Tarawih di Gereja bersama Sang Maulana

Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono, asli Jogja, tinggal sementara di Perth, bekerja sebagai ahli delivery. Pengalamannya bekerja sebagai sopir truk dituangkan dalam bukunya, Out of The Truck Box.
Konten dari Pengguna
18 Juni 2017 16:42 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iqbal Aji Daryono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tarawih di Gereja St. Paul Anglican (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Tarawih di Gereja St. Paul Anglican (Foto: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Agak terlambat saya masuk ke halaman belakang itu. Azan sudah mulai dilantunkan, menutup puasa hari ke-14. Muazinnya seorang lelaki tinggi besar, berjubah, berjenggot panjang.
ADVERTISEMENT
Wajah-wajah terdiam memandangi si bapak muazin. Mungkin seumur hidup baru pertama kali itu mereka melihat orang berazan secara live.
Usai azan, lelaki lain dengan jenggot tak kalah rimbunnya berdiri, lantas mengambil alih mikrofon. Ia menerangkan kepada para tamu tentang apa itu iftar, buka puasa. Lelaki itulah Maulana Feizel Chothia, salah satu dari dua tokoh utama di balik acara ini.
“Silakan dinikmati, silakan. Mari temani kami berbuka puasa,” kata Maulana.
Orang-orang pun mendekat ke meja panjang, mengambil kudapan. Ada roti chappati, makanan kecil-kecil semacam samosa, chicken snitzel, potongan-potongan roti manis seperti yang sering saya lihat jadi dagangan sebuah kios Arab di Pasar Fremantle, juga beberapa lainnya yang saya tak tahu apa namanya.
ADVERTISEMENT
Beberapa wajah masih terlihat canggung dan menjaga jarak, beberapa lainnya seperti tengah menanti saat yang tepat. Namun ada juga yang tampak sudah saling berbincang dengan riang. Seorang lelaki tua berkulit putih dengan lelaki muda berwajah Timur Tengah. Perempuan berambut pirang dengan ibu 40-an tahun berabaya hitam.
Anjing berwarna abu-abu nyelonong masuk ke tengah kerumunan, di sebelah tungku pemanas pelawan dingin. Gadis jelita berkerudung gelap lekas berjongkok, menyapanya, mengelus bulu-bulunya. Anjing yang beruntung itu menggeliat manja.
Mengambil kudapan berbuka puasa (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Mengambil kudapan berbuka puasa (Foto: Dok. Pribadi)
“I’m Australian.” Wajah lelaki tua di samping saya menatap tajam saat mengucapkan kalimat pendek itu. Memang sih, menatap mata lawan bicara adalah tata krama standar di sini. Tapi terasa ada ekspresi protes dalam tatapan matanya. Hei, aku nih orang Australia, kamu kira orang mana?
ADVERTISEMENT
Salahuddin, nama dia. Itu bukan nama asli. Sejak tujuh tahun silam dia mulai memeluk Islam, dan memakai nama baru. Wajah bulenya pun terselimuti jenggot dan cambang yang lebat. Bulu-bulu itulah yang membuat saya jadi salah terka, apalagi melihat gamis panjang dan kopiah ala Afganistan di kepalanya. Kira-kira kok ini orang Jamaah Tabligh dari Pakistan atau sekitarnya, saya sempat berpikir begitu. Saya konfirmasi kepada empunya wajah, hingga jawaban tadi keluar, yang ia sambung dengan kalimat susulan,
No, no. I converted to Islam to be a muslim. Not to join any group like that.
Saya tertawa kecil untuk menunjukkan mufakat saya atas jawabannya. Salahuddin tersenyum sembari terus memandangi kerumunan orang yang sedang makan dan minum, juga tersenyum geli melihat saya yang mengambil foto berkali-kali.
ADVERTISEMENT
Maulana Feizel kembali meraih mikrofon, mengajak orang-orang untuk masuk ke hall di belakang bangunan utama Gereja St Paul Anglican. Salat Magrib berjamaah akan segera dimulai.
***
Feizel Chothia tiba di Perth pada tahun 2007, dari Afrika Selatan. Namun dia bukan orang baru di Australia, karena jauh hari sebelumnya sempat bermukim di Melbourne, 3.500 km di timur Perth.
Feizel menamatkan pendidikan di Universitas Darul Uloom Zakariyya, dekat Johannesburg. “Setamat dari situlah dia memperoleh gelar sheikh,” kata Ahmad Chothia, anak lelakinya yang saya ajak berbincang di pojokan. Memang, selain sematan nama ‘Maulana’, di beberapa tempat ia dipanggil juga dengan ‘Sheikh’, atau kadang ‘Imam’.
Informasi itu lumayan penting bagi saya. Setidaknya saya jadi paham, bahwa Feizel bukan sekadar muslim galau yang menjalankan eksperimen sosial asal-asalan, hehehe.
ADVERTISEMENT
Keraguan demikian pada mulanya memang muncul di pikiran saya, sejak terbaca pengumuman bertajuk “Iftar and Tarawih at the Church”. Apa? Takjilan di gereja? Tarawihan di gereja? Wah, pasti orang liberal ini yang bikin! Jelas sekali ini proyek pendangkalan akidah! Rapatkan barisan! Bubarkan!
