Konten dari Pengguna

Media Digital Mengubah Cara Kita Berpikir?

Zahra Sya'bani
Actively writing since I like it. Sometimes when we don't hear what we speak, writing can provide space to convey the message.
24 Oktober 2024 17:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zahra Sya'bani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
by: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
by: Pixabay
ADVERTISEMENT
Jakarta - Apakah kamu pernah merasa terburu-buru dalam memilah informasi di media sosial? Apakah kamu pernah mempertanyakan perubahan pola pikir pada dirimu terjadi karena informasi yang disajikan? Jika terus menerus mengandalkan informasi yang disajikan secara cepat, apakah kita masih berpikir lebih kritis dan mendalam? Bagaimana media digital mengubah kita dalam berproses dan memahami dunia saat ini?
ADVERTISEMENT
Pada era digital yang semakin berkembang, manusia menjadi sangat bergantung pada media dan teknologi. Setiap hari, apapun pekerjaannya, apapun profesinya media dan teknologi tidak lepas dari genggaman kita. Gelombang informasi yang disajikan, dari berbagai platform, mulai dari berita, short video bahkan meme telah kita konsumsi sehari-hari. Meskipun media digital memberikan akses yang tak terbatas, apakah kita masih memiliki ruang untuk berpikir lebih mendalam? Apakah media digital membantu kita berpikir lebih baik, atau justru kita kehilangan dalam pola berpikir yang lebih kritis?
Filsafat telah memandang aktivitas berpikir yang reflektif lebih dari berabad-abad. Plato dan Descrates menekankan pentingnya 'menerung' dalam menemukan makna hidup dan kebenaran realitas. Namun, media digital yang berkembang dengan cepat, pemikiran ini sepertinya semakin memudar. Nicholas Carr, pada bukunya The Shallows melihat bagaimana penggunaan internet dan media digital merubah struktur pemikiran kita. Carr berpendapat bahwa pemikiran kita lebih mudah terdistorsi dan sulit fokus dalam waktu yang lama. Dengan pengaruh media digital, proses berpikir yang lebih mendalam yang dahulu menjadi kekuatan manusia telah beralih menjadi pengolahan informasi yang serba cepat dan dangkal.
ADVERTISEMENT
Tapi tunggu dulu, Martin Heidegger dalam pemikiran filsafat eksistensialisme menawarkan pandangan yang relevan. Martin menegaskan bahwa media bukan hanya sekedar alat, tetapi juga sebagai cara kita untuk memahami dunia. realitas instan yang disajikan media, mengarahkan manusia pada pelupaan keberadaaan dan kedalaman eksistensi kita seperti yang disebut Martin pada 'forgetfulness of being'.
Jean Baudrillard juga mengenalkan konsep simulacra dan hyperreality, yang dimana fenomena antara realitas dan representasi menjadi kabur. Media digital adalah media ilusi, dimana yang penting bukan lagi mencerminkan realitas asli, melainkan hanya citra dan representasi. Algoritma yang terjadi pada media memperkuat argumen ini, seperti konten pada media sosial yang menyajikan konten yang disesuaikan pada preferensi konsumen nya. Akibat dari hal ini, kita jadi terjebak dalam lingkaran umpan balik (feedback loop), dimana hanya pandangan yang mendukung opini pribadi yang disoroti, sehingga sulit untuk keluar dari pola pikir yang terbatas.
ADVERTISEMENT
Tapi, mari kita lihat dari pemikiran Jacsques Derrida, dalam teorinya dekonstruksi dengan mengajukan pertanyaan:"Apakah yang kita anggap 'pengetahuan' di media digital adalah serpihan data yang terfilterasi? Derrida akan menantang bahwa informasi yang kita terima akan sepenuhnya kita pahami tanpa adanya kritik terhadap sistem produksi. Hal ini akan membuka diskusi terkait media dan informasi menciptakan pemahaman yang dangkal, dengan menyesuaikan informasi yang sederhana dan mudah dikonsumsi, tetapi pada faktanya media tersebut kehilangan kompleksitasnya.
Implikasi pada semua hal ini hanya mengarah pada hilangnya nuansa kita dalam berpikir. Saat media digital bergerak dan mendorong kita dengan cepat, memindai, dan menggulir tiada henti, kita semakin kehilangan dalam mempertimbangkan dengan lebih mendalam. berbagai pertanyaan filosofis yang dulu menjadi landasan tentang berbagai kebenaran, makna hidup, dsn identitas, mulai kehilangan esensinya. Saat ini, yang menjadi penting bukan lagi mencari makna, melainkan, seberapa cepat dalam memilih dan memilah informasi.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai tantangan media, apakah ada cara untuk mengatasi ini? Apakah ada solusi? Mungkin bisa menerapkan kembali konsep-konsep lama dari filsafat tentang merenung. Seperti yang dikatakan Marcus Aurelius, merenung adalah fondasi kehidupan yang bermakna. Dengan menerapkan kembali unsur ini dalam konsumsi digital, kita dapat membantu mengembalikan keseimbangan konsumsi informasi dan reflesi yang mendalam.
Zahra Nur Syabania Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta