Penerimaan Mahasiswa Jalur Penghafal Kitab Suci, Apa Salahnya?

Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono, asli Jogja, tinggal sementara di Perth, bekerja sebagai ahli delivery. Pengalamannya bekerja sebagai sopir truk dituangkan dalam bukunya, Out of The Truck Box.
Konten dari Pengguna
9 November 2017 17:01 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iqbal Aji Daryono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Al Quran (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Al Quran (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Pekan lalu mencuat kabar seru dari Universitas Gadjah Mada, almamater saya. Ceritanya, ada usulan internal agar UGM menerima mahasiswa baru dengan menampung para penghafal kitab suci dan pelantun kitab dengan seni.
ADVERTISEMENT
UGM memang kemudian menolaknya, dan tentu saja itu hak prerogatif UGM sendiri. Namun, terlepas dari soal administratif tersebut, banyak orang reaktif seketika saat membaca gagasan tersebut. Ada yang geleng-geleng sambil berdecak keheranan, ada yang menyebut oknum universitas kehilangan sensitivitas keberagaman, ada juga yang mengatakan ide tersebut memalukan dan tidak relevan dengan peran universitas sebagai penjunjung nalar ilmiah dan blablabla lainnya.
Pada satu sisi, reaksi-reaksi tersebut wajar adanya. Sebab belakangan ini memang semakin kerap muncul fenomena yang mengindikasikan merosotnya kesadaran multikultural di kalangan sivitas akademika, seiring meningkatnya sentimen primordial yang menuntut pengistimewaan atas golongan. Taruhlah viralnya beberapa video yang menampilkan para mahasiswa antidemokrasi, yang merengek menuntut berdirinya negara raksasa bersistem teokrasi. Atau beberapa berita tak enak yang menumbuhkan kesan bahwa ekstremisme dalam beragama semakin mengeras di lingkungan kampus.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, ketika tampak sedikit saja ide penerimaan mahasiswa jalur penghafal kitab, sontak imaji sikap ekstremlah yang mampir ke benak para penerima berita. Ribuan pasang mata pun segera menatap nanar dengan penuh curiga, sembari bertanya-tanya, “Woi, ini UGM kenapa?”
Tanpa menafikan permakluman atas situasi psikososial yang memang rawan memancing curiga, saya rasa ada kesan agak gegabah pada respons-respons tersebut. Dari ketergesaan sikap-sikap itulah saya ingin mengambil tiga pertanyaan, yang perlu sama-sama kita renungkan ulang.
Pertama, yang sudah dibahas oleh banyak orang di media sosial, adalah pertanyaan yang semestinya memicu pemaknaan lebih jauh secara epistemologis, yakni tentang definisi “prestasi”. Apa sebenarnya yang disebut dengan prestasi? Apakah kemampuan menghafal kitab suci bukan prestasi?
ADVERTISEMENT
Kita tahu, kampus-kampus tertentu menerima mahasiswa baru lewat jalur prestasi. Dulu namanya PBUD (Penelusuran Bibit Unggul Daerah) untuk anak-anak dengan prestasi akademis, dan PBAD (Penelusuran Bibit Atlet Daerah) untuk prestasi olahraga. UGM pun sekarang punya yang namanya PBUB (Penelusuran Bibit Unggul Berprestasi) dan PBOS (Penelusuran Bakat Olahraga dan Seni), untuk memberikan apresiasi kepada para seniman dan atlet muda, alih-alih sekadar meminta mereka beratraksi di trotoar Sudirman dan Thamrin seperti halnya ide pak Wagub Sandi.
Untuk PBOS sendiri, cabang-cabangnya sudah ditentukan dan dibatasi. Cabang olahraga yang masuk di situ adalah atletik, bola basket, bola voli, bulutangkis, bridge, catur, hoki, judo, karate, kempo, pencak silat, renang, sepak bola/futsal, softball/baseball, taekwondo, tenis lapangan, tenis meja. Adapun cabang seni yang diakomodasi adalah fotografi, marching band, orkestra, paduan suara, seni lukis, teater, seni tari gaya Yogya, seni tari gaya Surakarta, seni tari Bali, dan seni tari kreasi baru.