Eh maaf, maaf, saya jadi ngelantur. Tentu tidak sejauh itu yang saya maksudkan. Namun yang terlintas di benak saya agaknya tak jauh beda dengan banyak orang lainnya. Intinya, saya tidak menyangka bahwa penghelat event tersebut adalah tokoh muslim yang lumayan ortodoks.
Pandangan-pandangan Islam arus utama dari Maulana Feizel langsung tampak saat sesi dialog selepas salat Magrib. Sambil melanjutkan santap buka, empat orang tampil di depan. Selain Feizel, ada Collin, sosok perempuan tua Australia yang sekitar 10 tahun terakhir menjalani Islam. Ada juga perempuan muda berjilbab pendek, sepertinya dari Indonesia (sayang sekali saya gagal menemuinya selepas acara). Dan yang terakhir adalah Pendeta Peter Humphries. Dialah sang tuan rumah, imam di Gereja St. Paul Anglican, yang bersama Feizel Chothia menjadi sepasang tokoh kunci di sini.
ADVERTISEMENT
“Kenapa dalam Islam seorang lelaki muslim boleh menikahi perempuan nonmuslim, yakni Yahudi dan Nasrani, tapi terlarang jika sebaliknya?” seorang perempuan bertanya dalam sesi tersebut. Wah, ini dia, batin saya. Saya mengira Feizel akan menjawab, “Lhooo, siapa bilang? Boleh kok, bebas ajah, jangan dibikin ribet!” atau semacamnya.
Namun, ternyata jawaban Feizel tetap seturut pakem ortodoksi Islam. Dia menjawab bahwa dalam Islam suami adalah kepala rumah tangga. Jalan menuju keimanan berada dalam kendali suami. Maka, tidak memungkinkan jalan iman ditempuh jika posisi sebagai muslim ada di tangan istri.
Pandangan-pandangan mainstream Feizel Chothia juga termaktub dalam buku-bukunya. Yang sempat sedikit memicu keriuhan adalah buku "Sex and Sexuality in Islam". Berangkat dari salah satu bab di buku tersebut, seorang kritikus pernah mengecam sikap ortodoks Feizel kepada kaum LGBT.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, dalam beberapa kasus lain ia muncul sebagai penyeimbang. Contohnya ketika ulama di Melbourne bernama Samir Abu Hamza menyatakan bahwa seorang suami boleh memperkosa dan memukul istrinya demi “pendisiplinan”. Feizel Chothia langsung menyatakan bahwa ia dan komunitas muslim yang lebih luas mengambil sikap menentang pandangan Samir, sembari mendukung pernyataan ulama lainnya bahwa sikap Samir adalah contoh nyata bahwa ajaran Islam rentan disalahpahami.
“Pernikahan ibarat pakaian,” papar Feizel kepada sebuah media, melanjutkan tanggapannya atas Samir. “Ia membuat nyaman, melindungi, memberi keamanan. Ia memperindah dan menghangatkan. Namun ia juga menutupi, melindungi, dan menyembunyikan apa-apa yang tidak pantas dilihat. Itulah konsep Islam tentang pernikahan. Sikap yang penuh perhatian dan kasih sayang antarpasangan merupakan ajaran penting dalam Islam.”
ADVERTISEMENT
Maulana Feizel Chothia dan Romo Peter (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Maulana Feizel Chothia dan Romo Peter (Foto: Dok. Pribadi)
***
Jadi, siapa sih yang awalnya punya inisiatif untuk bikin-bikin acara semacam ini? Sambil kerepotan memotret mereka berdua di bawah cahaya remang lampu belakang, saya bertanya begitu.
“Ya kami berdua,” sahut Feizel.
“No, no, no!” Romo Peter langsung memotong, lantas menepuk-nepuk bahu Feizel. “Dia ini yang pertama kali mengetuk pintu saya. Dan saya cuma menyambutnya.”
Pada mulanya, warga muslim di kawasan sekitaran Fremantle kesulitan untuk melaksanakan salat Jumat. Tempat jumatan terdekat ada di Universitas Murdoch. Itu tidak terlalu jauh, cuma sekitar 9 km. Tapi ada beberapa kendala kecil yang merepotkan, semisal keterbatasan tempat parkir. Sementara, harap tahu, di sini orang bisa kena risiko denda lumayan kalau parkir sembarangan, atau bahkan bisa-bisa mobilnya lenyap karena diderek petugas.
ADVERTISEMENT
Maka Feizel Chothia berpikir keras bagaimana menemukan tempat yang enak dan dekat untuk salat Jumat bagi jamaahnya. Dari situlah ia melirik Gereja St. Paul Anglican, bertamu ke sana, meminta izin kepada Peter sang tuan rumah, dan Peter menyambutnya dengan tangan terbuka.
Resistensi bukannya tidak terjadi. Umat Islam sendiri memang menyambut gembira. Namun dari kalangan jemaat Peter Humphries banyak yang menolak, bahkan konon sebagian sampai memilih keluar dari gereja tersebut.
