Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Dari Harapan Menjadi Keputusasaan
31 Desember 2024 7:21 WIB
·
waktu baca 1 menitTulisan dari Zahra Sya'bani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengharapkan janji-janji yang selalu mereka lantangkan – mengharapkan kemajuan di tengah keterpurukan, mengharapkan banyaknya lapangan pekerjaan, mengharapkan pendidikan yang katanya akan diutamakan, semua ternyata hanyalah angan-angan. Di balik pidato-nya yang megah dan penuh sorak sorai, rakyat tetap menjadi bayang-bayang hidup dalam dunia yang dijanjikan, namun tak pernah diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Termenung, bingung, hampir menyerah dengan segala keadaan yang selalu dipaksakan. Setiap hari berjuang melawan ketidakadilan yang terus menekan, terkadang dimiskinkan, terkadang dikayakan sesaat. Namun, ekonomi yang semakin naik membuat tercekik-cekik untuk bertahan. Rakyat terjebak di tepi jurang, yang kaya selamat dan berseru riang sedangkan yang miskin jatuh dan tenggelam, lalu yang menengah? Terombang-ambing, berharap bisa naik tetapi seringkali tergelincir.
Lihatlah, bahkan untuk sesuap nasi jika belum terlalu lapar tak akan dimakan, lauk matang yang nampak begitu lezat tak akan disentuh demi mengisi perut kosong di kemudian hari. Sedangkan di lain tempat, mereka nampak begitu lezat menikmati hidangan yang mengunggah selera dan mewah, tiga kali sehari dilayani bak sang Raja. Lihatlah, bahkan Raja dan para prajuritnya, duduk di kursi yang empuk dengan menikmati hasil kekuasaan yang mereka rebut dengan segala cara. Hidupnya bagaikan dongeng kerajaan yang makmur – tapi dengan keadilan yang hanya sebuah mitos belaka.
ADVERTISEMENT
‘Keadilan seluruh rakyat’ katanya, tapi ternyata hanya angan belaka. Bagi rakyat, itu sekarang hanyalah mimpi kosong yang tak akan pernah terwujud. Sang Raja dan para prajuritnya terlalu mabuk berpesta, merayakan kemenangan dan kemerdekaan yang diklaim milik bersama, meski jelas mereka merampasnya.
Sementara itu, rakyat terus mengais tanah, mencari harapan yang katanya ada ditanam. Mengorbankan harga diri yang dijunjung tinggi demi sesuap nasi. Menyerah, tenggelam dalam keputusasaan dan tak akan ada yang peduli.
Rakyat menderita dan hampir putus asa, tapi adakah para penguasa mendengar dan mengetahui di balik tembok emasnya? Apakah ‘Keadilan Untuk Seluruh Rakyat’ masih dapat diraih? Atau, apakah tetap menjadi dongeng anak-anak bangsa di masa depan?