ADVERTISEMENT
Pertanyannya, benarkah yang disebut prestasi non-akademis hanya terbatas pada bidang olah raga dan kesenian, dengan cabang-cabang yang telah ditentukan tersebut? Sesempit itukah konsep prestasi non-akademis yang ada di alam pikiran kita? Apakah seni melantunkan ayat dalam kitab suci tidak dianggap seni, dan prestasi dalam bidang tersebut tidak tergolong prestasi seni? Kalau memang bidang keagamaan juga masih diakui sebagai “sesuatu”, adakah landasan yang lebih masuk akal untuk mengatakan bahwa hafal kitab suci bukan merupakan sebentuk prestasi?
Oke, oke, saya paham, bahwa hafal saja belum dapat dibilang 100% prestasi. Pintar main pingpong tapi cuma pernah menang lomba 17-an di kampung juga belum dapat diakui sebagai apa-apa. Nah, sekarang bagaimana jika ada calon mahasiswa baru memiliki sederet piala di kompetisi hafalan Alquran pada ajang MTQ, misalnya? Bisakah ia disebut anak berprestasi? Tidak? Jadi apakah juara MTQ kalah derajat dengan juara catur, sehingga yang kedua berhak masuk UGM tanpa tes, sedangkan yang pertama tidak?
Kampus UGM di Yogyakarta (Foto: Dok. Dwita Komala Santi)
zoom-in-whitePerbesar
Kampus UGM di Yogyakarta (Foto: Dok. Dwita Komala Santi)
Lalu, muncul gugatan lebih jauh lagi. Ini pertanyaan kedua. “Lho, apa hubungannya hafalan kitab suci dengan ilmu-ilmu di universitas yang akan mereka pelajari? Ini nggak fair, Rangga. Ini nggak fair. Memangnya kemampuan mereka menghafal kitab suci berkaitan dengan bidang akademis yang akan mereka pelajari?”
ADVERTISEMENT
Kritik semacam itu pun bukannya tanpa masalah. Saya ambil saja contoh kasus yang saya tahu pasti, yakni tentang Arief, adik ipar saya sendiri. Si Arief atlet judo. Karena pernah meraih juara ketiga kompetisi judo di tingkat nasional, dia pun diterima di UGM lewat jalur PBAD. Sayangnya, tidak ada Fakultas Beladiri di UGM, Anda harus tahu itu dulu. Maka Arief pun masuk Fakultas Kedokteran Gigi, sudah lama lulus, dan sudah lama pula berpraktik sebagai dokter gigi.
Maka kita kembalikan, apakah kemampuan Arief dalam berjudo berkaitan dengan ilmu kedokteran gigi? Sepertinya tidak. Dan saya haqqul yaqin, belum pernah satu kali pun drg. Arief Waskitho membanting atau memiting pasiennya, cuma agar si pasien mau dicabut giginya.
ADVERTISEMENT
Dari satu contoh kasus itu saja, sudah terang bahwa kemampuan olahraga para mahasiswa jalur PBAD seringkali tidak harus terkait dengan bidang studi di universitas. Dengan demikian, gugatan tentang relevansi hafalan kitab suci dengan bidang akademis yang akan dipelajari adalah gugatan yang juga tidak relevan. Begitu, bukan?
Belum lagi kalau kita bicara hal-hal lain yang lebih mendasar. Apakah materi tes masuk ke universitas dari jalur umum benar-benar sinkron dengan apa yang akan dipelajari para mahasiswa nantinya? Kalau begitu, bagaimana Anda mengaitkan soal-soal matematika, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan pengetahuan sosial di UMPTN (di angkatan saya namanya masih ini), dengan materi huruf-huruf Kanji yang harus saya kuasai saat akhirnya saya terdampar di jurusan Sastra Jepang? Itu contoh ekstrem saja, sembari saya curhat.
