Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menjelajah Perth, Memburu Takjil
24 Juni 2017 15:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Iqbal Aji Daryono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mohammedan Mosque, atau biasa disebut Perth Mosque, merupakan masjid tertua di Kota Perth, Australia Barat. Tempat ini dibangun pada sekitaran tahun 1904 atau 1905, oleh Hassan Musa Khan. Adapun Hassan adalah seorang India yang berprofesi mula-mula sebagai cameleer, alias pengemudi unta. Pada masa itu unta begitu dibutuhkan Australia sebagai alat transportasi tahan banting, yang kuat menyelusup hingga ke wilayah-wilayah pedalaman yang kerontang.
ADVERTISEMENT
Selain sebagai sopir unta, Hassan juga punya predikat sebagai penulis merangkap pedagang buku. Ia telah menulis buku The History of Islamism in Australia from 1863-1932.
Senja itu, sebenarnya bisa saja saya masuk ke Perth Mosque demi tujuan napak tilas dan ngalap berkah Hassan Musa Khan, atau mencari inspirasi dari orang yang profesinya agak mirip saya sendiri: sopir, merangkap penulis, merangkap (mantan) pedagang buku. Namun tidak. Itu sudah pekan terakhir Ramadan, dan saya belum melunasi rencana saya untuk berburu takjil.
Ya, saya datang ke Perth Mosque pada Rabu sore, demi mencicipi menu takjilan yang lezat dan hebat.
Beberapa orang mulai berdatangan. Dari wajah-wajah mereka, saya menduga kebanyakan mereka orang Pakistan atau Bangladesh. Lalu satu-dua orang menggelar tikar di halaman, mempersiapkan menu berbuka, dan menatanya di beberapa titik.
ADVERTISEMENT
Dari lantai balkon, saya menikmati gerak-gerik mereka itu, sembari mengintip pemandangan di luar tembok. Kiri dan kanan masjid itu adalah area Northbridge, daerah keramaian yang berisi restoran, pertokoan, hotel-hotel backpacker, bar tempat minum-minum, hingga adult shop. Di dalam lingkungan masjid ini saya merasa masuk ke sebuah dunia lain.
Dunia lain itu kian sempurna ketika tiba-tiba gerimis turun, karpet dipindah ke serambi masjid, lalu kami mulai duduk memanjang berhadap-hadapan.
Saya menatapi piring-piring menu buka puasa kami, lalu melongo. Pekan sebelumnya, kawan saya Faisal Wafi bilang, “Di Perth Mosque menu iftar-nya kadang kebab gede yang disantap ramai-ramai.” Itu jelas membangkitkan minat saya. Lho, tapi yang ini kok beda?
Ya, piring-piring di hadapan saya hanya berisi buah apel, semangka, dan pisang yang diiris kecil-kecil, kurma, samosa, dan potongan-potongan terong mini yang digoreng pakai tepung mirip mendoan. Lalu ada orang datang membawa beberapa loyang pizza.
ADVERTISEMENT
Saya sempat menghibur diri dengan meyakini bahwa itu semua cuma menu pembuka, karena setelahnya akan hadir menu utama si kebab raksasa. Namun malang, tak muncul tanda-tanda datangnya kebab jenis apa pun di sana. Maka ketika azan Magrib dilantunkan, kami pun berebutan menyantap terong goreng, kurma, dan potongan buah itu tadi. Masih untung saya kebagian sekerat pizza. Sebab para lelaki di kiri-kanan saya rasanya begitu tergesa, dan dalam diam mereka bergerak sangat cepat, saling mendahului, agar tetap kebagian cuilan-cuilan menu takjil istimewa senja itu.
Oh, Tuhan. Ini Perth Mosque, masjid di pusat kota Perth, ibukota Australia Barat. Kenapa sebersahaja ini? Apakah mereka ingin mengampanyekan spirit kesederhanaan bulan Ramadan? Entahlah. Yang jelas ini sebenarnya jauh lebih mendingan ketimbang sore sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Hari Selasa sebelumnya, saya datang ke tempat itu juga, tapi agak terlambat. Saya kira menu besar baru akan dilahap selepas salat berjamaah. Maka saya tenang saja ketika salat sudah dimulai waktu saya tiba. Ngenesnya, saya melihat di beranda luar sudah tergeletak piring-piring dan gelas kotor berikut biji-biji kurma yang bertebaran di sekitarnya. Saya pun ikhlas membatalkan puasa hari itu dengan satu tegukan air wudu.
