Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
“We Couldn't Become Adults”, Film Jepang yang Bikin Males Kerja Keras
14 Januari 2022 9:34 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Muhammad Iqbal Awaludien tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Makoto Sato (diperankan oleh Mirai Moriyama) di tahun 2015 adalah seorang desainer grafis sukses. Di umur 41 ia sudah punya apartemen mewah di tengah kota Tokyo dan tempat kerja yang ia rintis bersama bos sekaligus temannya juga menjelma perusahaan besar. Sato berhasil keluar dari keadaan "tak punya apa-apa" seperti yang ia keluhkan pada tahun 2000, dan tahun 1995 ketika kehidupannya "biasa dan membuat depresi". Ya, dengan kerja keras!
ADVERTISEMENT
Etos kerja keras Sato diwakili dalam salah satu adegan saat ia terjatuh dari sepeda motor tapi tetap berusaha mengantarkan “barang” kepada kliennya. Kalau kita mungkin akan langsung bilang ke bos mengalami kecelakaan, walau luka cuma seuprit. Terus istirahat.
Namun, hasil kerja keras Sato di masa muda, plus terima-terima saja ia dikeplak kepala, ditendang, dilempar kertas oleh klien, justru menghasilkan seorang Sato yang kehilangan gairah hidup di masa depan. Di usia hampir setengah abad (46 tahun), ia memilih hidup sendiri tanpa ada teman-teman di sekelilingnya. Sato, bahkan mendaku diri sebagai seorang yang membosankan. Mengapa?
Untuk meminimalisasi spoiler dan berkurangnya kenikmatan menonton, kita cukup membahas scene yang bisa dibilang sebagai plot yang mengerakkan cerita.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui sebelumnya, film feature pertama dari Yoshiro Mori ini memakai alur mundur dengan kronologi waktu. Dengan kata lain, ada fragmen kehidupan Sato tahun 2020, Sato tahun 2015, Sato tahun 2011, Sato tahun 2008, sampai Sato tahun 1995.
Sato tahun 1995 adalah saat romansa film dimulai. Sato adalah pria muda usia 21 tahun yang bekerja di sebuah pabrik pengemasan kue yang gelap dan apek. Dari sini sudah bisa ditebak dari mana Sato berasal, yaitu kalangan menengah bawah. Di tempat kerjanya tersebut juga diperlihatkan hanya ia dan Nanase (diperankan oleh Atsushi Sinohara) orang Jepang yang bekerja di sana. Selain mereka bedua selebihnya adalah para imigran.
Sato tidak mengasihani hidup, dan secara sadar berupaya menaiki tangga kelas sosial di Jepang. Terlebih saat bertemu Kaori (diperankan oleh Sairi Ito) secara “tidak sengaja” akibat surat menyurat yang intens karena sama-sama menggilai musisi Kenji Ozawa. Singkat kata, mereka pun jadian.
ADVERTISEMENT
Kaori menjadi bahan bakar tambahan agar bisa keluar dari kehidupan biasa. Sato pun ingin keluar dari pekerjaan kasar dan mencari pekerjaan yang lebih baik.
Cerita kemudian berjalan manis. Dua muda-mudi yang sedang dimabuk cinta. Sato akhirnya diterima di sebuah perusahaan desain grafis, merangkap kurir sembari belajar menjadi desainer. Adegan-adegan percintaan Sato dan Kaori, bisa bikin kita senyum-senyum sendiri. Dialog mereka kawaii, menghibur dengan Sato yang malu-malu dan Kaori yang sedikit sarkas.
Penggambaran latar Jepang yang terwakili dalam romansa Sato dan Kaori sangat mendukung nuansa gaya pacaran anak-anak muda Jepang tahun 90-an. Diperlihatkan bagaimana muda-mudi Jepang yang begitu tergila-gila pada budaya populer, mendengarkan musik-musik terbaru, nonton anime-anime populer, berjalan-jalan dengan fashion yang sedang tren di tengah kota Tokyo. Dan, untuk urusan romansa dari kalangan “miskin dan tidak punya apa-apa” seperti diutarakan Kaori kepada Sato, pilihan untuk pasangan kekasih saat “mengantuk” adalah Love Hotel dengan harga paling murah.
Gejala-gejala Sato sebagai seseorang yang membosankan mulai terlihat pada Sato tahun 2000. Putus asa ditinggalkan Kaori tanpa alasan yang jelas, semesta Sato hancur. Padahal, karirnya sudah mulai menanjak. Sato hilang arah namun segera terobati dengan datangnya gadis lain, Soo. Ya, ya, ya, obat kehilangan seorang pacar adalah dengan mendapatkan pacar yang baru, Nanase berkata dalam salah satu adegan.
ADVERTISEMENT
Namun, Sato yang perlahan bangkit kembali runtuh, bahkan kini jauh lebih dalam. Karena Soo pun hilang tanpa jejak. Kaori meninggalkan Sato dengan surat-surat dan CD musik kesukaan mereka, Soo meninggalkan Sato dengan balasan “Nomor yang Anda hubungi sudah tidak aktif atau tidak terdaftar” saat dihubungi.
Segitu doang? Jadi cuma gara-gara cinta, Sato jadi begitu? Tentu aja nggak! Kalau diceritakan semua, di mana menariknya? Haha
Gambaran Dunia Kerja yang Keras
Charles Dickens pernah bilang “Job became more important than living life”. Bisa jadi kata-kata dari sastrawan besar era Victoria itu diamini oleh sebagian besar orang Jepang. Dunia Sato adalah dunia gila kerja orang Jepang yang merupakan alat, bukan saja untuk eksis dalam hidup. Melainkan sebuah jalan menaiki tangga sosial, agar tidak dipecat, agar bos dan klien senang, hingga supaya kekasih terkesan.
