Bukan Sepak Bola

Sarjana Teknik Kimia. Sekarang bekerja sebagai kontraktor lepas. Tertarik pada sains, sejarah, sastra, dan sepakbola.
Konten dari Pengguna
16 Maret 2023 19:12
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iqbal S Barqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi stadion sepak bola di Inggris Foto: Dok. Kedubes Inggris
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi stadion sepak bola di Inggris Foto: Dok. Kedubes Inggris
Ini adalah sebuah cerita yang dituturkan oleh seorang temannya kawan saya. Sebuah tragedi, pelajaran moral, kisah nyata. Sepak bola.
Dia adalah pemain sepak bola semi pro asal Surabaya yang baru saja bermain di Liga 3 zona Sumatra Selatan, kalau Liga 3 tidak distop, mestinya dia masih bermain sekarang. Selanjutnya saya ceritakan dari sudut pandang sang penutur aslinya.
"Liga 3 memang edan, super gila melebihi bayangan. Mau saya ceritakan dari aspek mana? Pertandingan? Ruang ganti? Wasit? Manajemen? Semuanya?"
"Ya wes, saya kasih contoh dari 2 pertandingan saja."

Pertandingan 1

"Pertandingan pertama, antara tim saya dan tim kompetitor yang bersaing memperebutkan tiket lolos babak nasional. Tim saya banyak diperkuat pemain asal Jawa Timur, sedangkan tim lawan banyak didominasi pemain yang juga anggota polisi.”
“Awalnya pertandingan berlangsung cukup seimbang. Pertandingan keras, lumayan menjurus kasar. Namun di pertengahan babak kedua, kami mendapat sinyal mulut ke mulut 'maringene bakal onok penalti siluman!'
“Benarlah, di suatu kemelut tendangan pojok, seorang pemain lawan tumbang tanpa sebab. Penalti! Kawan-kawan otomatis protes, wasit tidak bergeming. Alhasil, bola diletakkan di titik putih, bola ditendang. Save! Alhamdulillah! Bravo kiper!"
"Pertandingan dilanjutkan, beberapa menit kemudian, 'Pritttttt! Penalti!' 'lah woi! Onok opo?' 'ga onok opo-opo.' 'wes uwes, no comment lah, ga usah protes, percuma' sahut menyahut kawan-kawan saya berujar.”
“Lagi, bola diletakkan di titik putih, bola ditendang, tangkisan kaki! Kiper kerasukan Buffon! Penendang hanya bisa memegang kepala, pun demikian dengan teman-temannya. Hati kecewa, panas, amarah, makin panas, membara."
"Pertandingan berlanjut, saya dapat bola umpan pendek, saya menggiring bola ke depan, sayang sekali kontrol bola kurang sempurna, bola terlalu jauh, kiper lawan maju, kiper dapat tangkap bola, saya pun loncat menghindar, menghindari kontak, tidak terjadi kontak, sama sekali. 'Aduh!' kiper berteriak berguling-guling di tanah mengerang kesakitan. 'Jangkrik! Sial' pikir saya.
Salah seorang pemain lawan berlari ke arah saya, 'woii mlayuuuu! Wong iku polisi!!' terdengar teriakan peringatan dari rekan saya. Saya pun berlari keluar lapangan, sial dia mampu mengejar, dia tarik kerah baju saya, pukulan datang bertubi-tubi, sambil meracau. 'Ampun! Ampun!' Teriak saya. Polisi penjaga berusaha mendekat. 'Mau apa kamu!' diam dia kena bentak, mungkin bapak penjaga kalah pangkat dengan oknum polisi berlagak pemain bola itu. Babak belur. Akhirnya pertandingan berakhir. Imbang. Kami lolos babak nasional. Horeee.

Pertandingan 2

"Pertandingan ini berlangsung di penghujung Liga, antara tim kami dengan tim dasar klasemen yang tidak ada harapan lolos."
"Sebelum pertandingan, coach kasih instruksi 'kalian semua tidak ada yang boleh cetak gol, kecuali mas Haryo (bukan nama sebenarnya), dia harus cetak gol, dua gol. Paham!'
"Tentu kami para pemain paham, ini laga settingan, harus nurut sutradara. Bahkan sebelum pertandingan dimulai, pemain lawan sudah menyalami Mas Haryo, striker kami, 'selamat ya, kamu jadi top skor liga!'. Dagelan."
"Pertandingan berlangsung, tidak seru. Mas Haryo cetak dua gol di babak pertama. Yes! Kewajiban sudah ditunaikan. Babak kedua, anak-anak bermain santai seperti fun game. Coach tidak peduli. Salah seorang pemain pengganti di tim kami ingin cetak gol, dia minta izin 'coach aku pengen cetak gol satu boleh ya?' 'sak karepmu wes' coach menjawab asal tanpa menoleh. Berselang beberapa saat, Goool! Benar dia cetak gol. Selebrasi kepalkan tangan tinggi. Saya dan kawan-kawan cuma melongo. Beberapa kawan malah misuh-misuh. Sebagian besar memegangi kepala. 'Jiaaangkrik!'"
Selidik punya selidik, rupanya ada seorang investor yang pasang taruhan tim saya menang dua gol tanpa balas. Jika kemenangan lebih dari dua gol, tetap menang, tapi sedikit. Dan rupa-rupanya para pemain dari kedua tim telah dijanjikan imbalan yang setimpal jika skenario berjalan mulus. 'Wedhus! Ga sido tuku hp anyar.' pikir saya dan teman-teman waktu itu."

Liga 3 dan Trauma Sepakbola

Mendengar cerita di atas, yang dituturkan langsung oleh lakon utama pentas wayang, membuat saya terkesima. Tentunya, bagi pemain bola profesional yang lama berkecimpung di liga 3, mungkin mereka sudah menganggap ini hal biasa. Mereka niat mencari uang, dengan bermain bola, atau bermain sandiwara, sama saja. Bagi pemain muda semi pro macam kawan saya ini, pengalaman ini membuka lebar-lebar wawasan dia mengenai sepak bola nusantara.
Dia mungkin tidak akan berhenti bermain bola, tapi motivasi bermain dan semangat sportivitas pasti berubah. Yang paling parah adalah efek untuk pemain-pemain muda, U17 ke bawah. Kebanyakan pemain lokal daerah setempat, yang idealis, yang biasa nonton Liga Inggris dan Piala Dunia. Mereka mengalami trauma sepak bola. "Kalo sepak bola kaya gini, Mulai besok aku nggak mau sepak bola lagi, lebih baik ikut ayah urus kebon karet!" Kata salah seorang dari mereka. Sudah berapa ribu mimpi yang hilang?
Saya ingat beberapa waktu lalu ada satgas anti mafia bola, dipimpin oleh jenderal polisi. Apa kesimpulannya? Seperti pelan-pelan menguap isunya. Untuk bapak ketua PSSI yang baru. Sudahlah, persoalan seperti ganti nama Liga, atau perubahan format kompetisi, saya pikir bukanlah hal yang mendesak. Lebih penting adalah back to basic. Perbaiki hal-hal esensial, wasit, mafia, sportivitas.
Kembalikan sepak bola menjadi benar-benar sepak bola, yang fungsi utamanya adalah memberi hiburan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Liga 1 memang penting, wajah sepak bola nasional. Tapi Liga 2 dan terutama Liga 3 juga tidak kalah penting, karena jangkauannya jauh lebih luas, pesertanya paling banyak, sampai pelosok-pelosok daerah. Lebih banyak sepakbola, lebih banyak mimpi bisa tergapai melalui Liga 3. Pejabat PSSI harus berani turun gunung langsung memonitor manajemen Liga 3.
Bagaimanakah contoh tata kelola liga amatir yang baik? Ada satu contoh nyata yang bisa menjadi pelajaran, yaitu kompetisi internal klub Persebaya. Terbukti dengan kompetisi yang sehat, pemain berbakat dan berpotensi akan selalu ditelurkan. Kompetisi internal Persebaya sebenarnya ialah peninggalan sistem lama, sistem Perserikatan, yang memang semangatnya adalah lebih kepada pendidikan dan pendidikan. Para pemain yang menonjol akan diambil oleh klub perserikatan yang dikelola Pemda, dan diadu antara klub perserikatan. Hal tersebut bukan berarti sistem lama lebih baik daripada sistem yang sekarang, karena sistem apa pun yang digunakan, jika pelaksanaannya tanpa kontrol yang baik, hasilnya pun tidak akan bagus.
Pelaksanaan Liga 3 saat ini, entah sudah berapa lama berjalan, memang sangat memprihatinkan. Bahkan mungkin masih lebih baik kompetisi tarkam yang dikelola karang taruna desa untuk senang-senang, yang jelas masih boleh disebut sebagai laga sepak bola. Bagi saya, jika cerita di atas ialah kebenaran, Liga 3 tidak layak disebut sepak bola, bukan juga olah raga. Lebih cocok jadi drama sinetron, saingan sama Tendangan Si Madun.
editor-avatar-0
editor-avatar-1
Baca Lainnya
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
·
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
·
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
·
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
0 Suka·0 Komentar·
01 April 2020
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
0 Suka·0 Komentar·
01 April 2020
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
0 Suka·0 Komentar·
01 April 2020
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
0 Suka·0 Komentar·
01 April 2020
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
0 Suka·0 Komentar·
01 April 2020