Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Mewujudkan Wisata Kuliner Berbasis Sejarah di Sumedang
27 Februari 2020 23:08 WIB
Tulisan dari Muhammad Iqbal Awaludien tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sumedang kota yang asing buat saya, jujur saja. Di usia yang sudah menginjak kepala tiga, hanya satu kali saya berada cukup lama di daerah yang sohor sebagai penghasil tahu dengan rasa nomor wahid di Indonesia ini. Itu pun cuma satu hari untuk menghadiri kondangan nikah seorang teman. Ya Tuhan betapa cupu-nya.
ADVERTISEMENT
Namun jangan salah, kata Sumedang sebenarnya sudah akrab di telinga sejak umur saya belasan. Doel Soembang, benar-benar membuat saya melayang lewat lirik berikut ini:
Ah, belasan tahun sudah berlalu. Lagu yang sering saya dengar secara tidak sengaja dari tetangga hampir setiap hari di masa-masa SMP itu memang melekat hingga kini. Lirik-lirik yang dibuat Doel Sumbang membangkitkan kembali imaji saya tentang Cadas Pengeran, Tampomas, Cimalaka, hingga jajaka dan mojang nu garelis, ehem.
***
Ya, Sumedang adalah tahu. Artinya, ketika saya mendapati istilah dari daerah di mana Universitas Pajajaran itu berada, yang terbersit langsung di kepala memang adalah tahu. Tidak ada yang lain. Pasalnya, panganan ini sangat akrab dengan saya saat setiap minggu harus menghadapi kemacetan di jalan Sukabumi-Bogor menuju Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Tahu sumedang, karak nyat, hanuet", kalau diartikan "Tahu sumedang baru diangkat, hangat” Begitu kata para pedagang asongan yang sigap menawarkan dagangan tahunya ke kaca-kaca kendaraan. Mereka sudah siap dengan kantong plastik, cengek, dan sejenis tusukan dari bambu. Dan saya sering merasa tertolong karena di momen seperti itu, tahu bisa menjadi solusi terbaik untuk mengatasi rasa bosan. Sebab ngemil tahu pastinya lebih nikmat daripada terus mengumpat, iya kan?
Selain itu, di jalan lingkar selatan Sukabumi yang dikenal dengan “Jalur” ada tempat hits bernama Tahu Sumedang Jalur RM. H Didi yang menyajikan aneka makanan, seperti sate ayam, sop iga, paket ayam kremes, sampai aneka minuman dengan konsep lesehan dan di bawahnya ada kolam-kolam ikan. Nggak ada Tahu Sumedang-nya berarti? Tentu ada. Di pajang bagian depan dan menjadi cemilan favorit saya sekeluarga kalau Minggu jalan-jalan ke sana.
Nah, tetapi, di sini saya tak akan mengulas bagaimana rasanya tahu sumedang yang ada di Kota Mochi, apalagi membandingkannya dengan Tahu Sumedang Bunkeng yang baru saya cicipi sekali seumur hidup itu. Namun, saya akan lebih menyoroti bahwa tahu mumedang kini sudah bukan lagi makanan lokal khas yang menasional. Melihat persebarannya yang barang kali ada di seluruh Indonesia, tahu sumedang bisa dianggap sebuah brand image yang menggiurkan untuk pariwisata
ADVERTISEMENT
Sekilas Sejarah Tahu Sumedang
Tahu berasal dari daratan Tiongkok. Datang ke Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran orang-orang keturunan Tiongkok yang berimigrasi awal abad ke 20. Mengutip dari artikel Jakarta Post yang berjudul "From Doufu to Tahu", panganan berbahan baku utama kacang kedelai ini sudah ada 4000 tahun yang lalu, tapi baru masuk ke Hindia Belanda tahun 1911 saat Ong Kino membuatnya untuk konsumsi keluarga.
Menurut Kompas.com, tahun 1917 menjadi awal mula Ong Kino membuatnya secara komersil di Sumedang. Singkat cerita, tahu buatannya semakin digemari dan dikenal masyarakat sekitar karena lezat. Dan cerita dari mulut ke mulut ini sampai juga ke telinga dalem Sumedang, Pengeran Suria Atmaja.
Terdorong rasa penasaran, bupati bergelar “Pangeran Mekah” yang saleh dan bijaksana itu datang ke rumah Ong Kino dan langsung menyukainya. Ia pun memberi “restu” untuk mengembangkan makanan yang terbilang baru di Sumedang tersebut. Sejak itu, Ong Kino menyulap rumahnya yang terletak di Jalan 11 April, Tegalkalong, Kecamatan Sumedang Utara jadi toko utama.
ADVERTISEMENT
Lebih dari seratus kemudian, warisan Ong Kino dan keluarganya ini masih bisa dikunjungi dengan nama Tahu Sumedang Bungkeng dan dianggap sebagai pelopor tahu sumedang yang kita kenal sekarang.