***
Cita-cita saya untuk berbuka dengan kebab kambing belum surut. Maka pada hari Kamis, sehari selepas iftar penuh keprihatinan di Perth Mosque itu, saya memikirkan alternatif tempat lain. Pilihan jatuh ke Masjid Suleyman, sejarak setengah jam perjalanan dari lokasi kerja saya. Itu lumayan masuk akal, karena saya selesai kerja delivery di area Subiaco pada sekitar jam 16.30, sementara Magrib sekarang jam 17.20.
ADVERTISEMENT
Meluncurlah saya ke Masjid Suleyman di bilangan Welshpool. Masjid ini resminya disebut Suleimaniye Masjid, menggunakan pengucapan “Sulaiman” sesuai dialek Turki. Maklum, masjid ini memang didirikan dan dikelola oleh komunitas imigran Turki.
Wah, Turki! Kebab! Itu bikin saya deg-degan. Meski di Perth Mosque kebab gagal diraih, tentunya beda cerita kalau di masjidnya orang Turki sendiri. Ingat, kebab adalah makanan Turki, dan nama kebab sebagai makanan disebut pertama kali dalam Kyssa-i Yusuf, sebuah manuskrip kuno dari Turki. Lagipula, para pedagang kebab di berbagai gerai yang pernah saya datangi di sini ya rata-rata orang Turki. Tak perlu diragukan, pengelola Masjid Suleyman pasti bisa bikin kebab meski sambil merem dan pakai sebelah tangan.
Maka saya tiba di masjid tersebut, sembahyang, dan duduk menunggu. Semenit, dua menit, sebelas menit. Persis pada jam 17.11, saya tengak-tengok. Waktu berbuka tinggal 11 menit lagi. Kenapa tidak tampak gejala sosial dan spiritual apa pun di sekitar saya yang berkaitan dengan takjil-menakjil?
ADVERTISEMENT
Cuma ada tiga orang di luar, mengobrol. Sepertinya mereka habis salat juga. Ada satu orang di sudut masjid bagian dalam, mungkin sedang i’tikaf. Lalu satu orang lagi sedang membersihkan tanaman hias di luar. Hmm, jangankan kebab, ciri-ciri kedatangan terong goreng pun tak ada sama sekali!
Wahai Tuhanku, ini Masjid Suleyman. Sulaiman adalah nabi paling kaya raya dalam khazanah tiga agama samawi. Lah, jika di Masjid Sulaiman saja tidak ada iftar, lantas bagaimana dengan Masjid Ayyub? (Untunglah tak ada Masjid Ayyub di Perth.)
Saya panik. Sikap politik yang tegas harus segera saya ambil. Alih-alih bertanya ke mereka apakah akan ada iftar di situ ataukah tidak, saya pilih melesat ke tempat yang jelas saja. Masih ada waktu sembilan menit, dan saya lekas keluar, menyalakan mesin van saya, lalu melesat ke arah Universitas Curtin.
ADVERTISEMENT
***
Tak perlu saya ceritakan perburuan takjil saya di Curtin University. Kisahnya terlalu menguras air mata, dan biarlah itu saya simpan hingga waktu yang tepat untuk membukanya. Izinkan saya mengisahkan saja kisah manis dan mengenyangkan di hari setelahnya.
Jumat sore, saya ingin membalaskan dendam tak berkesudahan ini. Saya pun mendatangi lokasi yang jelas-jelas saja, dan merasa kapok bermain dalam ketidakpastian hidup. Maka hadirlah saya sore itu di UWA, University of Western Australia. Itulah tempat saya jumatan tiap pekannya. Saya sudah mengenal beberapa warga muslim Indonesia yang sedang belajar di sana, dan siang harinya sempat saya pastikan bahwa Jumat sore itu ada iftar digelar.
Bisik-bisik dari kalangan mahasiswa terkait jadwal iftar sudah pasti akurat. Saya jadi ingat masa-masa kuliah dulu, ketika banyak kawan di UGM sampai-sampai membuat jadwal menu di masjid-masjid besar seputaran Jogja. “Tanggal sekian Ramadan di Masjid Kampus biasanya penakjilnya ini, menunya ayam bakar. Jumat pertama di Masjid Gede Kauman biasanya penakjilnya Bapak Haji Anu, menunya tongseng kambing.” Informasi dari mahasiswa terkait takjilan memang sudah setara hasil riset.
ADVERTISEMENT
Dan benarlah. Saya menangguk sukses besar sore itu. Puasa H-2 Lebaran tahun ini pun berhasil saya pungkasi dengan mantap dan meyakinkan, bersama piring-piring besar berisi nasi biryani dan potongan-potongan ayam empuk, lengkap dengan saus yogurt di tepinya. Nah, ini baru buka puasa yang sesungguhnya.
“Bukan, ini bukan nasi basmati,” kata pemuda di hadapan saya, sembari kami melahap santapan itu dari satu piring besar yang sama. Nama pemuda itu Muhammad Syuaeb Khan, berasal dari Punjab, Pakistan.
“Oh, saya kira hanya ada dua jenis nasi di dunia ini. Nasi putih Asia, dan nasi basmati. Asal panjang-panjang begini, saya kira nasi basmati,” saya melempar komentar itu kepada kenalan baru saya itu, sekadar biar muncul percakapan yang agak tematik dan berbobot pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Syuaeb menggeleng, lalu dengan bersemangat ia memaparkan tentang aneka jenis nasi dari tanah kelahirannya, bahwa beberapa jenis padi menyerap air lebih banyak, bagaimana ada padi tertentu tercium bau harumnya dari jarak puluhan meter, dan sebagainya. Saya membayangkan andai di situ hadir pula Om Andreas Maryoto penulis buku Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, tentu percakapan kami akan semakin ilmiah.
Sayang, perbincangan gastronomi yang asyik dan menetralkan kenangan buruk saya akan wajah-wajah muram di Perth Mosque itu harus ditutup dengan obrolan politik. Ya, Syuaeb lalu bercerita tentang sejarah geopolitik Pakistan, berikut pernyataan pamungkasnya: “Negeri kami sekarang jadi negara muslim terkuat! Kami punya senjata nuklir!”
***
Sebenarnya sore itu sudah kali kedua saya berbuka puasa di UWA. Yang pertama dua pekan sebelumnya, sebuah acara buka yang menghadirkan bintang tamu masakan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Benar, menu buka puasa pada kehadiran pertama saya disediakan oleh komunitas Indonesia, di bawah komando Mamah Ade Scaf, juragan bakso yang termasyhur di seantero Perth. Senja bertema Indonesia itu pun sedikit mengobati kerinduan saya akan buka puasa bersama di tanah leluhur. Memang tak ada menu takjil standar di masjid kampung saya yakni nasi bungkus daun pisang, semur telur separuh iris, sambal tempe, dan bakmi. Namun setidaknya saya mengunyah bakso, ayam bumbu rujak, mie bumbu kecap, dan beberapa elemen masakan Indonesia.
Bakso jugalah yang menjadi menu andalan saat buka puasa digelar oleh Konsulat Jendral RI, akhir pekan ketiga bulan Ramadan ini. KJRI memang menyelenggarakan acara buka puasa dan salat Tarawih bersama untuk masyarakat Indonesia pada setiap Sabtu sore selama Ramadan. Acara ini selalu menjadi ajang berkumpul bagi warga muslim Indonesia dari berbagai kalangan, baik pelajar, mahasiswa, maupun mereka yang memang bekerja dan bermukim di Perth.
ADVERTISEMENT
Bahkan ajang buka puasa bersama seperti itu ternyata juga lumayan melunturkan sekat-sekat primordial antarkelompok. Sebab meski penyelenggaranya KJRI, eksekutornya adalah panitia bersama yang berisi perwakilan dari 29 organisasi masyarakat Indonesia yang hidup di Perth. Ormas-ormas itulah yang menyediakan semua menu santapan untuk berbuka.
Jadi jika Anda datang berbuka di situ, jangan kaget kalau rasanya nano-nano. Sebab bisa jadi Anda menggigit tahu bacem rasa Muhammadiyah, kue lapis rasa NU, donat rasa tarbiyah PKS, dan sebagainya.
Ramadan semestinya memang berspirit perdamaian, bukan? Hehehe.
Live Update