Konten dari Pengguna

Menjadi Sopir Bahagia bersama Mas Denny Indrayana

Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono, asli Jogja, tinggal sementara di Perth, bekerja sebagai ahli delivery. Pengalamannya bekerja sebagai sopir truk dituangkan dalam bukunya, Out of The Truck Box.
30 Januari 2017 10:30 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iqbal Aji Daryono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sopir truk (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Sopir truk (Foto: Pixabay)
Beberapa waktu lalu tersiar kabar bahwa mantan Wamenkumham, Denny Indrayana, menjalani pekerjaan sambilan di Australia dengan menjadi sopir travel. Orang-orang jadi pada riuh. Ada yang heran, ada yang kagum, ada yang prihatin.
ADVERTISEMENT
Kemudian di media ini Mas Denny menceritakan semuanya. Bahwa bekerja apa saja asal halal adalah nilai yang dia pegang sejak kecil. Bahwa ia tak pernah malu menjalani pekerjaan rendahan, dan dulu saat menempuh studi doktoral pun ia pernah menjalani pekerjaan kelas bawah di kota yang sama.
Dalam perkara hukum, saya memang tak tahu apa-apa. Namun dalam dunia persopiran di Negeri Aborigin ini, saya adalah, ehem, senior jauhnya Mas Denny. Maka izinkan saya ikut berbagi.
Denny Indrayana di Melbourne. (Foto: Denny Indrayana/istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Denny Indrayana di Melbourne. (Foto: Denny Indrayana/istimewa)
Dari cerita Mas Denny, saya menangkap kesan bahwa untuk menjadi sopir di Australia dibutuhkan sejenis ketabahan tertentu. Harus kuat mental, tidak gengsian, harus dibekali kesadaran bahwa bekerja apa pun tak mengapa asal halal.
Kesan demikian membuat saya sedikit tergelitik. Sebab gengsi dan tidak gengsi sebenarnya hanyalah efek dari tekanan sosial, dan tekanan sosial muncul karena konsep status. Adapun konsep status adalah salah satu bentuk dari konstruksi sosial, sementara suatu konstruksi sosial selalu terikat pada konteks masa dan masyarakat tertentu.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia memang memandang pekerjaan sopir sebagai pekerjaan kelas bawah. Kenapa?
Pertama, karena ini profesi yang dianggap mengandalkan fisik, bukan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan otak tinggi semacam dokter, dosen, atau wakil menteri. Kedua, karena penghasilannya yang kecil, dan itu bisa dibilang sebagai faktor utama.
Di Australia, pekerjaan sopir sudah pasti tidak sekeren dosen. Tapi untuk menyebut bahwa sopir adalah pekerjaan rendahan di sini (serendah di Indonesia), ya tidak persis-persis begitu pula.
Saya kira, ini merupakan ekses dari kesenjangan sosial yang tidak selebar di Indonesia.
Jelasnya begini. Di Australia, nilai upah untuk pekerjaan-pekerjaan fisik tidak beda-beda jauh dengan pekerjaan kantoran level karyawan. Di Perth saat ini upah perjam rata-rata 20 dolar, dan itu berlaku sama baik untuk tukang sapu maupun resepsionis kantor, misalnya.
ADVERTISEMENT
Untuk beberapa jenis pekerjaan dengan keterampilan dan pengetahuan tinggi semisal di bidang desain, teknologi informasi, atau pertambangan, memang ada standar lebih bagi karyawan di bidang itu. Namun beberapa perkecualian itu pun berlaku pula di pekerjaan fisik.
Seorang sopir bus TransPerth bisa mendapat 38 dolar perjam, sedangkan sopir truk gandeng gede-gede dengan trayek antarnegara bagian perjamnya bisa dapat 40 dolar, bahkan lebih.
Seorang gadis cantik dan gaul bisa dengan cukup percaya diri memajang di Facebooknya profesi sebagai kasir pom bensin, misalnya.
Saya sendiri yang pernah memegang truk 5 ton, dan saat ini masih aktif mengemudi big van, tidak perlu merasa malu-malu macam di Indonesia kalau kenalan sama mbak-mbak sambil menyebut “I’m a driver.”