Potensi Tahu Sumedang Sebagai Pemberdaya Pariwisata
Berbeda dengan yang Jepang memiliki Sushi, Italia dengan Pizza, hingga Korea Selatan yang terkenal dengan Kimchi-nya untuk menyebut beberapa negara yang memiliki kuliner nasional (national cuisine), sulit menentukan mana kuliner Indonesia yang paling layak menjadi ikon nasional. Oke, rendang dan nasi goreng pernah dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia oleh CNN. Namun itu tidak serta merta membuat keduanya jadi national cuisine. Kalau pun mau tetap dipaksakan, lalu di mana tempat buat soto, sate, rawon daging, pecel, ayam betutu, gado-gado, hingga pappeda yang semuanya tak kalah lezat?
ADVERTISEMENT
Menurut Fadly Rahman, Dosen Sejarah Universitas Pajajaran dan pakar sejarah kuliner dalam artikelnya “Kuliner Sebagai Identitas Keindonesian” Jurnal Sejarah (2018), ini sebenarnya masalah yang lumrah di negara dengan kekayaan kuliner seperti Indonesia. Sebab, meski sudah terkenal secara nasional bahkan mendunia, kuliner di Indonesia tetap merupakan makanan daerah (regional dish). Lahir dari masyarakat daerah dengan latar belakang budaya dan selera-selera yang tentunya berbeda-beda.
Jadi semisal rendang yang berasal dari Sumatera Barat dinobatkan sebagai national cuisine, belum tentu masyarakat Jawa yang lebih suka masakan bercita rasa manis setuju. Bisa jadi buat mereka, gudeg dan pecel lebih enak. Begitu juga sebaliknya, dan seterusnya, dan seterusnya.
Sudut pandang ini membuat saya mafhum bahwa Indonesia memang tidak harus memiliki satu national cuisine. Bukankah kalau banyak dan beragam itu jadi lebih kaya dan menarik?
ADVERTISEMENT
Karena itu, kembali ke tahu sumedang, saya sarankan warga Sumedang tidak perlu berandai-andai lagi kalau suatu saat ikonnya ini bisa menjadi kuliner nasional!
Eh, eh, eh, tunggu. Jangan marah dulu!
Ini bukan cacian, justru pujian. Sebab tanpa selebrasi dan seremoni pengukuhan apa pun dengan prosedur berbelit-belit, dilihat dari sudut pandang ekonomi kreatif Tahu Sumedang sebetulnya sudah menjadi sebuah brand yang sangat menjanjikan.
Namanya yang dikenal luas secara nasional, seringnya nama tahu sumedang dicatut oleh segala pedagang tahu, inspirasinya dalam pengembangan wirausaha dan penciptaan lapangan kerja, kontribusinya untuk ekonomi masyarakat, sejarahnya yang kaya, merupakan modal berharga, untuk memperkuat pariwisata Sumedang di bidang kuliner.
Sebab kuliner, kini bukan lagi entitas pelengkap pariwisata. Wisata kuliner merupakan wisata tersendiri yang semakin digemari. Siapa sih yang tak mau memanjakan perutnya dengan makanan yang lezat-lezat ditambah cerita tentang bagaimana sejarahnya, keunikan citarasa dan produksi, cerita perjuangan pelopor dan pedagang, sampai tahu sumedang menjadi ikon Kota Sumedang kini.
ADVERTISEMENT
Saya kira, dengan brand positioning tahu sumedang yang sudah kuat ini, upaya ke arah tidak mustahil diwujudkan. Tapi bergantung pada sedalam dan selengkap apa tahu sumedang bisa disajikan bersama cerita-cerita di baliknya/
***
Saya ingat pernah membaca pernyataan Lia Embasari (Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat) kepada Kompas pada 2014 silam, bahwa wisata kuliner bukan hanya berkutat seputar cita rasa atau bumbu apa yang dipakai dalam hidangan, namun wisata yang juga bisa menambah pengetahuan tentang cara makan, gaya hidup, tradisi, kebudayaan, kesejarahan, sampai unsur geografis yang direpresentasikan lewat penyajian dan cita rasa hidangan tersebut.
Saya sepakat dengan pernyataan tersebut. Coba bayangkan, di suatu hari nanti Sumedang punya museum kuliner yang berisi artefak terkait kuliner-kuliner khasnya, lengkap dengan cerita sejarah, perubahan menu dan penyajian dari waktu ke waktu, hingga foto-foto lama yang memancing nostalgia, terus wisatawan bisa ngaleut menelusuri sentra-sentra makanan dilengkapi direktori, booklet, dan peta sambil menikmati tahu haneut, toto bongko, kadedemes, opak ketan, emplod, hingga ubi cilembu.
ADVERTISEMENT
Ah, saya kok jadi lafar.