Asas-asas Pemikiran Kenegaraan Soekarno

Iqbal Hasanuddin
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta.
Konten dari Pengguna
19 Juni 2020 8:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iqbal Hasanuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok: WIkimedia commons.
zoom-in-whitePerbesar
Dok: WIkimedia commons.
ADVERTISEMENT
Oleh: Iqbal Hasanuddin
Soekarno adalah arsitek negara Indonesia. Ia bukan hanya memikirkan rancang-bangun kenegaraan untuk Indonesia merdeka, tapi juga ikut serta bersama para pejuang lainnya memperjuangkan agar rancang-bangun tersebut bisa terwujud di dalam kenyataannya. Ia pemikir sekaligus aktivis. Dalam bidang pemikiran kenegaraan, ia adalah seorang faylasuf ulung. Dalam gerakan perjuangan kemerdekaan, ia adalah pemimpin sejati.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, pemikiran dan aktivisme politik tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan seorang Soekarno. Apa yang dipikirkannya tidak lain merupakan refleksi kritis atas kondisi-kondisi sosial di mana ia hidup. Sebaliknya, kehidupan sosialnya, terutama perjuangannya untuk membawa Indonesia sampai kepada kemerdekaan, adalah manifestasi dari pikiran-pikiran kritisnya. Singkatnya, dalam diri Soekarno, teori dan praktik politik terkait erat satu sama lain.
Dalam konteks ini, pemikiran politik Soekarno tidak terbentuk sekali jadi. Pemikiran politiknya berkembang secara tahap demi tahap mengikuti perkembangan pemikiran politik yang ada pada zamannya serta mengikuti perubahan sosial yang dihadapinya. Sumber-sumber yang menjadi inspirasi pemikirannya sangat beragam dan melintasi batas-batas aliran-aliran filsafat politik yang ada.
Walaupun senantiasa berkembang secara dinamis, terdapat asas-asas yang tetap di balik perkembangan pemikiran politiknya itu. Asas-asas dimaksud adalah nasionalisme, marhaenisme dan modernisme Islam. Ketiga paham ini bisa diibaratkan jangkar tempat berbagi aksentuasi pemikiran politik Soekarno berpijak. Ketiganya menjadi semacam paradigma yang ikut membentuk dan menentukan artikulasi-artikulasi politiknya.
ADVERTISEMENT
Nasionalisme
Lebih dari apa pun, nasionalisme tampaknya menjadi inti dari segala inti pemikiran politik Soekarno. Memang, ia mengakui bahwa selain nasionalisme, juga ada Islamisme dan Marxisme yang menjadi pandangan politik arus utama di kalangan tokoh berbagai gerakan sosial yang ada di Indonesia pada zamannya. Namun demikian, dalam rangka membawa Indonesia keluar dari zaman kolonialisme ke zaman kemerdekaan, ia begitu yakin bahwa nasionalisme memiliki daya ikat bagi pemikiran-pemikiran politik lainnya.
Soekarno memiliki perhatian lebih pada upaya untuk menemukannya daya ikat bagi aliran-aliran politik setelah terjadinya perpecahan di antara tokoh-tokoh Serikat Islam (SI). Perpecahan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan pandangan antara tokoh-tokoh SI yang ingin tetap berpijak pada landasan Islamisme untuk perjuangan melawan kolonialisme dan tokoh-tokoh SI yang memilih Marxisme sebagai landasan perjuangannya. Di kelompok pertama, ada Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdul Muis. Sementara di kelompok kedua, ada Semaun, Muso, Alimin dan Dharsono.
ADVERTISEMENT
Dalam rangka merespon perpecahan tersebut, Soekarno menulis artikel berjudul "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme." Menurutnya, persatuan dari gerakan-gerakan sosial yang terilhami oleh ketiga pemikiran politik itu harus diwujudkan untuk melenyapkan kolonialisme di Indonesia. Jika masing-masing kelompok berjuang sendiri-sendiri, kekuatan kolonial akan lebih mudah untuk menangkal gerakan perlawanan tersebut. Terlebih, dalam ketiga pemikir politik itu, terdapat titik-temu yang bisa menjadi pijakan untuk persatuan.
