Konten dari Pengguna

Waspadai Bahaya Politik Uang: Induk dari Korupsi

Iren Gowasa
Mahasiswa Universitas Katolik Santo Thomas
25 Januari 2025 18:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iren Gowasa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi tindakan penolakan korupsi (sumber : https://pixabay.com/id/)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi tindakan penolakan korupsi (sumber : https://pixabay.com/id/)
ADVERTISEMENT
Menjelang pemilu, janji manis dari calon kepala daerah dan anggota legislatif sering terdengar di berbagai kesempatan. Namun, di balik janji-janji tersebut, ada segelintir pihak yang menggunakan cara tidak etis, yaitu politik uang. Praktik ini tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi juga menjadi pintu masuk utama berbagai jenis korupsi lainnya.
ADVERTISEMENT
Politik Uang: Jalan Menuju Korupsi
Politik uang menciptakan pemimpin yang hanya peduli pada kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka merasa berkewajiban "mengembalikan modal" kampanye dengan cara-cara yang melanggar hukum. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan jabatan untuk mencari keuntungan pribadi, seperti menerima suap, gratifikasi, atau melakukan penyalahgunaan anggaran. Tidak heran jika politik uang sering disebut sebagai mother of corruption, karena menjadi akar dari berbagai praktik korupsi.
Menurut Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, politik uang juga mendorong biaya politik yang tinggi. Selain untuk membeli suara (vote buying), para kandidat harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal yang tidak sedikit. Untuk menutup pengeluaran tersebut, tidak jarang mereka menggunakan dana dari pihak-pihak yang berharap imbalan ketika kandidat tersebut terpilih. Praktik ini dikenal sebagai investive corruption, yaitu investasi awal untuk memanen keuntungan lebih besar setelah menjabat.
ADVERTISEMENT
Fenomena Serangan Fajar
Salah satu bentuk vote buying yang paling populer adalah "serangan fajar." Istilah ini merujuk pada pemberian uang atau barang kepada pemilih sesaat sebelum hari pencoblosan, bahkan kadang dilakukan pada pagi hari sebelum TPS dibuka. Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2019 mengungkapkan bahwa 40% masyarakat mengaku menerima uang dari peserta pemilu namun tidak merasa terikat untuk memilih mereka. Sementara itu, 37% lainnya mempertimbangkan untuk memilih pemberi uang tersebut.
Lebih dari itu, fenomena ini telah menjadi "tradisi buruk" dalam demokrasi Indonesia. Banyak politisi menganggap praktik ini sebagai strategi bertahan menghadapi pesaing. Akibatnya, terjadi semacam prisoner's dilemma, di mana para kandidat saling khawatir bahwa lawannya akan menggunakan serangan fajar sehingga mereka pun memilih melakukan hal yang sama.
ADVERTISEMENT
Pendidikan Antikorupsi sebagai Solusi
Wuryono Prakoso, Kepala Satgas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, menegaskan bahwa rantai politik uang harus diputus untuk mencegah korupsi. Ia menyebutkan bahwa sekitar 66-70% praktik korupsi di Indonesia dapat dicegah jika korupsi politik berhasil diberantas. Pendidikan antikorupsi menjadi kunci utama untuk mencapainya.
Melalui strategi Trisula KPK—pendidikan, pencegahan, dan penindakan—diharapkan masyarakat dapat lebih cerdas dalam memilih pemimpin. Masyarakat perlu memahami bahwa politik uang berdampak langsung pada kehidupan mereka. Infrastruktur yang buruk, layanan kesehatan yang minim, hingga rendahnya kualitas pendidikan adalah konsekuensi dari pemimpin yang tidak berintegritas.
Seruan untuk Masyarakat
Masyarakat memiliki peran penting dalam mewujudkan pemilu yang bersih. Menjual suara hanya demi uang jangka pendek berarti menggadaikan masa depan bangsa. Amir Arief mengingatkan, "Pilihlah pemimpin yang berintegritas. Jangan terbuai dengan amplop atau bingkisan. Ingatlah, suara Anda adalah penentu arah masa depan negara."
ADVERTISEMENT
Penutup
Politik uang adalah ancaman nyata bagi demokrasi Indonesia. Untuk mengatasinya, masyarakat harus bersatu dan mengambil sikap tegas dalam menolak segala bentuk praktik ini. Dengan memilih pemimpin yang berkualitas dan berintegritas, kita dapat membangun bangsa yang bebas dari korupsi dan lebih sejahtera.