ADVERTISEMENT
Hal ini sedikit banyak diwakili oleh simbolisme tangga yang cukup dominan dalam film. Tangga untuk dunia Sato adalah tempat turun sebelum mengejar mimpi. Tangga juga jalan yang harus dilewati terlebih dulu saat hendak beristirahat setelah seharian bekerja. Bahkan, tangga menjadi tempat berbincang kelas pekerja Jepang untuk membicarakan hidup dan berkeluh kesah terkait pekerjaan.
Percakapan Sato dan Sekiguchi (diperankan oleh Masahiro Higashide), sahabat dan rekan kerjanya di tangga menarik untuk disimak. Kala itu, Sekiguchi baru saja disiram air oleh sang bos (Masato Higawara) karena memukul klien yang melempar tagihan pembayaran ke mukanya.
ADVERTISEMENT
Gambaran dunia kerja Jepang dari film yang diadaptasi dari novel laris karya Moegara ini tidak sebatas digambarkan dengan keplakan, tendangan, bentakan, siraman air, dan klien yang seenanya. Lebih dari itu, dipersonifikasi oleh Sato sendiri, seperti telah dijelaskan di awal. Kerja keras yang membabi buta ternyata menghasilkan keterasingan. Jiwa yang kosong. Dengan kata lain, film dari negara yang dikenal “gila kerja” (baca: Jepang) ini menggugat etos kerja keras bangsanya sendiri.
Sosok Sato adalah representasi dari angkatan kerja produktif Jepang yang rentan mengalami krisis eksisntensial. Saat kerja keras dilembagakan secara formal oleh negara dengan tujuan mengejar ketertinggalan dari bangsa lain dan rasa malu bangsa Jepang akibat kekalahan Perang Dunia II, negara matahari terbit ini memang berhasil menjadi negara maju.
Namun, tak ada gading yang tak retak. Ekses buruk dari etos kerja keras adalah munculnya fenomena Karoshi, kematian kelas pekerja akibat bekerja secara berlebihan, stres, depresi, dan bunuh diri di negeri matahari terbit. Gejala ini diwakili dalam satu adegan saat Sato mulai stres dan bertemu orangtua kekasihnya yang baru. Niat awal membuat si calon mertua terkesan, Sato malah melantur:
ADVERTISEMENT
Meski dalam konteks Jepang, diskurus etos kerja keras yang bisa menyebakan krisis eksistensial, bisa berlaku universal. Bukan karena etos tersebut jelek. Hanya, sebagai etos yang diciptakan untuk mengatasi kondisi tertentu, di dunia industrial yang kapitalistik, kerja keras seringkali dimanipulasi oleh para bos (baca perusahaan) yang mencari tenaga kerja murah dengan kinerja maksimal tanpa disertai pemenuhan hak-hak pekerja itu sendiri.
Dengan mengindoktrinasi bahwa kerja keras adalah satu-satunya etos penting yang harus dimiliki seorang pekerja, jajaran eksekutif di tangga teratas perusahaan bisa dengan mudah meraup keuntungan sebesar-besarnya dari modal yang sekecil mungkin. Terdengar familiar, bukan?
ADVERTISEMENT
Jadi buat apa kerja keras, kalau cuma bikin kita gila dan para bos makin kaya? Seperti Sato, ya, ia memang berhasil menaiki tangga sosial dengan kerja keras. Namun, apa arti semua pencapaian Sato kalau pada akhirnya ia harus menghadapi kehidupan yang kosong? Sebuah kehidupan yang tidak sesuai dengan cita-citanya dulu? Itu yang dicari dari kerja keras?
****
Mari lupakan pertanyaan eksistensial, mengapa harus dan tidak usah kerja keras dan apa hakikat dari kerja keras. Pasalnya, film ini sebenarnya jauh lebih enak dinikmati tanpa berpikir keras.
Ikuti saja perjalanan hidup Sato, dan kita akan tergerak dengan ikhlas untuk mengingat-ingat masa-masa yang telah lewat:
Sebelum munculnya ungkapan “Nonton Netflix and Chill”, mungkin ada masa kita sudah chill duluan dengan mendengarkan walkman merek AIWA bersama pasangan; Mungkin ada lagu-lagu populer tertentu yang mengingatkan kita saat pertama kali mendapat pekerjaan; Mungkin juga ada luka di kaki bekas berkelahi sama sahabat; Kebaikan orang tidak dikenal ketika kita mengalami kesulitan di jalan yang terlupakan; Film bokep yang pertama kali ditonton dan apesnya ketahuan; Sosok idola masa kecil yang ingin kita tiru, dan lain-lain, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, terlepas dari muatan berat yang mungkin hendak disampaikannya, We Couldn't Become Adults adalah film tentang tamasya waktu alias menikmati masa lalu. Atau, upaya mengingat peristiwa-peristiwa yang bisa jadi berpengaruh terhadap kondisi kita saat ini. Kalau hidup saat ini terasa kosong, tidak bermakna, membosankan, atau tidak sesuai harapan, tenanglah! Karena kita masih punya kenangan. Ya, kenangan ….
We Couldn’t Become Adults | 2021 | Durasi: 124 menit | Sutradara: Yoshihiro Mori | Penulis: Ryo Takada | Produksi: C&I Entertainment | Negara: Jepang | Pemeran: Mirai Moriyama, Sairi Ito, Masahiro Higashide, Sumire, Atsushi Shinohara, Atsushi Shinohara, Moemi Katayama, Yuko Oshima, Masato Hagiwara