Dalam situasi kalut, Romo Peter berkirim surat kepada uskup atasannya. Sang Uskup ternyata bersikap mendiamkan. Tidak mendukung, tidak juga menolak.
Sejak situlah, komunitas muslim mulai rutin menjalankan ibadah Jumat di Gereja St. Paul Anglican.
“Jadi ini bukan yang pertama, Mas. Untuk acara di bulan Ramadan, memang ini Ramadan pertama. Tapi untuk jumatan, sekarang sudah masuk tahun ke... enam?” Feizel menoleh ke arah Peter. Yang ditengok mengiyakan.
ADVERTISEMENT
Wuaduh. Saya langsung merasa kuper dan tak berguna. Sudah empat tahun saya menumpang di Perth, dan baru sekarang tahu bahwa selama ini ada jumatan di situ.
***
Tarawihan di Gereja St. Paul Anglican (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Tarawihan di Gereja St. Paul Anglican (Foto: Dok. Pribadi)
Jamaah berdiri, membentuk saf-saf, bersiap memulai salat tarawih. Menempel dinding depan, dua poster kaligrafi Arab bertuliskan ‘Allah’ dan ‘Muhammad’ dibentangkan. Jauh di belakang, layar selebar lebih kurang tiga meter persegi menampilkan slide-slide berisi ayat-ayat Al-Quran berikut terjemahannya dalam bahasa Inggris.
Takbir dimulai. Imam memimpin tarawih. Rukuk, sujud, berdiri lagi.
Sementara itu, ada beberapa orang lain tak ikut salat, duduk diam di sudut, menyimak segenap prosesi ritual umat Islam tersebut. Mereka adalah Romo Peter dan beberapa orang lain, entah jemaatnya, entah tamu dari mana.
ADVERTISEMENT
Gedung tempat kami salat itu merupakan bangunan awal, alias bangunan tertua di kompleks tersebut. Setelah bangunan yang lebih baru didirikan untuk kemudian dipakai sebagai gereja induk, bangunan lawas tadi difungsikan sebagai hall serbaguna.
Entah penempatan tersebut disengaja atau tidak, yang pasti saya rasa lumayan bijak. Jemaat gereja tentu tak terlalu rela kalau tamu mereka memakai bangunan utama, di mana terdapat altar dan segala simbol peribadatan Kristen. Sementara, umat Islam yang nebeng beribadah pun kira-kira akan kurang nyaman jika salat dilakukan di ruangan sambil (kebetulan) menghadap sebuah lambang salib besar di tembok.
ADVERTISEMENT
Demikian pula untuk buka puasa dan dialog, kami sama sekali tidak menyentuh bangunan utama. Emper belakang yang berkonsep amphitheatre itulah yang dipakai.
Saat dialog, Maulana Feizel juga menyinggung sedikit tentang peristiwa Khalifah Umar bin Khattab yang menghormati gereja saat tentara muslim menaklukkan Jerussalem pada tahun 638 M.
Ini kisah yang lumayan populer. Waktu itu, oleh Uskup Sophronius, Umar dipersilakan untuk salat di Gereja Makam Suci (Church of Holy Sepulchre). Namun, ia menolak, dan memilih melakukannya di luar gereja.
Penolakan itu diambil bukan karena Umar mengharamkan salat di gereja, melainkan karena khawatir. Khawatir bahwa generasi muslim selanjutnya akan merebut gereja itu dan mengubahnya menjadi masjid, hanya berbekal alasan bahwa Amirul Mukminin pernah salat di sana.
ADVERTISEMENT
Nukilan sejarah tersebut membuat saya teringat pula kisah ketika Nabi Muhammad mempersilakan tamu beliau orang-orang Kristen Najran untuk beribadah di dalam masjid menurut keyakinan mereka.
Dari situ, saya membayangkan lebih jauh lagi.
Begini. Misi acara “Iftar and Tarawih at the Church” sesimpel upaya saling mengenal. Banyak yang tidak kenal Islam di Australia. Banyak miskonsepsi dan prasangka, sehingga upaya pengenalan dilakukan. Di tempat itu saya melihat wajah-wajah yang agaknya baru pertama kali melihat orang azan, melihat orang salat, juga pertama kali berdialog secara terbuka dengan pemuka agama Islam. Barangkali, segala imajinasi aneh-aneh yang selama ini muncul dalam pikiran mereka bisa ternetralisir dengan pengalaman tersebut.
Nah, saya rasa dialog akan lebih maksimal jika posisi sebaliknya juga dijalankan. Sangat mungkin umat Islam mempersilakan umat Kristen atau umat lainnya untuk datang berkunjung ke masjid, menggelar peribadatan di halaman belakang, menyimaknya, berdialog dengan mereka, dan seterusnya. Dengan begitu, segala imajinasi akan luntur, dan upaya untuk saling mengenal bisa berjalan dengan menyenangkan.
Gereja St. Paul Anglican (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Gereja St. Paul Anglican (Foto: Dok. Pribadi)
Mungkin masjid di kampung Anda berminat memulainya?
ADVERTISEMENT