ADVERTISEMENT
Itu baru apresiasi sosial sebagai hasil dari standar upah yang tidak njomplang. Belum lagi soal “disiplin profesi”. Di sini, orang akan bekerja benar-benar sesuai kontraknya. Problem ketenagakerjaan bisa jadi isu serius, dan pelanggaran atas kontrak bisa membawa akibat buruk bagi perusahaan.
Sehari sebelum saya menulis catatan ini, ada pelanggan yang mengorder penjemputan sebuah barang. Masalahnya, si pelanggan butuh bantuan. Barang seberat 22 kilo itu harus dimasukkan ke kardus terlebih dahulu. Padahal tangan si pelanggan habis terkilir, dan dia tak bisa melakukannya sendirian.
ADVERTISEMENT
Nah, pihak kantor logistik tempat saya bekerja tidak berani meminta saya melakukan bantuan sekecil itu, dan lebih memilih menolak order. Untunglah kemudian saya mengontak langsung si pelanggan.
Dengan sedikit memelas si pelanggan menjelaskan kondisinya kepada saya, lalu dengan berhati-hati dia bertanya apakah saya bisa membantunya melakukan satu hal di luar tugas saya, sambil beberapa kali menyampaikan bahwa saya tak harus melakukannya jika saya tidak mau.
Setelah saya cek, ternyata bantuan yang dia mohonkan secara menyedihkan itu hanyalah beberapa gerakan kecil, dan cuma memakan tiga menit waktu saya! Hahaha!
Tentu ini beda dengan di negeri kita. Kita terbiasa memosisikan seorang sopir sebagai sekaligus pembantu.
Job desc-nya sopir, tapi juragan selalu mewajibkan si sopir untuk mencuci mobil tiap pagi, bahkan memotong rumput kalau pas si sopir tidak sedang duduk di belakang setir. Ini faktor lain selain penghasilan, yang membuat status sosial seorang sopir jadi tampak rendah.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan lalu saya juga sempat memegang minibus seperti yang dipegang Mas Denny, untuk menemani para tamu dari sebuah perusahaan nasional di Jakarta. Mereka sedang berkunjung ke Perth untuk sebuah agenda bisnis selama 10 hari.
Saya adalah sopir mereka, mereka adalah tamu saya. Kontrak saya adalah mengantarkan mereka ke mana mereka mau.
Kalau memakai cara Australia, saya hanya akan menjemput saja tamu-tamu saya itu, mengantarkan kembali ke hotel, menjemput lagi untuk makan malam, dan melanjutkan tugas yang sama keesokan harinya. Itu saja. Namun, para tamu saya agaknya lupa bahwa ini Perth, bukan Jakarta. Di sinilah terjadi sedikit gagap budaya.
Mereka yang sebagian besar seumuran adik-adik saya itu pasti terbiasa melihat sopir sebagai orang suruhan. Jadi ketika belanja ini-itu pun, saya diminta menenteng belanjaan mereka di tangan kiri dan kanan, sembari saya mengekor di belakang saat mereka menjelajah toko barang-barang bermerek.
ADVERTISEMENT
Ketika saya mencoba berbincang dalam suasana sebagai teman baru pun, mereka tampak enggan dan lebih memilih menjaga “jarak sosial”. Hahaha.
Tentu saja, mbak-mbak itu tidak pada sadar bahwa sopir yang mengantarkan mereka adalah X-Men yang sedang menyamar. Namun saya sudah menyiapkan diri sejak awal untuk hal-hal semacam itu, dan saya pun senang-senang saja melakukan tugas-tugas di luar kontrak saya. Toh, saya memang mematok ongkos di atas standar, dan menikmati legitnya uang perusahaan mereka.
Begitulah. Dua hal itu, standar penghasilan dan disiplin atas kontrak kerja, membentuk penghargaan yang baik bagi pekerjaan-pekerjaan yang di negeri kita tampak rendahan. Dengan apresiasi sosial yang baik, orang tidak berpikir rumit tentang gengsi-gengsian.
Ada lagi satu ilustrasi kecil terkait gengsi-gengsian tersebut.
ADVERTISEMENT
Waktu saya mengantarkan tamu-tamu dari Jakarta itu, saya mengkoordinasi beberapa sopir lain. Ada satu sopir yang tidak saya kenal sebelumnya, orang asal Kupang yang lama jadi orang Perth, sebut saja namanya Pak Said.
Sebagai koordinatornya, tentu saya main suruh juga. Namun saya jadi agak grogi, saat belakangan kawan saya memberitahu bahwa Pak Said itu orang kaya raya. Propertinya di mana-mana, dari Perth hingga Darwin.
Pak Said jelas lebih kaya dibanding para tamu dari Jakarta, bahkan mungkin lebih kaya dibanding Mas Denny Indrayana. Tapi dia enteng saja mengisi waktu dengan menjadi sopir, karena memang di sini gengsi-gengsian semacam itu tidak terlalu mendapat tempat.
Demikianlah.
Jadi, apa yang dilakukan Mas Denny dengan bekerja sebagai sopir travel memang merupakan tindakan mulia, namanya juga mencari nafkah halal. Namun sungguh, di Australia, tidak dibutuhkan semacam mental baja, ketabahan level tertentu, dan sikap rendah hati yang luar biasa, untuk bisa menjalani pekerjaan semacam itu.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, sebenarnya di Indonesia pun konstruksi sosial atas pekerjaan (yang dianggap) rendahan selalu bisa dikoreksi. Seorang sopir di Indonesia sudah saatnya tak perlu terlalu risau dengan stempel minim kerja otak dan penghasilan yang rendah.
Begini maksud saya.
Coba perhatikan saja. Tangan seorang sopir mengoperasikan setir, sein kanan-kiri, klakson, wiper, lampu depan dan dim, dan tongkat persneling. Kaki sopir mengoperasikan gas, rem, dan kopling. Mata sopir awas setiap saat ke depan, dan ke samping kiri-kanan-tengah untuk mengawasi arah belakang via spion. Sungguh aktivitas otak seorang sopir tak bisa dianggap enteng.
ADVERTISEMENT
Apalagi jika dibarengi pemahaman wilayah berikut jalur-jalur jalanannya, maka seorang sopir mestilah encer otaknya, dan memiliki kecerdasan spasial yang tinggi. Jadi, profesi sopir bukanlah jenis pekerjaan okol alias otot semata, melainkan juga pekerjaan otak.
Ini bukan glorifikasi atas profesi saya sendiri, tenang saja, wkwkwk. Saya cuma berusaha agar Anda semua sedikit mengubah pandangan meremehkan atas para sopir di sekitar Anda.
Bagaimana dengan aspek penghasilan? Weee, jangan salah. Sopir-sopir bus malam di Jawa gitu dengar-dengar gajinya bisa sampai 6 juta. Sopir Transjakarta gajinya juga 8 juta. Kalau sopir truk antarkota, saya kurang tahu persisnya.
Tapi seorang teman selalu berpesan, bila bepergian ke luar kota dan kelaparan di jalan, carilah rumah makan yang dipakai mampir para sopir truk. Soalnya makanannya pasti enak-enak, hahaha.
ADVERTISEMENT
Ya, sopir truk luar kota terkenal gak doyan makan kalau nggak enak. Menu makanan mereka dijamin lebih oke dibanding menu harian yang disantap seorang karyawan baru di Jakarta.
Jika pemahaman semacam itu bisa kita tanamkan ke kesadaran orang-orang di sekitar kita, berikut pelan-pelan mulai menghormati profesi orang lain dengan tidak main suruh dan memberinya beban di luar kesepakatan, niscaya seorang sopir di Indonesia tak akan lagi dianggap rendahan. Begitu juga dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Contohlah masyarakat Jepang.
Bendera Jepang (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Jepang (Foto: Pixabay)
Di Jepang, kata teman saya Mya Dwi Rostika yang saat ini mengajar di Kokushikan University, di sana istilah ‘tukang’ sudah diganti dengan ‘ahli’. Bukan lagi tukang reparasi, tukang mebel, tukang bangunan. Melainkan ahli reparasi, ahli mebel, dan ahli bangunan.
ADVERTISEMENT
Kalau kita bisa membangun tradisi positif semacam itu, orang akan tak lagi melihat status rendah sebuah pekerjaan sebagai kendala. Bisa jadi, pengangguran juga akan berkurang, sebab kita tak lagi merasa perlu gengsi untuk bekerja apa saja.
Sehingga netizen juga tak perlu merasa kaget, jika sepulang ke Indonesia nanti, saya dan Mas Denny Indrayana kadangkala mengisi waktu dengan menjadi ‘ahli setir’ bersama-sama. Hahaha!