Konten dari Pengguna

Antara Fotografi dan Empati

Iqbal Firdaus
Nothing.
6 Maret 2023 16:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iqbal Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Buluk Eks Superglad. Dok. Iqbal Firdaus pada PPG 2022
zoom-in-whitePerbesar
Buluk Eks Superglad. Dok. Iqbal Firdaus pada PPG 2022
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Memotret foto cerita bukanlah tentang bagaimana merangkai beragam foto menjadi sebuah cerita atau bahkan merekam suasana subjek/objek dengan teknik fotografi yang paling mutakhir sekalipun.
ADVERTISEMENT
Saya sering bertanya pada diri sendiri ketika tiap kali merekam kejadian pada kegiatan fotografi saya di tiap harinya, bagaimana jika saya yang mengalami kejadian tersebut dan saya yang ditodongkan kamera di depan kedua mata saya sendiri.
Fotografi adalah medium yang ‘penuh dengan risiko’. Medium ini bisa membentuk realitas, dan pada beberapa kesempatan bisa “mengusik kenyataan orang lain.”
Dewasa ini, selalu banyak fotografer bermunculan, dari professional hingga hobby-ist yang mulai membuat cerita lewat medium fotografi, entah tayang di mana, saya pun juga tidak tahu.
Pada praktiknya di lapangan, saya sering bertemu dengan sejumlah fotografer yang saya anggap nirempati kepada subjek yang difoto, mulai dari gerakan yang 'grasak-grusuk', tidak menjaga sikap selama di lokasi pemotretan, hingga menodong kamera seenaknya. Kejadian tersebut membuat saya geram, tapi selalu saja momen itu kerap saya temukan.
ADVERTISEMENT
Tingkah seperti itu akhirnya mau tidak mau akan mengubah stigma orang banyak terhadap dunia fotografi, terlebih lagi dunia jurnalistik dan dokumenter yang pada akhirnya semua fotografer akan dianggap tidak memiliki sikap sopan dan hati nurani.
© Olivia Arthur | Magnum Photos
Dari sekian banyak kejadian seperti di atas, saya jadi ingat bagaimana proses pemotretan salah seorang fotografer Magnum Photos, Olivia Arthur, dia menganggap empati memiliki peran yang signifikan antara dirinya dan subjeknya, hal tersebut menjadi sesuatu yang harus dia pikirkan dalam kaitannya dengan reaksi audiens pada akhirnya.
Contoh kasusnya ialah saat Arthur memotret orang-orang transgender, pendekatan Arthur adalah duduk dengan subjek selama beberapa waktu, mendengarkan cerita mereka, membangun hubungan dan kemudian mengambil potret mereka.
ADVERTISEMENT
“Ada semacam formalitas dalam cara saya membuat gambar, tapi menurut saya ada juga keintiman, karena dia telah berani membagikan ceritanya terlebih dahulu, dan cara dia memercayai saya dengan ceritanya menjadi sangat penting , ”kata Arthur
“Orang yang Anda potret juga harus mengetahui foto seperti apa yang akan Anda ambil, dan ada kejujuran dengan itu. Saya merasa sangat bermanfaat untuk memotret orang dengan cara ini.
© Bieke Depoorter | Magnum Photos
Ini adalah pendekatan serupa yang diambil oleh fotografer Magnum lainnya, termasuk Bieke Depoorter, yang tidak hanya berbicara dengan subjeknya, tetapi pergi ke rumah mereka, berbagi makanan, dan menghabiskan malam – potret yang dihasilkan menawarkan akses yang belum pernah ada sebelumnya ke dalam kehidupan pribadi subjek dan menangkap sesuatu dari keintiman sejati yang mereka bagikan.
ADVERTISEMENT
Saya jadi ingat ketika pertama kali berkesempatan mengikuti beasiswa fotografi jurnalistik "Permata Journalist Grant" tahun lalu, saya merekam kehidupan seorang rockstar pasca momen terpuruknya, saya mulai bertemu dengan beliau, menggali setiap pertanyaan yang sudah disusun sebelumnya sembari berpikir bagaimana caranya menerjemahkan ke dalam bentuk visual.
Namun, di hari pertama saya melakukan sesi pemotretan, tidak ada satu pun foto saya yang dipilih oleh mentor. Mereka menggangap foto-foto yang saya hasilkan masih belum sesuai dengan cerita yang saya angkat sebelumnya, dari situ saya berpikir, mungkin saya masih menempatkan diri saya hanya sebatas seorang fotografer yang ingin memotret, saya harus terjun ke dalam dunia sang rockstar tersebut.
Saya kembali di hari berikutnya, saya membuka diri untuk lebih menjaga perasaan sang subjek, lalu memberikan batasan agar dia tidak merasa terintimidasi, saya pun juga menyediakan beberapa renceng kopi dan rokok, setidaknya agar suasana menjadi lebih cair.
ADVERTISEMENT
Dari sini fotografi memberikan kesan yang mendalam bagi saya, yaitu betapa sulitnya menjadi seorang fotografer ketika mengerjakan cerita foto, fotografer harus mampu dan mau menjadi bagian dari subjeknya dan juga membawa emosi-emosi baru yang kompleks itu ke ranah kehidupan pribadi kita.
Pengalaman beasiswa ini meninggalkan bekas di hati nurani saya, karena proses dan perjalanan selama workshop memiliki cerita yang mungkin tidak semua orang dapat rasakan.
Melihat, mengalami dan terjun langsung ke lapangan dan menyuarakan isu tentang kondisi psikologi ini yang mungkin tidak pernah kita dengar sebelumnya bahwa isu ini nyata dan ada di sekitar kita, atau bahkan secara tidak sadar kita mengalaminya.
Workshop PPG secara daring.
Selama workshop berlangsung, pertanyaan-pertanyaan di kepala saya pun akhirnya muncul: sebagai seorang fotografer apakah empati saja cukup untuk membuat cerita foto ini? Apakah ini cara yang tepat untuk merepresentasikan kisah mereka? Setelah ini selesai, apa yang harus/bisa saya lakukan ke mereka?
ADVERTISEMENT
Lalu saya teringat teori “representative thinking” dan “emotional empathy” dari Hannah Arendt yang di mana beliau mengartikan bahwa sejatinya kita tidak akan pernah memahami kondisi/situasi seseorang sepenuhnya, tapi kita bisa menjadi aktor yang aktif dalam menggunakan imajinasi kita, keluar dan melepaskan keistimewaan yang kita miliki, dan menjadi ‘mereka’ selama kita diterima oleh mereka.
Pikiran dari Hannah Arendt ini akhirnya menjadi pondasi saya dalam berkarya, setidaknya hingga saat ini.