Palu Arit, Dagangan Laris Para Elite

Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono, asli Jogja, tinggal sementara di Perth, bekerja sebagai ahli delivery. Pengalamannya bekerja sebagai sopir truk dituangkan dalam bukunya, Out of The Truck Box.
Konten dari Pengguna
28 September 2018 8:11 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iqbal Aji Daryono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Partai Komunis Indonesia (PKI) (Foto: Wikipedia)
zoom-in-whitePerbesar
Partai Komunis Indonesia (PKI) (Foto: Wikipedia)
ADVERTISEMENT
Apa yang berhasil diwariskan dari gelapnya sejarah 1965-1966? Apakah sekadar tentang sejarah yang dibengkokkan, juga setumpuk PR penegakan HAM?
ADVERTISEMENT
Sepertinya tidak. Ada trauma hitam pekat dari masa lalu kita, dan trauma itu selalu berhasil dikapitalisasi oleh para elite, sebagai dagangan laris manis yang amat legit.
Baru beberapa pekan lalu, saya menulis di dinding Facebook saya. “Nah, kan, sudah dua tahun lebih dan isu 15 juta kader PKI itu tambah enggak jelas. Katanya mau menyerang, tapi sampai hari ini sebiji pun belum datang hehehe.”
Jujur, saya berharap para pendukung teori kemunculan 15 juta kader PKI itu pada gondok, lalu mereka mengendap-endap pergi meninggalkan dinding Facebook. Tak saya tanya, satu komentar justru muncul dengan gagahnya.
“Apa? Kau bilang tidak ada? Secara lembaga memang tidak muncul! Tapi tanda-tandanya jelas sekali! Masalahnya cuma kita mau mengakui atau tidak!”
ADVERTISEMENT
Saya tertegun. Wah, tanda-tanda? Ada pasukan PKI minimal berkekuatan setengah juta orang sedang berbaris dan tertangkap kamera CCTV, begitu? Atau tank-tank berlogo palu-arit kepergok menyisir beberapa wilayah pinggiran?
Wah, ternyata memang gawat. Saya harus segera turut mempersiapkan diri untuk ikut berperang melawan PKI. Dengan pasang jimat kebal bacok, misalnya. Atau minta ke Hokage Keempat (Pemimpin dalam serial anime Naruto) untuk diajari jurus apalah. Maka, saya pun bertanya lebih lanjut kepada kawan itu tadi, agar ia menjelaskan detailnya.
Sial buat saya. Ternyata, keterangan resmi yang ia berikan adalah hal-hal terkait “indikasi” yang semau-maunya. Bahwa ada beberapa kasus kerusuhan lah, beberapa orang yang bicara mengkritik perilaku-perilaku kurang pas dari umat beragama lah. Kira-kira seperti itu konferensi pers kawan saya itu.
ADVERTISEMENT
Jawaban kawan saya itu memantik ingatan atas satu pengalaman kecil bertahun-tahun silam. Ceritanya, sore itu saya mengunjungi seorang sahabat. Ia menumpang di rumah kakaknya, dan sang kakak tinggal di sebuah asrama tentara.
Sembari menunggu sahabat saya keluar, duduklah saya di ruang tamu, sambil membaca sebuah majalah terbitan tentara. Hingga pandangan saya tertumbuk ke sebuah komik kecil di salah satu halamannya.
Komik itu menggambarkan bahwa kekuatan ex-PKI masih eksis, dan masih terus berusaha muncul di tengah-tengah kita. Pada panel komik selanjutnya, ditampilkan adegan kerusuhan kecil. Ya, kerusuhan kecil saja, beberapa orang lelaki tampak berbaku pukul. Di depannya, seorang prajurit TNI bergumam dalam balon kata, “Wah, ada kerusuhan. Pasti ex-PKI di belakangnya. Saya harus segera lapor komandan.”
ADVERTISEMENT
Adududuh. Komik yang hebat dan mencerahkan. Inti komik itu, setiap kerusuhan atau bentrokan sekecil apa pun di muka bumi Indonesia ini adalah ulah ex-PKI. Dahsyat sekali. Sungguh satu formula ilmiah yang amat mengesankan hehehe.
Orde Baru (Foto: Tiger Panzer)
zoom-in-whitePerbesar
Orde Baru (Foto: Tiger Panzer)
Saya masih bisa sedikit maklum dengan komik itu. Majalah itu memang majalah tentara, meski terbit selepas Reformasi sekali pun. Kita tahu, bagaimana posisi Angkatan Darat selama Orde Baru, bagaimana korps itu dianakemaskan oleh Soeharto dan dipasang sebagai garda depan dalam perang sepanjang zaman melawan komunis. Jadi, untuk kasus majalah itu, oke lah kita maklumi.
Sialnya, “teori” seperti yang disajikan komik itu sudah kadung merembes hingga ke kerak kesadaran publik awam, berurat akar, sehingga setiap waktu sangat gampang disulut dan dibakar. Di sinilah masalah besar yang, menurut saya, jauh lebih mengerikan daripada PR penegakan HAM.
ADVERTISEMENT
Tunggu dulu, jangan salah paham. Saya tahu pasti bahwa ada problem besar dalam penegakan HAM, terkait pembunuhan besar-besaran dan pemenjaraan tanpa proses pengadilan di rentetan peristiwa setengah abad silam.
Namun, bencana yang saya rasa jauh lebih serius adalah apa yang terwariskan jauh hari setelah peristiwa itu, yakni amburadulnya cara berpikir manusia Indonesia. Ini sesuatu yang amat mendasar dan merusak fundamen bangsa ini, yang mengakibatkan sangat sulitnya kita untuk bergerak ke mana-mana.
Cobalah cermati. Dengan “pemahaman” yang tertanam sejak lama, bahwa setiap keributan selalu didalangi oleh ex-PKI, kita tumbuh jadi masyarakat yang kehilangan kecerdasan dalam melihat akar-akar setiap permasalahan.
Ada kerusuhan, disimpulkan PKI-lah di belakangnya. Padahal yang terjadi adalah problem ketimpangan sosial. Ada warga bentrok menyerang aparat, maka PKI diyakini berperan serta. Padahal realitasnya warga itu digusur dengan semena-mena.
Nobar Film G30S/PKI di Gorontalo (Foto: Antara/Adiwinata Solihin)
zoom-in-whitePerbesar
Nobar Film G30S/PKI di Gorontalo (Foto: Antara/Adiwinata Solihin)
Saya percaya, pola pikir simplistis seperti itu sudah berkurang jauh dewasa ini, dibandingkan dengan di masa-masa Orde Baru dulu. Malangnya, ajakan berpikir dengan cara demikian secara rutin terus dimunculkan, dipropagandakan, terutama setiap menjelang gelaran politik! Bentuknya pun sangat inovatif, terus bervariasi, tidak lagi sebatas urusan kerusuhan dan protes-protes sosial.
ADVERTISEMENT
Maka, kita mendengar tudingan-tudingan yang pernah amat santer dibicarakan. Bahwa 15 juta kader PKI telah bersiap siaga untuk melakukan gerakan. Bahwa pemimpin PKI Baru bernama Wahyu Setiaji sedang menanti saat yang tepat untuk memerintahkan komando penyerangan. Bahwa Partai Anu penuh berisi kader-kader PKI. Jeng jeng jeeeng!
Tentu saja saya bukan pemuja Partai Anu itu, Mas. Bahwa ada banyak masalah dan kebusukan di sana, saya juga paham. Toh, parpol mana sih yang tidak busuk? Persoalannya, fokus tatapan mata masyarakat yang semestinya diarahkan kepada problem-problem riil mekanisme politik elektoral kita, misalnya, dijatuhkan sekadar menuju isu PKI-PKI-an yang tidak relevan.
ADVERTISEMENT
Enggak mutu, benar-benar enggak mutu. Persis pada titik itulah, terjadi lenyapnya daya kritis publik dalam melihat dan memahami masalah, hancurnya prioritas publik dalam menetapkan orientasi arah melangkah. Inilah bencana yang sesungguhnya.
Sampai hari ini, tidak muncul bukti bahwa ada 15 juta kader PKI, tidak jelas juga bagaimana wajah sangar Wahyu Setiaji. Tapi, apakah ketiadaan bukti itu berpengaruh pada imajinasi mereka yang sudah telanjur meyakini? Tidak, tidak. Mereka tetap tidak peduli sama sekali.
Pertanyaannya, kenapa segenap isu itu secara rutin dilontarkan dan didengungkan? Untuk apa?
Nobar Film G30S/PKI di Aceh (Foto: Antara/Rahmad)
zoom-in-whitePerbesar
Nobar Film G30S/PKI di Aceh (Foto: Antara/Rahmad)
Jawabannya adalah judul ocehan ini: untuk berdagang. PKI dan segenap peristiwa banjir darah mulai pra-65 hingga tahun-tahun setelahnya adalah trauma bagi rakyat Indonesia. Trauma itu begitu dalam, masuk merasuk ke lapis terbawah kesadaran.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian dapat begitu mudah dibangkitkan, diolah menjadi ketakutan komunal. Dan, bermodalkan penciptaan ketakutan, dengan sangat efektif kita bisa berjualan. Bukankah tidak ada bisnis yang lebih instan daripada bisnis ketakutan?
Ambillah ibarat seperti ini. Saya berjualan soto di sebuah ruas jalan. Soto Babat Pak Iqbal. Sialnya, ada satu warung soto lain di jalan yang sama, sebutlah namanya Soto Babat Pak Irfan.
Idealnya, saya akan bersaing untuk meracik soto terlezat, dengan kaldu kental dan irisan-irisan babat yang empuk berbumbu meresap. Harapannya, para pelanggan bakal bersaksi bahwa sotonya Pak Iqbal lebih bikin merem-melek ketimbang sotonya Pak Irfan.
Namun, upaya kompetisi kualitas demikian membutuhkan proses. Proses serius seperti itu tidak mudah, sekaligus tidak murah. Persaingan itu akan jauh lebih gampang saya menangkan kalau saya menyebar kabar kabur ke orang-orang: “Eh, kuah soto Pak Irfan itu dicampur lemak babi! Info valid! Ada banyak saksi! Dan Pak Irfan memelihara penglaris berupa pocong yang tak henti meneteskan air liur ke dalam panci!” Maka, habislah itu Pak Irfan hahaha!
ADVERTISEMENT
Kira-kira begitu. Dalam dunia politik Indonesia, di tangan para elite yang bersaing tapi tidak mau ambil pusing dengan cita-cita pencerdasan bangsa, hantu pocong dan lemak babi itu mewujud ke dalam isu-isu PKI. Imajinasi atas hantu PKI itu terus dikonservasi, karena ia merupakan instrumen politik yang sangat mudah dikapitalisasi.