Menurut Soekarno, pada masa sebelumnya, ketiga paham itu sulit untuk bertemu satu sama lain. Nasionalisme yang membatasi perjuangan hanya dalam batas-batas sebuah negara saja dipandang tidak cocok dengan Islamisme dan Marxisme yang mengarahkan perjuangannya melampaui sekat-sekat bangsa atau negara demi visi internasionalismenya masing-masing. Sementara itu, walaupun sama-sama menginginkan internasionalisme, Islamisme dan Marxisme juga dipandang tidak cocok satu sama lain, karena paham yang satu dasarnya adalah spiritualitas, sementara paham yang lainnya lebih materialis.
ADVERTISEMENT
Soekarno mendefinisikan bangsa atau kebangsaan sebagai "suatu iktikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa." Di sini, Soekarno tampak mengikuti pengertian bangsa sebagaimana dirumuskan oleh Ernest Renan yang menyatakan bahwa bangsa adalah "kehendak untuk bersatu." Dengan demikian, bangsa atau kebangsaan tidak diasalkan dari kesamaan etnis, ras, atau agama, melainkan kolektivitas sosiologis yang terbentuk berdasarkan kehendak orang-orangnya.
Lalu, bagaimana dengan kalangan Islamis dan Marxis yang bercita-cita untuk membangun kolektivitas trans-nasional? Apakah mereka bisa dianggap memilih jiwa kebangsaan juga? Menurut Soekarno, apa pun cita-cita politik mereka, mereka semua adalah orang-orang yang memiliki pengalaman sama sebagai orang-orang terjajah di negeri sendiri. Karenanya, terdapat suatu kehendak yang sama di kalangan nasionalis, Islamis dan Marxis, yaitu: untuk keluar dari penjajahan menuju kemerdekaan. Artinya, kaum nasionalis seharusnya bisa bekerja sama dengan kaum Islamis dan Marxis.
ADVERTISEMENT
Kemudian, apakah kaum Islamis dan Marxis mau dan bisa kerja sama dengan kalangan nasionalis? Apakah kaum Islamis bisa bekerja sama dengan kaum Marxis? Jawaban Soekarno: Bisa. Soekarno menyebut Jamaluddin al-Afghani sebagai tokoh Islamis yang juga mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia Muslim. Sementara itu, Soekarno menyebut Sun Yat Sen sebagai contoh di mana kaum Marxis mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Tiongkok. Adapun kaum Islamis dan Marxis bisa bekerja sama karena punya musuh bersama, yaitu: Penjajah.
Marhaenisme
Setelah nasionalisme, asas pemikiran politik atau kenegaraan Soekarno yang kedua adalah Marhaenisme. Marhaenisme adalah sebuah pemikiran politik yang berpihak dan memperjuangkan orang-orang yang telah dibuat melarat oleh sistem dan kolonialisme yang menindas. Dasar perjuangan untuk keluar dari penjajahan menuju kemerdekaan Indonesia di antaranya adalah dilatarbelakangi oleh pembelaan terhadap kaum marhaen ini.
ADVERTISEMENT
Menurut Soekarno, istilah Marhaenisme diambil dari nama Marhaen, seorang petani miskin di daerah Bandung yang secara tidak sengaja ditemuinya waktu berjalan-jalan santai. Setelah bercakap-cakap dengan petani Marhaen, Soekarno kemudian menyimpulkan bahwa rakyat Indonesia pada umumnya bernasib sama dengan Marhaen. Mereka tidak bekerja untuk siapapun dan mereka punya alat produksi dalam kegiatan ekonomi berbentuk sawah atau perahu. Namun demikian, penghasilan mereka setiap hari tidak cukup membawa mereka keluar dari kemiskinan karena sistem kolonialisme yang membuatnya tetap demikian.
Dengan mengemukakan pandangan politik Marhaenisme, Soekarno sebetulnya tengah menggunakan Marxisme sebagai pisau analisis untuk melihat akibat-akibat yang ditimbulkan oleh sistem imperialisme dan kolonialisme di Indonesia. Sementara itu, imperialisme dan kolonialisme tidak lain daripada perluasan sistem kapitalisme ke wilayah-wilayah di luar negara kapitalis. Perluasan kapitalisme menjadi imperialisme atau kolonialisme terjadi karena para kapitalis membutuhkan barang-barang langka di negeri-negeri jajahan untuk dijual dengan harga yang mahal di negaranya; atau, perluasan itu terjadi karena pasar baru dibutuhkan untuk mengatasi kelebihan produksi di negeri asalnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Menurut Soekarno, di negeri-negeri kapitalis sendiri, kaum buruh menjadi kelas proletariat yang semata-mata memiliki tenaga untuk bekerja. Mereka tidak memiliki alat produksi apapun kecuali tenaga yang mereka miliki itu. Karenanya, mereka tidak punya pilihan kecuali bekerja sebagai buruh meskipun dengan penghasilan yang kecil. Sementara itu, untuk memperoleh laba, para kapitalis atau borjuis dituntut untuk menekan biaya produksi serendah mungkin dan itu hanya bisa dilakukan dengan membayar tenaga buruh semurah mungkin. Dalam sistem seperti ini, kaum buruh, kaum proletariat, adalah bahan baku bagi perubahan sistem produksi kapitalis menuju sosialisme, karena mereka adalah kaum yang paling tertindas.
Dalam pandangan Soekarno, negeri-negeri jajahan seperti Indonesia tidak memiliki kelas borjuis lokal maupun buruh yang kuat. Namun demikian, rakyat Indonesia pada umumnya telah ditindas dan dimiskinkan oleh sistem imperialisme dan kolonialisme. Memang, tidak seperti proletariat di Eropa, rakyat Indonesia masih punya alat produksi sendiri berupa sawah untuk petani dan perahu untuk nelayan. Hanya, keadaan mereka sedemikian miskin. Karenanya, meskipun bukan proletariat, para petani dan nelayan tersebut adalah bahan baku bagi revolusi nasional. Mereka adalah kaum Marhaen yang akan memperjuangkan kemerdekaan demi kesejahteraan mereka.
ADVERTISEMENT
Cita-cita politik yang ingin diwujudkan oleh Marhaenisme melalui jalan kemerdekaan adalah terciptanya sebuah masyarakat yang berlandaskan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme terwujud dalam bentuk tatanan politis negara-bangsa. Sementara itu, sosio-demokrasi terwujud dalam bentuk sistem politik kerakyatan, permusyawaratan dan perwakilan (demokrasi politik), sekaligus dalam bentuk sistem ekonomi berkeadilan yang memberikan kesejahteraan untuk semua (demokrasi ekonomi).
Dengan penjabaran seperti itu, kita bisa mengerti bahwa Marhaenisme adalah buah dari pemikiran politik Soekarno yang berorientasi sosialistik. Dalam hal ini, Soekarno memakai pisau analisis kritis yang ada dalam tradisi pemikiran Marxis untuk membaca kenyataan sosial dan perkembangan sejarah masyarakat Indonesia. Soekarno tidak berpaku pada doktrin-doktrin Marxis yang muncul dalam konteks sejarah Eropa, melainkan meminjam perangkat analitisnya untuk melancarkan kritik terhadap ideologi imperialisme dan kolonialisme sebagai perluasan dari sistem kapitalisme.
ADVERTISEMENT
Modernisme Islam
Selain nasionalisme dan Marhaenisme, asas pemikiran kenegaraan Soekarno yang ketiga adalah modernisme Islam. Memang, modernisme Islam ini tidak hanya berbicara tentang politik, tapi juga soal agama dan masyarakat. Namun demikian, Soekarno tetap menjadikan paham modernisme Islam sebagai pijakan bagi pemikirannya sendiri tentang negara. Secara khusus, modernisme Islam telah memberikan jalan bagi Soekarno untuk membangun relasi yang tepat antara agama dan negara dalam kerangka sebuah negara-bangsa modern.
Modernisme Islam adalah gerakan intelektual, sosial dan politik yang mendukung modernitas secara umum, serta modernisasi dunia Islam secara khusus. Bagi modernisme Islam, tidak ada masalah sama sekali dengan proses modernisasi di dunia Islam. Sebab, nilai-nilai Islam yang termaktub di dalam al-Qur'an sangat sesuai dengan nilai-nilai modern. Bagi mereka, Islam dan modernitas itu kompatibel alias cocok.
ADVERTISEMENT
Di antara kococokan antara Islam dan modernitas adalah bahwa keduanya sama-sama mendukung penggunaan akal budi, pengembangan pengetahuan ilmiah dan senantiasa berorientasi kepada kemajuan di masa depan. Para pendukung modernisme Islam dapat dengan mudah menyusun daftar ayat-ayat al-Qur'an yang mendorong umat Islam untuk berpikir, menggunakan akal budi, mengembangkan sains dan sebagainya. Mereka juga bisa memberikan bukti-bukti sejarah di mana rasionalisme dalam dunia Islam pernah berkembang pesat, terutama dalam wujud falsafah dan sains.
Di antara manifestasi penggunaan akal budi dalam kehidupan dunia Islam di zaman modern adalah upaya untuk merumuskan sistem kenegaraan yang sesuai tantangan zaman. Dalam hal ini, tokoh-tokoh modernisme Islam seperti Muhammad 'Abduh, Sa'ad Zaglul, Luthfi al-Sayyid, 'Ali 'Abd al-Raziq, 'Abd al-Rahman al-Kawakibi dan Ziya Gokalp mendukung keberadaan negara-bangsa di negeri-negeri Muslim. Karenanya, mereka memunculkan gagasan nasionalisme Mesir, nasionalisme Arab dan nasionalisme Turki.
ADVERTISEMENT
Selain membaca buku-buku berisi pemikiran modernisme Islam tersebut, Soekarno juga bersentuhan langsung dengan banyak tokoh modernisme Islam di Indonesia. Ketika sekolah selama 5 tahun di Horgere Burger School (HBS) di Surabaya, ia tinggal di rumah Tjokroaminoto, Ketua Sarekat Islam. Di masa-masa itu pula, ia banyak terlibat dalam pengajian-pengajian Kyai Ahmad Dahlan, pendiri dan guru Muhammadiyah. Belakangan, ketika tinggal di Bandung, ia juga banyak bergaul dan berdiskusi dengan Ahmad Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis).
Dalam kerangka berpikir modernisme Islam itulah, Soekarno mengemukakan pandangan bahwa Islam memang mengajarkan nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, keadilan dan musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, Islam tidak menentukan sistem kenegaraan seperti apa yang harus dipakai. Karenanya, dengan cukup yakin, Soekarno mendorong umat Islam di Indonesia untuk memperjuangkan sistem negara-bangsa pada saat Indonesia telah mencapai kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Pemikiran Soekarno yang mengarah kepada paham negara kebangsaan tersebut bukan sebuah hal aneh di dunia Islam saat itu. Sebab, di berbagai belahan dunia Islam, gerakan kemerdekaan berdasarkan paham nasionalisme telah berkembang luas. Di Mesir, ada gerakan nasionalisme Mesir yang cukup kuat dan didukung oleh Universitas al-Azhar di Kairo. Di negeri-negeri Arab, nasionalisme Arab juga bergema sangat kuat. Hal yang sama juga muncul dalam wacana nasionalisme Turki.
Penutup
Nasionalisme, Marhaenisme dan modernisme Islam adalah tiga landasan atau asas utama pemikiran kenegaraan Soekarno. Asas-asas tersebut menjadi paradigma bagi berbagai artikulasi politiknya, baik sebagai pemikir, pejuang maupun pemimpin politik. Di atas ketiga asas itu, Soekarno menulis buku-bukunya. Di atas ketiga asas itu pula, ia merancang bangunan negara Indonesia merdeka.
ADVERTISEMENT
Jika kita membaca kembali rumusan Pancasila yang dibuat oleh Soekarno misalnya, di sana akan tampak juga gagasan-gagasan yang berdiri di atas paham nasionalisme, Marhaenisme dan modernisme Islam. Kebangsaan, internasionalisme atau perikemanusiaan, demokrasi atau mufakat, keadilan atau kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan merupakan manifestasi lebih lanjut dari ketiga asas pemikiran kenegaraan Soekarno sebagaimana telah disebutkan.
Penulis adalah Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta.