BPJS Naik, Rakyat Tercekik

Ira Purnamasari
Dosen D3 Keperawatan FIK UMSurabaya Magister Keperawatan UNAIR
Konten dari Pengguna
27 Agustus 2020 6:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ira Purnamasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kenaikan iuran BPJS jilid 2
Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) atas uji materi Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2020 tentang kenaikan tarif BPJS Kesehatan. Dengan putusan ini, kenaikan iuran BPJS Kesehatan per 1 Juli 2020 sebagaimana tertuang dalam Perpres 64 tahun 2020 tetap berlaku. Menurut laman resmi MA, perkara bernomor 39P/HUM/2020 tersebut diketok pada 6 Agustus 2020.
ADVERTISEMENT
Padahal sebelumnya Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019 tentang kenaikan tarif BPJS Kesehatan telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui putusan uji materi yang dimohonkan juga oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
Pada Perpres 75 tahun 2019 besaran iuran BPJS naik per 1 Januari 2020, perubahan iuran BPJS ditegaskan dalam Pasal 34 yaitu untuk Kelas I sebesar Rp 160.000,00/orang/bulan, Kelas II sebesar Rp 110.000,00/orang/bulan, Kelas III sebesar Rp 42.000,00/orang/bulan.
Yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui putusan uji materi, akan tetapi kenaikan iuran BPJS jilid II kembali muncul berdasarkan Perpres 64 tahun 2020 yang resmi diberlakukan mulai 1 Juli 2020, kenaikan kali ini berlaku untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri kelas I dan kelas II, sementara untuk kelas III tidak mengalami kenaikan iuran lantaran disubsidi oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Kenaikan iuran BPJS jilid II ini menjelaskan iuran BPJS kesehatan bagi peserta kelas I sebesar Rp 150.000,00/orang/bulan, kelas II sebesar Rp 100.000,00/orang/bulan, sementara iuran peserta kelas III sebesar Rp 42.000,00/orang/bulan dengan subsidi dari pemerintah sebesar Rp 16.500,00 dan hanya membayarkan Rp 25.500,00.
Kenaikan tersebut memang lebih rendah jika dibandingkan dengan Perpres 75 tahun 2019 yang putusannya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Kenaikan iuran BPJS kesehatan jilid II ini dinilai sangat tidak memiliki empati terhadap keadaan yang serba sulit bagi masyarakat saat ini. Putusan MA dianggap tidak memperhatikan situasi rakyat yang sedang tercekik dikarenakan pandemi COVID-19.
Kenaikan iuran akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat, sebab biaya yang dikeluarkan untuk jaminan kesehatan meningkat. Akibat iuran dinaikkan, banyak peserta berbondong-bondong menurunkan kelasnya.
ADVERTISEMENT
Tiga poin gugatan KPCDI yang ditolak MA
Pertama, yakni mengenai kualitas pelayanan BPJS Kesehatan. Pemerintah beralasan bahwa kenaikan iuran bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan badan tersebut. KPCDI pun akan meminta bukti seberapa maksimal pelayanan BPJS Kesehatan pasca berlakunya Perpres 75 tahun 2019, yang menjadi acuan untuk memberlakukan Perpres 64 tahun 2020.
Kedua, pihak KPCDI akan menguji apakah kenaikan iuran dalam Perpres terbaru ini sudah sesuai dengan tingkat perekonomian masyarakat. Hal tersebut dinilai krusial karena kenaikan iuran ditetapkan di tengah pandemi virus corona.
Ketiga, apakah ada perubahan yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan setelah putusan MA mengenai pembatalan Perpres Nomor 75 tahun 2019 dan lahirnya Perpres baru Nomor 64 tahun 2020. Jika bisa membuktikan bahwa ada perubahan, kemajuan, kenaikan ini layak, maka Perpres akan diperkuat.
ADVERTISEMENT
Permasalahan yang harus segera diselesaikan BPJS Kesehatan
Perubahan menyeluruh BPJS Kesehatan seharusnya tidak perlu menunggu momentum kenaikan iuran. Jika kenaikan iuran kembali batal karena gugatan masyarakat, pemerintah dinilai harus mematuhinya dengan tetap melakukan perbaikan.
Reformasi BPJS Kesehatan merupakan suatu keharusan. Hal tersebut karena belum idealnya pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Perbaikan manajemen semestinya dapat dilakukan setiap saat tanpa harus menunggu momentum kenaikan iuran. Terlebih, defisit BPJS Kesehatan sebagai masalah akut belum kunjung terselesaikan dan berdampak kepada terlambatnya pembayaran klaim rumah sakit. Apalagi kenaikan iuran belum tentu mampu menutupi defisit yang ada dalam jangka waktu lama.
Keluhan masyarakat akibat kenaikan iuran BPJS Kesehatan
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi COVID-19 dikeluhkan masyarakat karena dianggap semakin mempersulit keadaan mereka di tengah pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dianggap tidak peka dengan kondisi masyarakat yang terdampak pandemi. Banyak masyarakat mengalami penurunan pendapatan bahkan kehilangan pendapatan akibat adanya pandemi, sehingga tidak seharusnya pemerintah menaikkan iuran BPJS pada masa sulit seperti sekarang ini.
Kenaikan iuran BPJS akan semakin membebani masyarakat yang saat ini tengah berjuang untuk bertahan hidup dan berusaha memperbaiki kondisi perekonomiannya.
Pemerintah harusnya membenahi tata kelola dan meningkatkan fasilitas kesehatan terlebih dahulu. Jika dilihat, fasilitas kesehatan di Indonesia tidak merata, apalagi di daerah terpencil.
Jika pemerintah memaksa menaikkan iuran BPJS Kesehatan, masyarakat akan semakin kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidunya. Pemerintah seharusnya melihat dahulu kondisi ekonomi warga, sebelum tergesa-gesa menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Jika keadaan sudah membaik, kebijakan tersebut baru bisa didiskusikan kembali.
ADVERTISEMENT