ADVERTISEMENT
Jadi simpelnya, pada dasarnya kampus-kampus hanya membutuhkan metode seleksi masuk yang fair, yang akuntabel, dengan karakter ujian kognitif yang menjadikan mereka bisa menjawab secara lumayan bertanggung jawab saat muncul pertanyaan, “Kenapa Bambang diterima? Kenapa Budi tidak? Kenapaaa??”
Persoalannya, terlepas dari kasus PBAD atau PBOS maupun Jalur Penghafal Kitab, apakah selama ini mekanisme seleksi masuk itu memang jadi fair secara keseluruhan? Ini pertanyaan nomor tiga.
Jika Anda yakin bahwa memang mekanisme seleksi masuk sudah benar-benar adil, lihatlah kampus-kampus yang membuka penerimaan mahasiswa baru via jalur khusus. Jalur khusus di situ ibaratnya jalan tol, sedangkan peserta SBMPTN bersusah payah menempuh jalan tikus. Keduanya legal, diakui sistem, tapi jauh dari karakter fair play.
ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa dibilang fair play, lha wong calon mahasiswa baru yang bisa mengikuti jalur khusus harus punya orang tua kaya raya, kok. Tanpa uang sumbangan senilai ratusan juta, anak-anak lulusan SMA itu tak bisa masuk universitas via jalur khusus. Padahal mereka tak bisa memilih siapa yang jadi orang tua mereka, tak bisa belajar giat sebagai ikhtiar agar berhasil jadi anak seorang raja minyak.
Jadi seleksi masuk universitas adalah manifestasi nyata dari so called free fight liberalism. Klaim yang ditampilkan adalah anak-anak muda yang berkompetisi. Padahal tidak ada itu kompetisi sepenuhnya. Yang ada adalah anak-anak juragan kapal atau bos perusahaan properti tinggal ongkang-ongkang kaki, belajar sedikit saja, lalu dengan bekal kekayaan orang tuanya mereka bisa melenggang masuk universitas ternama.
ADVERTISEMENT
Sementara yang anak buruh pabrik sepatu pada suntuk belajar dengan sangat keras, sebagian ada yang sembari mati-matian berjuang menghafalkan kitab suci, dan setelah berhasil hafal 30 juz ternyata kemampuannya itu tidak dianggap sebagai prestasi. Hahaha, asyik sekali, bukan? Anak-anak ditarungkan dengan suka ria, padahal mereka tidak berangkat dari garis start nasib yang sama.
Seharusnya bisa, tentu saja, kalau memang kita konsekuen dengan sikap bahwa semua umat beragama di Indonesia berstatus setara. Repotnya, selama ini kalau menyebut hafalan dan seni melantunkan kitab suci, saya sendiri tahunya cuma ada di Islam. Umat Islam punya MTQ, sementara umat dari agama lain tidak.
ADVERTISEMENT
Baru saja saya bertanya ke seorang kawan, dia bilang bahwa dalam tradisi agama Katolik juga ada lomba hafalan ayat Alkitab. Namun tingkatnya cuma di level gereja saja, tidak ada kompetisi sampai tingkat kabupaten apalagi nasional. Untuk Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, saya lebih tidak paham lagi.
Lalu bagaimana? Bagaimana mengukur prestasi dalam bidang keagamaan dari agama-agama selain Islam, termasuk prestasi bagi umat penghayat kepercayaan yang baru saja diberi hak untuk memajang identitas keyakinan mereka di kolom KTP itu? Nah, inilah yang mesti dipikirkan oleh Kementerian Agama. Sekali lagi, bila agama memang masih diakui sebagai “sesuatu” dalam kehidupan bermasyarakat kita, sepantasnya capaian-capaian “formal” juga mendapat porsi untuk diperhatikan (bedakan dengan capaian spiritual, yang merupakan wilayah personal).
ADVERTISEMENT
Ini akan menjadi PR menarik bagi Kementerian Agama. Minimal agar citra Kemenag tidak melulu sebagai Kemenagis, alias Kementerian Agama Islam. Itu.