Konten dari Pengguna

Tantangan dan Peluang Penyimpanan Karbon di Aceh

Muhammad Iqbal Dista
Oil and Gas Commercial Analyst BPMA. Gas Supply Engineering Graduate TU Clausthal. Tim Task Force CCS/CCUS di Indonesia
3 Februari 2025 10:23 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Iqbal Dista tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lapangan Gas Arun (Dok. BPMA)
zoom-in-whitePerbesar
Lapangan Gas Arun (Dok. BPMA)
ADVERTISEMENT
Melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2024 (Permen ESDM 16/2024) yang terbit pada tanggal 24 Desember 2024 yang lalu, Pemerintah Indonesia kembali menunjukan komitmennya terhadap usaha memerangi dampak perubahan iklim global. Permen ESDM 16/2024 menjadi kebijakan paling mutakhir Pemerintah Indonesia yang mengatur pengelolaan penyimpanan karbon, dalam siklus carbon capture storage dan/atau carbon capture, utilization and storage (CCS/CCUS). Peraturan ini sekaligus menjadi turunan dari Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (Perpres 14/2024), serta melengkapi kebijakan terkait yang sebelumnya telah terbit pada Permen ESDM Nomor 2 tahun 2023 yang khusus mengatur terkait pengelolaan karbon pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi (Permen ESDM 02/2023).
ADVERTISEMENT
Permen ESDM 16/2024 mengatur secara lengkap tata cara penetapan lokasi penyimpanan karbon, selanjutnya disebut sebagai Wilayah Izin Penyimpanan Karbon (WIPK). Dilihat dari status WIPK sebelum ditetapkan, status wilayah dapat diklasifikan menjadi tiga: Wilayah Terbuka, Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Kerja Migas.
Khusus terkait WIPK yang berada dalam Wilayah Kerja Hulu Migas (“WK”), Menteri akan meminta konfirmasi terlebih dahulu kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di WK tersebut. Dalam hal KKKS memberikan konfirmasinya dalam jangka waktu yang ditentukan, WK tersebut dapat diproses lebih lanjut menjadi WIPK dengan salah satu dari dua skema: perizinan berusaha, yang memungkinkan keterlibatan pihak ketiga sebagai operator CCS melalui seleksi terbatas (Pasal 9), atau berdasarkan kontrak kerja sama dimana KKKS akan turut mengambil peran sebagai operator CCS. Atas skema terakhir ini merujuk kepada Permen ESDM 02/2023 dimana khusus untuk Wilayah Aceh, BPMA memberikan pertimbangan kepada Menteri ESDM atas usulan pengembangan lapangan dengan CCS/CCUS yang diajukan oleh KKKS.
ADVERTISEMENT
Tantangan pengembangan proyek CCS/CCUS
Berdasarkan Sustainable Development Scenario yang diterbitkan oleh International Energy Agency (IEA), CCS/CCUS ditargetkan berkontribusi hingga 15% dari seluruh skema pengurangan emisi menuju target global Net Zero Emission 2070. Pada akhir tahun proyeksi tersebut, CCS/CCUS diproyeksikan akan mengambil bagian dalam pengurangan sekitar 6,89 Giga Ton CO2 per tahun. Sementara di Tahun 2024 kapasitas penangkapan dan penyimpanan karbon baru mencapai 51 Juta Ton dari total 50 fasilitas yang telah beroperasi diseluruh dunia, atau masih kurang dari 1% target tahun 2070.
Indonesia sendiri yang telah menetapkan target Net Zero Emission pada tahun 2060, sudah memberikan perhatian khusus pada CCS/CCUS sebagai satu dari lima langkah utama pengurangan emisi (ESDM, 2021). Meski tidak disebutkan target nilai pengurangan karbon yang dicapai melalui CCS/CCUS, kontribusi CCS/CCUS dianggap akan memberikan dampak signifikan melalui implementasi pada pengembangan pembangkit listrik tenaga batu bara dan industri-industri besar.
ADVERTISEMENT
Secara sederhana rantai nilai CCS dapat dibagi kedalam tiga (3) kegiatan utama: penangkapan (capture), pemindahan (transportation) dan penyimpanan (storage). Hal ini tetap berlaku demikian dalam konsep pemanfataan atau utilisasi (CCUS). Pada skema CCUS dalam enhanced oil recovery, karbon dioksida akan bertindak sebagai senyawa “pelarut” (solvent) yang nantinya akan menurunkan viskositas molekul hidrokarbon yang menempel pada formasi batuan. Penurunan viskositas molekul ini akan memudahkan molekul hidrokarbon untuk bergerak sehingga memungkinkan untuk mengalir pada sistem produksi.
Dengan nilai belanja modal yang cukup besar pada fase eksplorasi terutama dalam kegiatan seismik dan pengeboran sumur, calon operator CCS/CCUS haruslah entitas yang memiliki kemampuan teknis dan sokongan dana yang mumpuni. Kedua hal ini juga menjadi persyaratan yang tersebut dalam Permen ESDM 16/2024, dimana calon peserta Seleksi Terbatas yang mengusulkan Usulan WIPK juga dievaluasi pengalaman keteknikan dan kemampuan finansialnya (Pasal 6). Pada riset yang dilakukan ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia), sebuah lembaga think tank internasional berbasis di Asia Tenggara, diperkirakan nilai investasi untuk fasilitas penyimpanan karbon pada lokasi onshore dapat mencapai 160 Juta Dolar atau sekitar 2,5 Triliun Rupiah (ERIA, 2022).
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, tantangan terbesar dari proyek CCS terletak pada harga karbon. Sama seperti harga minyak mentah yang menjadi penggerak bisnis hulu migas, harga karbon adalah komponen utama kelayakan sebuah proyek CCS. Sebuah studi menyebutkan bahwa harga ideal karbon agar CCS dapat dinilai atraktif dan menarik bagi investor berada pada kisaran USD 90 – 220 /ton CO2, tergantung pada tipe industri dan teknologi yang digunakan (Global CCS Institute, 2023). Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi calon investor proyek CCS di kawasan Asia Pasifik, dimana harga karbon masih tergolong jauh dari ideal. Sebagai informasi, harga rata-rata karbon dari beberapa negara penggiat CCS di regional Asia Pasifik masih berkisar diantara USD 0.6 /ton CO2 (Indonesia) hingga USD 36 /ton CO2 (Jepang) (Worldbank, 2024).
ADVERTISEMENT
Peluang Kegiatan Penyimpanan Karbon di Aceh
Saat ini Aceh sendiri memiliki satu lokasi yang berpotensi menjadi tempat penyimpanan karbon, yaitu di Wilayah Kerja “B” atau lebih dikenal sebagai Lapangan Arun. Lapangan Arun sendiri telah masuk dalam daftar lokasi potensi CCS/CCUS oleh Kementerian ESDM, bersama dengan beberapa lokasi CCS/CCUS lain seperti Tangguh di Papua, Sunda Asri di Jawa Barat dan Sakakemang di Sumatera Selatan.
Meski demikian, masih terdapat catatan terkait pengembangan lebih lanjut dari WK B sebagai proyek CCS/CCUS dikarenakan saat ini wilayah tersebut berstatus Wilayah Kerja Migas sehingga hak penguasaan dan tanggung jawab operasi diwilayah tersebut dimiliki oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama, dalam hal ini PGE (PT Pema Global Energi) yang juga merupakan anak perusahaan dari PT Pembangunan Aceh, suatu Badan Usaha Milik Aceh. Atas hal tersebut, inisiasi dan rencana pengembangan dikembalikan kepada PGE, termasuk persetujuan dalam pemanfaatan data bersama sebagaimana merujuk pada Permen ESDM 2/2023 dan Permen ESDM 16/2024.
ADVERTISEMENT
Disisi yang lain, potensi arun sebagai lokasi penyimpanan karbon tentu saja tidak diragukan. Lapangan gas arun yang tersusun atas formasi batuan karbonat ini terbukti menjadi “rumah” bagi 17 Triliun Cubic Feet gas bumi (original gas in place-OGIP). Meski tidak serta merta penyimpanan karbon di lapangan gas dapat dikonversikan dengan parameter yang sama, baik volume maupun zona injeksinya, tapi penyimpanan karbon di Lapangan Arun tidak dipungkiri menyimpan potensi yang sangat besar.
Jika dilihat dari karakteristiknya sebagai lapangan gas yang masih berproduksi (tail gas), penyimpanan karbon di Lapangan Arun juga dapat ditujukan sebagai Enhanced Gas Recovery (EGR). Skema EGR juga menjadi dasar perencanaan pada proyek CCUS/UCC Tangguh yang estimasi memakan biaya investasi hingga 7 Miliar Dolar, atau sekitar 116 Triliun Rupiah, Meski aplikasi EGR dengan injeksi CO2 tidak seluas EOR di lapangan-lapangan minyak, EGR telah terbukti dapat meningkatkan perolehan (recovery) hingga 8-10% OGIP sebagaimana telah didemonstrasikan pada lapangan gas bumi di Selat Thailand (Leemasawatdigul et al., 2024).
ADVERTISEMENT
Selain itu, situasi geografis Arun yang berlokasi di tengah regional Asia Pasifik menjadi poin keunggulan tersendiri. Lokasi tersebut memungkinkan Arun menjadi CCS Hub untuk menyimpan emisi dari negara-negara Industri maju di kawasan, seperti Jepang dan Singapura. Jepang, selaku negara terdepan saat ini dalam pengelolaan energi bersih sedang merencanakan pendanaan untuk sembilan proyek CCS dimana empat diantaranya akan melibatkan lintas batas negara (cross-border). Sementara itu, Singapura telah secara nyata menunjukan minatnya terkait proyek CCS/CCUS di Indonesia setelah menandatangani Letter of Intent (LOI) bersama Pemerintah Indonesia terkait kerja sama dalam program CCS menyongsong target Net Zero Emission (Global CCS Institute, 2024).
Adapun jika mengacu pada harga karbon saat ini, keekonomian proyek CCS /CCUS akan terlihat tidak menjanjikan. Namun dengan melihat karakteristik durasi proyek CCS /CCUS yang sedikit banyak mirip dengan hulu migas, dibutuhkan hingga waktu 5 – 10 hingga WIPK dapat mulai beroperasi dan menghasilkan penerimaan. Pada Permen ESDM 16/2024 disebutkan bahwa Izin Eksplorasi penyimpanan karbon diberikan hingga 6-10 tahun dengan batas sekali perpanjangan, sebelum akhirnya dapat dilanjutkan dengan Izin Penyimpanan selama 30 tahun untuk masa kontrak pertama dan 20 tahun untuk perpanjangannya. Hal ini menunjukan bahwa proyek CCS/CCUS membutuhkan waktu yang tidak singkat sebelum akhirnya dapat menghasilkan peneriman. Namun, dengan periode masa operasi yang panjang tersebut, proyek CCS dapat memperhitungkan harga karbon yang ideal bagi iklim investasi kedepan.
ADVERTISEMENT
Secara regulasi, Pemerintah Indonesia juga mendorong kerjasama lintas batas negara untuk merealisasikan proyek CCS. Hal ini dapat dilihat sebagaimana Perpres 14/2024 yang memberi ruang pada fasilitas penyimpanan karbon di Indonesia untuk menampung karbon dari negara asing hingga batas 30% dari total volume penyimpanan. Kuota penyimpanan tersebut diharapkan dapat mendorong investasi di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Sembari menutup tulisan ini kami berharap bahwa dapat dipahami terdapat tantangan atas potensi penyimpanan karbon di Aceh kedepan, namun dari tantangan tersebut juga terdapat peluang agar celah industri yang hadir karena isu perubahan iklim ini dapat direalisasikan, tentunya dalam koridor kebijakan dan regulasi yang telah ditetapkan oleh seluruh pemangku kepentingan yang berwenang.
ADVERTISEMENT