Tentang Orang-orang yang Kebelet Viral

Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono, asli Jogja, tinggal sementara di Perth, bekerja sebagai ahli delivery. Pengalamannya bekerja sebagai sopir truk dituangkan dalam bukunya, Out of The Truck Box.
Konten dari Pengguna
19 Maret 2018 14:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iqbal Aji Daryono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Viral (Foto: Pixabay)
Saya sudah menonton video heboh itu. Seorang anak kecil tertangkap kamera sedang membuka ponsel. Di sebelah kirinya duduk seorang perempuan dewasa berkerudung. Si pembuat video amatir beberapa kali memfokuskan kameranya kepada wajah si anak, lalu wajah si perempuan berkerudung, dan terutama kepada layar ponsel di tangan si anak. Ya, sebab yang sedang ditonton anak itu di layar ponsel adalah sebuah video porno!
ADVERTISEMENT
Karena video amatir itu sudah telanjur viral, kemungkinan besar Anda juga sudah melihatnya. Jika memang iya, lantas apa yang Anda pikirkan? Apakah persis seperti pikiran saya?
Ini yang seketika terlintas di otak saya. Si anak kecil itu duduk menunggu sesuatu. Sepertinya mereka sedang mengantre di sebuah kantor layanan publik. Perempuan dewasa berkerudung itu pasti ibunya. Agar si anak tidak rewel karena bosan dalam penantian, si ibu meminjamkan ponsel kepada anaknya. Si anak pun menonton. Lalu ternyata yang ia buka adalah Youtube. Dan di Youtube itu tanpa sengaja ia membuka video porno. Begitu.
Eh, tunggu, tunggu. Video porno di Youtube? Bukannya video-video semacam itu sudah diblokir oleh Kemenkominfo? Selain memblokir konten-konten radikalisme, perjudian, dan situs-situs hoax, pasukan penyapu ranjau di Kemenkominfo juga menghabisi konten-konten berbau pornografi di internet. Artinya, tidak mungkin si anak itu menonton video dari Youtube. Arti selanjutnya: video porno di ponsel yang ia pegang itu adalah koleksi pribadi ibunya! Ya, catat ini sekali lagi: koleksi pribadi ibunya!
ADVERTISEMENT
Lalu kita mengingat wajah sang ibu. Kita pun tentu saja mengingat wajah si anak. Karena bukan hanya saya sendiri yang berpikir seperti ini, praktis ini menjadi ingatan publik. Akibatnya, imaji atas tokoh-tokoh di video itu sudah berkembang menjadi imaji massal.
Pertanyaannya, betulkah bayangan kita semua itu? Seberapa akurat kesimpulan kita hanya dengan bekal video itu? Bagaimana jika yang terjadi sesungguhnya jauh dari apa yang diam-diam kita simpulkan? Bagaimana jika ternyata si ibu berjilbab itu bukan orangtua si anak, dan orangtua si anak sedang ada di depan mendatangi loket pelayanan?
Bagaimana pula jika video porno itu ternyata cuma hasil kiriman di sebuah grup Whatsapp, dan orangtua si anak belum tahu? Jadi kiriman itu tadinya belum sempat diunduh, tapi kemudian si anak membuka Whatsapp sambil duduk menunggu orangtuanya, lalu ia memencet tanda kiriman itu dan otomatis video itu terunduh, lalu si anak menontonnya, sementara si pembuat video amatir tidak tahu dan tidak merekam proses-proses sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Mungkinkah yang demikian itu terjadi? Atau, semustahil apa itu terjadi?
Ah, entah ada berapa puluh kemungkinan yang jauh dari bayangan kita—para penonton video viral—padahal kita sudah telanjur mengetok palu dan mengambil kesimpulan-kesimpulan. Baik sekadar kesimpulan atas deskripsi peristiwa tersebut, maupun kesimpulan atas moral orang lain. Bagaimana kita mempertanggungjawabkan ini semua?
***
Ilustrasi media sosial (Foto: Pixabay)
Terlalu banyak informasi yang kabur dalam sebuah video amatir, di saat warganet sangat canggih menjalankan peran sebagai juru tafsir yang meracik makna-makna di balik video. Sementara, para pembuat video amatir terlalu gegabah mendaku produk yang mereka bikin itu sebagai karya citizen journalism, atau minimal sebagai karya yang menjalankan peran kontrol sosial dalam sebuah masyarakat.
