Konten dari Pengguna

Berhentilah Jadi Penulis Buku

Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono, asli Jogja, tinggal sementara di Perth, bekerja sebagai ahli delivery. Pengalamannya bekerja sebagai sopir truk dituangkan dalam bukunya, Out of The Truck Box.
17 September 2017 8:45 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iqbal Aji Daryono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Iqbal Aji Daryono (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Iqbal Aji Daryono (Foto: kumparan)
ADVERTISEMENT
Gonjang-ganjing dunia perbukuan Indonesia yang dipantik penulis Tere Liye terus menggulirkan perbincangan-perbincangan susulan. Beberapa hari lalu sampai muncul dialog perpajakan yang mempertemukan Bu Sri Mulyani dengan para penulis.
ADVERTISEMENT
Saya agak sulit mengikuti tema-tema pajak begitu. Namun sebagai orang yang cukup lama berdekatan dengan buku dan para penulis buku, terus terang saya ingin bilang kepada para anak muda: jika engkau menata mimpi sebagai penulis buku di negeri ini, tak usah malu-malu untuk balik kanan. Percayalah.
Ini bukan demotivasi, bukan pula sikap yang menempatkan diri sebagai musuh literasi. Justru yang saya sampaikan barusan itu pertimbangan realistis, agar korban-korban tidak lagi berjatuhan. Sungguh, berbahagialah mereka yang melepaskan diri dari jeratan mimpi sebagai penulis buku di Indonesia, lalu menemukan jalan lain yang lebih menjanjikan kemakmuran.
Saya yakin, ada sekian anak muda yang memendam cita-cita sebagai penulis buku, lalu terlalu nekat untuk menekuninya, dan akhirnya sadar bahwa dunia serta hukum alam jarang-jarang berpihak kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Entah sekarang masih ada atau tidak buku kepenulisan dengan judul semacam Menulislah Maka Kau Akan Kaya. Andai masih ada, masyarakat harus diimbau agar berhati-hati. Buku seperti itu rentan berisi hoax, sesat dan menyesatkan, sehingga MUI pun mesti turun tangan untuk menjatuhkan fatwa keharaman.
Memangnya di negeri kita ada berapa orang sih yang berhasil hidup dengan mengandalkan penghasilan dari menulis buku, tanpa menjalani mata pencaharian utama semisal sebagai wartawan, atau penggiat LSM, atau makelar politik? Ada sih ada. Tapi selama Anda bukan Pramoedya Ananta Toer, atau Habiburrahman El-Shirazy, atau Andrea Hirata, atau Tere Liye, rasanya berjudi di dunia kepenulisan sebagai andalan penghidupan adalah bentuk paling halus dari bunuh diri.
Makanya, profesi penulis buku, bahkan penulis pada umumnya, tidak pernah masuk dalam khazanah pikiran normal manusia Indonesia. Itu tampak dalam peristiwa yang dialami sahabat saya, seorang novelis yang sekarang sedang berkibar-kibar namanya. Sebut saja namanya Mahfud Ikhwan.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun silam, Mahfud didatangi tamu istimewa dengan pertanyaan yang juga istimewa. Si tamu itu petugas sensus penduduk, dan pertanyaan istimewa yang ia bawa adalah: “Pekerjaan Anda apa, Mas?”
Mahfud menjawabnya dengan mantap dan penuh percaya diri, “Saya penulis, Mbak!”
“Penulis?” Raut Mbak Petugas Sensus tampak kebingungan. Tapi ia segera menguasai diri dan menemukan titik terang kebenaran. “Oh, penulis tuh maksudnya sekretaris ya?”
Keruan saja wajah Mahfud manyun seketika. Bahkan sebagai petugas sensus yang pastinya telah bertatap muka dengan ribuan orang, Si Embak belum pernah mendengar bahwa di kolong langit ini ada jenis pekerjaan bernama penulis. Dia mengira bahwa penulis adalah sekretaris, dan kemungkinan besar menduga pula bahwa sekretaris sama dan sebangun dengan tukang ketik. Itu mengerikan sekali dan berbahaya bagi masa depan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Tapi Mahfud bisa apa? Negara bisa apa? Masyarakat di sekitarnya bisa apa? Bahkan belum pernah terdengar satu kali pun ada iklan susu formula atau nutrisi anak, yang memunculkan sosok bocah ganteng berlari kencang sambil berteriak riang, “Kalau besar nanti, aku ingin jadi penuliiiiis....!”
***
Sudahlah, jangan lagi menyalah-nyalahkan rendahnya minat baca rakyat Indonesia. Saya tidak terlalu percaya dengan angka-angka itu. Pertama, aneka pemeringkatan dalam lingkup internasional selalu menggunakan kata literacy. Sementara seringkali mereka kabur dalam membedakan antara literasi sebagai “melek baca”, atau literasi sebagai sekadar “melek huruf”.
ADVERTISEMENT
Kedua, terkait kabar mutakhir tentang pemeringkatan literasi dari Central Connecticut State University (CCSU), Amerika Serikat. Mereka menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara di dunia. Sementara, Malaysia ternyata nongkrong di ranking 53. Padahal silakan Anda periksa saja seperti apa buku-buku Malaysia, seberapa hebat dan seberapa bebas orang-orang di sana membaca serta mendiskusikan buku-buku mereka. Kalau boleh saya katakan, dalam soal perbukuan, Indonesia jauh lebih keren dibanding Malaysia. Percayalah. Dan karena itu jugalah CCSU tidak layak dipercaya.
