Konten dari Pengguna

Inklusivitas Kesempatan Kerja Bagi Disabilitas Hanya Sebatas Rencana

Irawati Azizah
Saya adalah mahasiswa aktif s2 di salah satu perguruan tinggi di Surabaya lebih tepatnya Universita Airlangga dengan bidang study Pengembangan Sumberdaya Manusia
18 Oktober 2024 13:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irawati Azizah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pekerja disabilitas (sumber: Pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pekerja disabilitas (sumber: Pexels.com)
ADVERTISEMENT
Kondisi pengangguran di Indonesia berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) menjelaskan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja dan menggambarkan kurang termanfaatkannya pasokan tenaga kerja. TPT hasil Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) Februari 2024 sebesar 4,82 persen. Berdasarkan Siregar dkk (2021), angka pengangguran penduduk dengan disabilitas/ (people with disability/ PWD) (3,99%) lebih rendah dibandingkan dengan penduduk bukan penyandang disabilitas (people without disabilities/ PWOD) (7,26%).
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, rata-rata angka partisipasi tenaga kerja PWD lebih rendah (44,55%) dibandingkan dengan PWOD (70,01%) serta rata-rata upah yang diterima oleh PWD lebih rendah (Rp 1,3 juta) dibandingkan dengan PWOD (1,8 juta). Selain itu, PWD yang bekerja di sektor formal juga tercatat lebih rendah (30,49%) dibandingkan dengan PWOD (48,27%). Rata-rata jumlah jam kerja pun juga lebih rendah oleh kelompok PWD dibandingkan dengan PWOD. Berdasarkan kondisi tersebut menunjukkan akses bagi penyandang disabilitas dalam mendapat kesempatan kerja masih menjadi tugas yang perlu diselesaikan.
Hal tersebut disebabkan beberapa faktor seperti, stigma dan stereotip di mana banyak orang masih memiliki pandangan negatif tentang kemampuan penyandang disabilitas, yang menyebabkan mereka kurang dipertimbangkan saat direkrut. Proses rekrutmen juga jauh dari prinsip inklusif di mana beberapa proses seleksi tidak mempertimbangkan kebutuhan khusus penyandang disabilitas, seperti pengujian yang tidak disesuaikan.
ADVERTISEMENT
Pada saat para penyandang disabilitas mendapat pekerjaan sekalipun juga masih banyak ditemui hambatan dalam lingkungan kerjanya seperti keterbatasan fasilitas, beberapa tempat kerja tidak menyediakan aksesibilitas yang memadai, seperti ramp atau ruang kerja yang ramah bagi penyandang disabilitas.
Kurangnya pelatihan, tanpa pelatihan yang memadai, manajer dan rekruter mungkin tidak tahu bagaimana cara mendukung karyawan dengan disabilitas dalam pekerjaannya. Ketidakpastian hukum bagi disabilitas, di beberapa tempat, perlindungan hukum untuk penyandang disabilitas mungkin tidak cukup kuat, sehingga mereka rentan terhadap diskriminasi.
Ilustrasi penyandang disabilitas. Foto: Chansom Pantip/Shutterstock
Upaya pemerintah yang belum mendapatkan hasil
Beberapa upaya pemerintah dilakukan untuk memberikan akses bagi disabilitas dalam kesempatan kerja, meskipun dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang ditargetkan. Seperti pada penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi: (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja (2) Perusahaan swasta wajib memperkerjakan paling sedikit 1% (satu persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
ADVERTISEMENT
Fakta pelaksanaan kebijakan tersebut masih menemui hambatan, menurut penelitian Dian Feradiah yang membahas Penguatan Peran Pemerintahan Melalui Collaborative Governance Dalam Menyediakan Lapangan Kerja Inklusi Di Kabupaten Pasuruan dijelaskan kebijakan pemerintah terkait kuota yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas terhalang oleh sumberdaya manusia para disabilitas yang tidak mumpuni, selain itu antusias mereka sangat sedikit yang dilatarbelakangi ketidakpercayaan diri terhadap stereotip penyandang disabilitas.
Permasalahan lain yang menjadi perhatian yakni sampai dengan saat ini belum ada data terintegrasi dari instansi pemerintah yang berwenang untuk menentukan basis data dan sebaran disabilitas dalam dunia kerja. Pemerintah dan swasta belum melibatkan pekerja disabilitas dalam perencanaan rekrutmen. Akibatnya, penempatan kerja seringkali tidak sesuai dengan jenis dan tingkat disabilitas pekerja, serta tidak mengakomodasi kebutuhan khusus mereka.
ADVERTISEMENT
Prinsip “Nothing about us without us” perlu diterapkan, penyandang disabilitas harus dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut mereka, termasuk dalam perencanaan rekrutmen dan penempatan kerja. Penyandang disabilitas menjadi subjek yang partisipatif dan bukan objek yang seakan menjadi pelengkap.
Selain itu tidak ada peraturan yang menjelaskan pemberian sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi kuota pekerja disabilitas, hal ini menjadi cela bagi perusahaan untuk menomorduakan disabilitas dalam proses rekrutmen. Maka penguatan implementasi kebijakan afirmatif menjadi hal yang penting dan perlu. Selain itu, pendekatan lain juga bisa dipertimbangkan, di antaranya adanya insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan dan memberikan akomodasi yang layak bagi pekerja disabilitas. Pemerintah dan stakeholder lainnya perlu meningkatkan aksesibilitas dan akomodasi di tempat kerja bagi penyandang disabilitas, seperti penyediaan fasilitas ramah disabilitas, teknologi pendukung, dan pelatihan khusus.
ADVERTISEMENT
Model perekrutan konvensional sering kali secara tidak sengaja menciptakan hambatan bagi penyandang disabilitas, yang menyebabkan kurangnya representasi mereka. Hal ini tidak hanya membatasi akses mereka terhadap peluang, tetapi juga menghambat perusahaan dalam memperoleh wawasan dan kemampuan yang beragam cari calon pekerja.
Maka perlu memberikan kemudahan-kemudahan yang disesuaikan dengan kondisi mereka seperti memberi deskripsi dan iklan pekerjaan yang mudah dipahami serta memberi juru bahasa isyarat untuk calon pelamar yang memiliki gangguan pendengaran. Proses lamaran dan wawancara yang fleksibel dengan memperpanjang durasi wawancara bagi mereka yang membutuhkan waktu pemrosesan lebih lama.