Di sini tampak bahwa akar masalahnya terjulur ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
Yang paling dasar, ada masalah dalam dunia jurnalisme kita. Masa transisi dari media cetak ke media digital membuat kita gagap dan belum cukup percaya diri dalam mendefinisikan jurnalisme di era disrupsi. Literasi masyarakat yang semula memang belum cukup mapan terus bergoyang-goyang dalam ketidakjelasan nasib, karena gempuran informasi jagat maya yang tiada henti.
Dalam situasi masyarakat berliterasi rendah, semua orang tiba-tiba ingin memosisikan diri sebagai agen informasi. Semua orang punya alatnya, semua orang bisa menyebarkannya. Hanya dengan peranti-peranti itu, kita tiba-tiba merasa cukup punya otoritas untuk menyebarkan informasi apa pun. Bagaimana dengan standar-standar penyampaian informasi? Ah, sudah lupa. Atau memang belum tahu. Kenapa belum tahu? Ya karena standar jurnalisme di masa ini pun semakin tidak menentu.
ADVERTISEMENT
Masyarakat kita memang belum tuntas dengan literasi. Tiba-tiba internet muncul, dan air bah informasi menghajar kita setiap detik. Stamina membaca kita tak punya, namun tiba-tiba kita disodori berjibun pilihan “berita”.
Walhasil, antara produsen dan konsumen informasi saling bersambut, sehingga karakter media daring pun mengikuti selera publik. Maka produsen berita memberikan apa yang dimaui oleh publik konsumen berita. Jadilah berita-berita muncul singkat apa adanya, tanpa memenuhi standar kelengkapan berita yang semestinya. Singkat, menggoda, dan tidak memakan tenaga untuk membaca atau menontonnya.
Di satu sisi, publik jadi tidak percaya kepada kualitas media. Di sisi lain, selera dan definisi publik atas informasi turut terbentuk. Informasi atau berita yang bagus adalah berita yang ringkas, sekilas, memancing rasa penasaran, bombastis, dan berpotensi viral!
ADVERTISEMENT
Di tengah iklim ketidakpercayaan publik kepada media, sekaligus publik merasa memiliki alat dan kualifikasi setara dengan para produsen berita, akhirnya segenap anggota masyarakat pemegang pusaka telepon pintar termotivasi untuk turut menciptakan berita-berita. Apalagi kalau samar-samar mereka pernah mendengar tentang jurnalisme warga dan demokratisasi informasi. Wah, lengkaplah sudah. Masyarakat kita tumbuh menjadi masyarakat yang menjadikan predikat “viral” sebagai sebentuk eksistensi dan cita-cita! Hahaha.
Seperti itulah bayangan saya tentang situasi yang melatari video viral si anak penonton video porno. Si pembuat video amatir ingin unggahannya segera bikin heboh. Dia ingin dianugerahi predikat sebagai agen pendobrak kesadaran publik. Dia merasa punya kualifikasi yang cukup untuk menyebarkan kabar, meski tidak paham standar-standar pemberitaan yang layak.
ADVERTISEMENT
Maka, jangan bertanya kepada si pembuat video amatir tentang keberimbangan. Jangan bertanya tentang etika penyebaran berita. Jangan bertanya tentang akurasi atau duduk perkara peristiwa yang sesungguhnya. Jangan bertanya di mana tanggung jawab moralnya, padahal secara langsung tanpa merekam pun dia bisa menghentikan sesuatu yang buruk, cukup dengan berkata: “Nak, jangan!”. Lebih jauh lagi, jangan pula bertanya tentang bagaimana efek buruk secara sosial dan secara mental, yang sangat mungkin menimpa ibu itu berikut anaknya.
Abaikan itu semua. Abaikan saja. Yang penting unggahannya segera menembus 100K share!
Kasus dengan pola seperti video anak penonton film porno itu rasanya tak cuma satu. Belum lama berselang, ada juga video viral tentang seorang ibu yang mengamuk dan menggigit tangan seorang polisi. Saat belakangan muncul informasi tambahan bahwa si ibu itu memang memiliki riwayat tekanan kejiwaan, informasi itu tidak tersebar semasif videonya. Apa Anda kira sebuah klarifikasi bisa lebih ramai daripada berita awalnya? Nehi, nehi. Tidak pernah ada ceritanya.
ADVERTISEMENT
Kenapa? Sebab kita memang lebih suka buru-buru bergembira sambil mengumpat dan tertawa, daripada berhenti sejenak lalu berpikir dan mencerna.
Jadi, agaknya bukan hanya si ibu penggigit polisi itu yang punya masalah jiwa. Sebab masing-masing kita pun terjerat problem yang sama, tanpa kita pernah menyadarinya.
Iqbal Aji Daryono, esais, tinggal di Bantul.