Ketiga, bagaimana Anda yakin tingkat melek baca masyarakat kita sangat rendah, sementara Indonesia merupakan negara dengan 126 juta pengguna Facebook alias terbesar keempat sedunia (data Statista per Juli 2017), dan pengguna lebih dari 24 juta pengguna Twitter alias terbesar ketiga sedunia (data Statista per Mei 2016).
ADVERTISEMENT
Bukankah semua yang diakses para pencandu media sosial tersebut bisa dianggap 30% gambar dan 70% tulisan? Berarti mereka membaca juga, bukan? Lalu di mana bukti rendahnya minat baca masyarakat Indonesia?
Saya lebih melihat bahwa problem yang sesungguhnya bukanlah minat membaca, melainkan minat membeli. Kalau soal minat mengeluarkan uang untuk mengakses pengetahuan, nah, rasanya memang memprihatinkan. Hehehe.
Saya jadi ingat sindiran seorang kawan yang lain lagi. Sebutlah namanya Bonnie Triyana. Dia seorang sejarahwan muda termasyhur, mendirikan dan mengelola sebuah penerbitan majalah bertema sejarah, dan kerap tampil sebagai pembicara dalam seminar sejarah tingkat nasional hingga internasional. Begini yang ia tulis di tembok ratapan Facebooknya:
“Honor penyanyi sekali manggung bisa puluhan bahkan ratusan juta. Giliran pembicara seminar, jangankan puluhan juta, baru pasang tarif saja sudah digunjing mata duitan. Nah, saya ada ide bagi kalian para pembicara yang kesulitan menentukan honor dan ingin mendapat penghasilan sebagaimana penyanyi: sampaikan makalah Anda dengan cara mendayu-dayu seperti halnya penyanyi membawakan lagu. Peserta dapat dua keuntungan sekaligus: pengetahuan dan hiburan. Silakan mencoba!”
ADVERTISEMENT
Terdengar ngocol, memang. Tapi ada kritik sosial yang mendalam di sana. Kalau dirangkai dalam ratapan, lebih kurang formulasinya begini: “Kenapa masyarakat kita memberi harga yang jauh lebih murah untuk akses pengetahuan, dibanding akses atas hiburan, kesenangan, dan barang-barang?”
Masyarakat kita bukan jenis masyarakat yang mau mengeluarkan banyak uang untuk membeli pengetahuan. Beda halnya dengan keperluan barang-barang dan penampilan. Taruhlah untuk beli celana jeans di zaman sekarang, 300 ribu jadi angka yang biasa. Buat hiburan pun tak beda. Tiket konser Dream Theatre yang harga termurahnya 450 ribu, eh ternyata ludes juga.
Di saat yang sama, kita mengeluhkan harga buku yang rata-rata cuma 40-80 ribu perak!
Dengan masyarakat yang penuh keluhan demikian, jangan heran kalau para penulis tetap nelangsa, harus nyambi ini-itu agar tetap mengepul magic com-nya. Akibatnya mereka kurang total, kurang maksimal dengan tugas peradaban mereka, sehingga ujung-ujungnya mereka kurang produktif, dan hasil kreasi tertulis mereka kurang bertenaga.
ADVERTISEMENT
Jadi ini salah siapa? Semata salah undang-undang perpajakan? Atau salah Jokowi, Erdogan, dan Kim Jong Un?
***
Buku Tere Liye (Foto: Facebook/Tere Liye)
zoom-in-whitePerbesar
Buku Tere Liye (Foto: Facebook/Tere Liye)
Dalam semangat literasi yang menggebu-gebu, masyarakat pembaca sering beramai-ramai menuntut penurunan harga buku. Aih, saya termasuk orang yang tidak terlalu sepakat dengan ide itu.
Pertama, semakin murah harga buku, semakin sedikit jatah royalti untuk penulis. Sebab royalti penulis dihitung dengan persentase. Artinya, semakin murah harga bruto sebuah buku, maka semakin kecil juga nilai rupiah yang akan masuk ke dompet penulis. Padahal penulis tidak berkurang volume kerja kerasnya, tidak menurun jumlah cangkir kopi yang menemaninya mengetik berbulan-bulan dari siang sampai pagi buta.
ADVERTISEMENT
Kedua, mau murah ataupun mahal, tetap saja kita lebih memilih belanja barang-barang lainnya ketimbang buku. Dan penulis buku yang mengandalkan hidup mereka dari royalti pun kian merana.
Agaknya kita ini memang terlalu materialistis, jamaah yang berbahagia. Kita jarang mengukur kualitas hidup dengan standar-standar imaterial. Kalau toh ilmu pengetahuan dianggap penting, ia akan menjadi benar-benar penting hanya manakala bisa ditransformasikan ke dalam wujud materi.
Maka, banyak buku yang jadi laris karena membawa pembacanya kepada orientasi material yang ringkas, praktis, dan (dikira) gampang diwujudkan secara instan. Misalnya buku kumpulan soal-soal tes CPNS, juga buku-buku tentang cara jitu untuk cepat kaya dengan cara begini dan begitu.
Gejala materialisme ini bahkan melanda buku-buku agama, sebab bestseller di kategori itu adalah praktik-praktik beragama yang reward-nya dianggap bisa langsung “cair” seketika di dunia.
ADVERTISEMENT
Nah, pertanyaan pamungkasnya adalah: kenapa kita selalu memberi harga yang rendah untuk pengetahuan?
Iqbal Aji Daryono, mantan editor, mantan penulis buku, mantan pemilik rumah penerbitan