesia.