Mengalap Untung dari Berdagang Kayu ke Benua Biru

Iqbal Mohammad Amrullah
Diplomat Kementerian Luar Negeri RI - Peserta Sesdilu 72 - Bapak beranak 3
Konten dari Pengguna
21 Mei 2022 15:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iqbal Mohammad Amrullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hutan kayu Indonesia (Sumber: Pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hutan kayu Indonesia (Sumber: Pixabay.com)

Kayu adalah salah satu nikmat besar Tuhan yang diberikan kepada Indonesia. Hampir seluruh bagian daratan kita dapat ditanami beragam jenis kayu. Tidak salah jika Koes Ploes pada tahun 1973 dalam lagu Kolam Susu menyenandungkan bahwa tanah kita adalah tanah surga, dimana tongkat kayu dan batu dapat menjadi tanaman.

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Anugerah dari Tuhan ini memiliki arti penting bagi Indonesia. Kayu tidak hanya sebagai komponen utama untuk menopang bangunan dan rumah, namun juga merupakan komoditas perdagangan dengan potensi ekonomi yang sangat besar. Cukup banyak penduduk Indonesia yang kemudian mencoba mencari peruntungan untuk mengambil manfaat ekonomi dari kayu. Di industri furnitur saja, pada tahun 2021 tercatat sebanyak 1.114 perusahaan besar dan kecil di berbagai wilayah menggeluti bisnis tersebut. Bahkan, sebelum menjadi orang nomor wahid di negeri ini, Bapak Joko Widodo merupakan seorang pengusaha sukses di bidang mebel dan perkayuan di Solo.
ADVERTISEMENT
Pada masa pandemi dimana berbagai sektor ekonomi terpukul, industri kayu Indonesia tetap menunjukkan ketangguhannya. Produksi kayu bulat di kuartal kedua 2021 meningkat sebesar 10,74% dari produksi di tahun sebelumnya. Sementara untuk kayu olahan, dapat dipertahankan pada tingkat produksi yang sama. Gambaran ini menunjukkan bahwa bahkan di saat Indonesia tengah berjuang keras menghadapi amukan varian Delta, sektor kayu masih dapat memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kesaktian industri kayu di masa pandemi juga tampak dari meningkatnya nilai ekspor komoditas ini ke Uni Eropa (UE). Justru saat perdagangan internasional tengah lesu-lesunya, di tahun 2021 Indonesia menikmati kenaikan nilai ekspor kayu ke Benua Biru hingga 18,8%. Berbagai produk kayu asal Indonesia senilai total lebih dari 1 miliar Euro beredar di salah satu pasar terbesar dunia tersebut.
ADVERTISEMENT

Kesepakatan Ekspor Kayu ke Uni Eropa

Pada 15 September 2016 Indonesia dan UE mengumumkan rencana ekspor kayu pertama kali di bawah kesepakatan FLEGT-VPA (Sumber: EU FLEGT Facility, foto oleh Tom ter Horst)
Sebetulnya wajar jika produk kayu kita serta berbagai turunannya masuk ke pasar UE, bahkan justru harusnya terus meningkat. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya perjanjian kerja sama Indonesia dan blok regional tersebut yang tertuang dalam Forest Law Enforcement, Governance, and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA) sejak 2013. Sederhananya, melalui kesepakatan tersebut kayu Indonesia diakui bukan hasil dari pembalakan liar serta memenuhi syarat kelestarian lingkungan.
Sebagai imbalannya, produk kita akan menikmati fasilitas perdagangan yang lebih banyak dibanding produk serupa dari negara lain. Kayu Indonesia akan mendapatkan kemudahan akses masuk dan akan dipromosikan oleh UE agar semakin banyak dibeli oleh pasar domestiknya. Hal ini utamanya akan dilakukan melalui pencantuman kayu Indonesia dalam kebijakan pengadaan barang pemerintah dan swasta.
ADVERTISEMENT
Yang kerennya, dari total 15 negara yang berdialog dengan si Benua Biru untuk memiliki kesepakatan tersebut, hingga saat ini hanya Indonesia yang telah secara penuh menerapkannya dan pantas menikmati kemudahan berjualan kayu ke sana.

Indonesia Raja Kayu di Benua Biru?

Logo lisensi produk kayu Indonesia untuk tujuan ekspor di bawah kerja sama FLEGT-VPA (Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Dengan kemudahan tersebut, saya sempat berpikir bahwa seharusnya kayu Indonesia merajai pasar Eropa dan tidak alasan untuk tidak demikian. Indonesia memiliki kekayaan kayu yang berlimpah, punya ragam jenis kayu berkualitas yang sedikit atau bahkan tidak ditemukan di negara lain, kerajinan kayu kita bermutu tinggi hasil kreativitas para artisan yang mumpuni, serta ditambah lagi dengan fasilitas kemudahan berdagang yang tidak dimiliki pesaing lain untuk masuk ke pasar UE.
Namun nyatanya untuk menjadi kaya dari kayu tidak berhenti disana. Masih banyak kerja yang harus dilakukan dari sekedar duga. Karena faktanya, kayu dan berbagai produk turunannya dari Indonesia hanya berkontribusi sebesar 2,5% dari market share kayu impor di Eropa di tahun 2021. Selanjutnya, meskipun terdapat tren positif peningkatan ekspor kayu Indonesia sebesar 5% ke Benua Biru dari sejak pengiriman pertama di bawah kerangka kerja sama FLEGT-VPA, persentasenya masih sangat rendah. Beberapa negara yang tidak memiliki kesepakatan tersebut justru mengalami peningkatan ekspor yang signifikan di periode yang sama, seperti misalnya Belarus, India dan Maroko yang rata-rata menikmati 19% kenaikan.
ADVERTISEMENT
Mengapa terjadi demikian?

Janji yang Belum Dipenuhi

Pelaku industri kayu bergotong royong untuk mengangkat batang kayu yang besar (Sumber: EU FLEGT Facility)
Tentunya banyak faktor yang berpengaruh. Namun saya tertarik untuk melihat secara lebih spesifik terhadap fasilitas perdagangan yang seharusnya kita nikmati di pasar Eropa. Karena iming-iming kemudahan ini pula yang meningkatkan harapan kita agar memperoleh keuntungan ekonomi yang lebih tinggi dari berdagang kayu.
Pertama, terkait kemudahan akses masuk ke pasar Eropa. Laporan yang diterbitkan UE menampilkan bahwa mayoritas kayu Indonesia yang masuk ke pasarnya telah menikmati “jalur khusus”. Hanya sekitar 1% dari total kayu ekspor kita yang masih mengalami permasalahan di perbatasan. Meski kecil jumlahnya, hal tersebut menunjukkan bahwa masih ada ikhtiar yang harus terus dilakukan walaupun kesepakatan telah ditandatangani. Kerja sama di atas kertas tidak dapat menjamin lancarnya seluruh bentuk kemitraan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Upaya yang lebih keras pasca kesepakatan malah lebih diperlukan pada fasilitas kedua yang harusnya diterima oleh Indonesia, yaitu kewajiban UE untuk mempromosikan produk kita. Berdasarkan temuan FLEGT Independent Market Monitor, pejabat pengadaan publik di mayoritas negara anggota UE justru tidak mengetahui kesepakatan ini. Lucu bukan? Bagaimana promosi produk kita di ruang publik Eropa akan dilakukan jika pihak yang seharusnya terlibat saja tidak mengetahui kemitraan yang disepakati?
Tahun 2023 akan bertepatan dengan 10 tahun usia penandatanganan FLEGT-VPA. Tapi nampaknya yang kita perlukan lebih dari sekedar perayaan 1 dekade kerja sama perdagangan kayu. Kita masih harus menunjukkan sekali lagi ketangguhan industri kayu kita. Tidak hanya Pemerintah, seluruh elemen yang terkait perlu meminta agar Eropa lebih serius dan konkret dalam melaksanakan kesepakatan. Tentunya ini dilakukan seiring kita berbenah diri untuk semakin menguatkan industri kayu di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Mudah-mudahan kita segera merasakan nikmatnya manfaat ekonomi yang optimal dari perdagangan kayu lestari ke Benua Biru. Senikmat lantunan lagu-lagu Koes Plus yang tidak tergerus waktu.