Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perkembangan 'Cashless Society' di Indonesia
25 Mei 2018 10:51 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari iPrice Trend tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber foto: iprice.co.id
Cara bertransaksi masyarakat Indonesia sudah mulai berubah. Peralihan transaksi ini tidak lain merupakan campur tangan aturan Bank Indonesia mengenai uang elektronik di tahun 2009 silam. Untuk mendorong transaksi uang elektronik tersebut, lima tahun kemudian yakni di tahun 2014, Bank Indonesia mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).
ADVERTISEMENT
Pencanangan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pelaku bisnis, dan juga lembaga pemerintah untuk menggunakan sarana pembayaran nontunai. Gerakan ini bisa Anda rasakan dari kebijakan implementasi pembayaran bus Transjakarta, KRL, dan juga pembayaran jalan tol.
Bicara dalam kacamata ekonomi digital, memasuki kuarter keempat di tahun 2017, wacana gerakan non-tunai terus berhembus kencang. Kali ini pemerintah Indonesia membuat sebuah keputusan dengan memberlakukan pembayaran pada semua pintu tol di seluruh Indonesia.
Usut punya usut, ternyata keputusan ini bukanlah rencana yang mendadak dibuat, melainkan rencana pemerintah untuk mencapai Masyarakat Digital di tahun 2020 melalui program “Go Digital Vision 2020”.
Tren cashless society ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan sistem ini sudah jauh-jauh hari dilakukan oleh negara lain, terutama di negara-negara maju sana. Di tahun 2014 Belgia yang paling juara dalam penerapan transaksi nontunai diikuti oleh Perancis, Kanada, Inggris, dan Swedia.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di benua Asia, Tiongkok menjadi juaranya. Menurut laporan yang ditulis Vice.com, Tiongkok diprediksi menjadi negara pertama yang sepenuhnya meninggalkan uang tunai. Hal ini disinyalir berkat pengontrolan internet yang ketat oleh negara.
Dengan penduduk terbesar di dunia dengan pilihan jasa yang tersedia relatif terbatas, maka keberhasilan satu sistem akan cepat menjalar dan diadopsi banyak orang. Kini masyarakat Tiongkok menggunakan WeChat Pay dan Alipay untuk melakukan transaksi nontunai untuk berbelanja, makan siang, bahkan sekedar membeli majalah di toko kelontong.
Apa Keuntungan Cashless Society?
Dari sudut pandang masyarakat awam, pertanyaan penting yang muncul adalah “Mengapa harus bertransaksi nontunai?”. Dilansir dari sosialisasi GNNT Bank Indonesia, terdapat beberapa hal terkait manfaat menggunakan alat pembayaran nontunai.
ADVERTISEMENT
Pertama, dari sisi keamanan dan kepraktisan. Membawa uang tunai cenderung lebih banyak dan memakan tempat dibanding membawa alat pembayaran nontunai yang biasanya berbentuk kartu (chip based) atau lainnya (server based). Dari sisi keamanan, membawa alat pembayaran nontunai relatif lebih aman dan praktis saat bertransaksi dibanding dengan uang tunai.
Kedua, menekan biaya pengelolaan uang rupiah dan cash handling. Penggunaan instrumen nontunai akan menekan ongkos pencetakan uang tunai. Dilansir dari situs resmi Bank Indonesia, setiap tahun anggaran sebesar Rp3,5 triliun digelontorkan untuk mencetak uang baru, termasuk menggantikan uang kumal yang dihancurkan.
Ketiga, perencanaan ekonomi akan lebih akurat. Transaksi nontunai akan tercatat secara lebih lengkap dan mudah dilacak. Hal ini kemudian akan memudahkan kita dalam menghitung aktivitas ekonomi. Seperti yang kita ketahui, Indonesia masih sangat rawan dengan berbagai praktik kegiatan underground economy yang umumnya dilakukan dalam bentuk tunai. Penggurangan transaksi tunai diharapkan akan meminimalisasi kejahatan kriminal serta menekan potensi kehilangan angka yang terekam dalam PDB (produk domestik bruto).
ADVERTISEMENT
Keempat, penggunaan alat pembayaran nontunai juga akan meningkatkan sirkulasi uang dalam perekonomian. Menurut mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, R. Maulana Ibrahim S, perputaran uang yang semakin cepat dalam masyarakat akan menstimulasi kegairahan dan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari money multiplier yang diciptakannya.
Perjalanan penerapan kebijakan cashless society tidaklah mudah. Meski layanan e-commerce dan marketplace yang berkembang kian memanjakan masyarakat untuk bertransaksi online. Namun apakah masyarakat Indonesia sudah siap untuk menggunakan dompet digital sepenuhnya?
Walau Indonesia sudah terlihat seperti “melek teknologi”, namun pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia masih terbilang kalah dari negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penghambat utama kebijakan ini, iklim atau ekosistem bisnis dan permasalahan klasik infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Selain jaringan infrastruktur seperti internet yang belum menyeluruh ke seluruh pelosok negeri, tertinggalnya perkembangan transaksi elektronik di Indonesia juga dipengaruhi oleh tingkat literasi keuangan yang masih rendah. Sebuah cashless society akan terwujud bila mayoritas masyarakatnya memahami bagaimana melakukan tata kelola keuangan atau literasi keuangan.
Hasil survei yang dilakukan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pada tahun 2016, tingkat literasi keuangan Indonesia baru sebesar 29,66 persen dari total jumlah penduduk. Artinya penduduk Indonesia yang memahami bagaimana mengelola uang dengan baik baru sebesar 75 juta jiwa saja dari 240 juta penduduk Indonesia. Ditambah lagi masyarakat Indonesia secara budaya masih lebih nyaman memegang uang tunai dan bertransaksi secara cash.
Survei yang diakukan Jakpat tahun 2016 lalu, menemukan fakta bahwa uang elektronik masih kurang populer di masyarakat. Secara umum minimnya penggunaan dompet elektronik dikarenakan proses penggunaannya yang belum bersahabat bagi masyarakat, kendati mereka sudah tergolong melek teknologi dengan penggunaan internet dan ponsel pintar.
ADVERTISEMENT
Penggunaan dompet elektronik pun masih didominasi untuk pemenuhan kebutuhan cepat saji, seperti minimarket, restoran, transportasi online, dan lain-lain. Hal ini terlihat dari presentasi pengisian saldo dompet elektronik yang didominasi antara Rp 50.000 – Rp 150.000 per bulannya.
Selain itu, masih banyak masyarakat Indonesia yang relatif membelanjakan uangnya di pasar tradisional, warung-warung, atau toko kelontong yang belum menyediakan prasarana nontunai. Ketersediaan EDC (electronic data capture) juga masih relatif minim persebarannya di Indonesia.
Tidak hanya itu, faktor lainnya yang juga menghambat adalah persoalan manusianya. Tidak jarang, alat transaksi nontunainya sudah tersedia, tetapi orang-orang tidak tahu cara mengoperasikannya. Kita bisa melihat contoh konkret saat memasuki stasiun KRL di Jakarta, di mana para komuter kebingungan bagaimana membeli ataupun top up kartu KRL.
ADVERTISEMENT
Survei Jakpat juga mengatakan rata-rata pengguna masih ragu akan isu keamanan dan proses pengisian saldo yang dianggap rumit. Penggunaan kartu kredit pun masih rendah, kebanyakan transaksi perbankan dilakukan melalui transfer di mesin ATM.
Melihat tantangan besar yang dihadapi Indonesia tersebut, bisa dibilang negara ini memiliki pekerjaan rumah untuk mewujudkan budaya cashless society. Mengubah suatu sistem dan menjadikannya sebuah kebiasaan perlu melewati proses yang panjang dan tidak mudah. Untuk itu diperlukan dukungan dari banyak pihak, baik dari pemangku kebijakan maupun dari kalangan masyarakat sendiri.
Jika menilik negara-negara tetangga seperti Singapura atau Tiongkok, Indonesia memang masih tertinggal jauh. Tapi bukan berarti kita menjadi pesimis. Keputusan pemerintah Oktober lalu dalam memberlakukan transaksi e-money untuk membayar tol di seluruh Indonesia bisa dibilang titik awal masyarakat secara perlahan terbiasa untuk meninggalkan transaksi tunai.
ADVERTISEMENT
Artikel ini dipublikasikan pertama kali di iPrice Insights .