Lahirnya Bursa Karbon Indonesia: Akselerasi atau Basa-Basi Lingkungan?

Irena Harjantoputri
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
20 Maret 2024 10:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irena Harjantoputri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh Irena Harjantoputri dan Stefanie Gloria
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Emisi karbon yang diserap oleh hutan. Sumber: Shutterstock
Objek Baru Perdagangan
ADVERTISEMENT
“Indonesia panas, tapi bukan hanya karena politik.” Kutipan dagelan tersebut tampaknya cocok disandingkan dengan kondisi kita saat ini, yang bukan hanya sedang kepanasan perihal pemilu, tetapi juga perihal suhu lingkungan! Nyatanya, World Economic Forum Global Risk Report pada tahun 2022 menyatakan perubahan iklim sebagai ancaman jangka panjang paling berisiko dalam 10 tahun ke depan. Menanggapi fenomena ini, masyarakat global dituntut untuk bertransformasi menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian sumber daya sebagaimana diusung oleh paradigma Ekonomi Hijau. Hal ini sejalan dengan mandat Paris Agreement dan COP 26 untuk secara ambisius mencapai emisi nol pada 2050. Untuk mencapai komitmen tersebut, Indonesia sendiri memiliki target penurunan emisi mandiri hingga 32% per 2030. Target ini telah diusahakan melalui beragam langkah, seperti proyek-proyek berbasis alam (Nature Based Solutions). Apabila kita merujuk lebih jauh, Pasal 17 Kyoto Protocol dan Pasal 6 Paris Agreement menyatakan bahwasannya salah satu pendekatan penting dalam melakukan langkah mitigasi perubahan iklim yang turut perlu dilakukan adalah melalui mekanisme berbasis pasar, yakni perdagangan emisi. Adapun sebagaimana diketahui, karbon merupakan salah satu emisi gas rumah kaca terbesar dalam faktor lingkungan. Oleh karenanya, menjadi menarik untuk melihat diskursus mengenai potensi karbon sebagai objek perdagangan bagi penanganan perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Perdagangan Emisi
Pada dasarnya, perdagangan emisi hadir karena adanya ketetapan ambang batas produksi emisi. Pihak yang mampu menghasilkan emisi di bawah ketetapan ambang batas dapat menjual “sisa kuota emisi” kepada pihak yang masih melakukan produksi emisi melebihi kuota emisi. Inilah yang disebut sebagai kuota emisi dan diperjualbelikan dalam bentuk sertifikat dalam pasar karbon. Terdapat dua jenis pasar karbon, yakni pasar karbon sukarela dan pasar karbon wajib. Perbedaan signifikan antara kedua pasar tersebut adalah bahwa pasar karbon sukarela membuka perdagangan karbon tanpa adanya pengawasan ataupun batasan emisi dari pemerintah. Adapun pada pasar karbon sukarela, kredit karbon dijual pada entitas yang ingin meniadakan emisi karbonnya melalui proses verifikasi dari lembaga terstandarisasi independen. Hal ini berbeda dengan skema pasar karbon wajib yang diawasi dan ditetapkan ambang batas emisi oleh pemerintah. Pada pasar karbon wajib, kuota karbon dijual kepada entitas yang menghasilkan emisi lebih besar dibanding ambang batas pemerintah. Hal ini diwujudkan melalui instrumen berbentuk sertifikat CER. Adapun kedua skema pasar karbon ini telah dilangsungkan oleh banyak negara, seperti Australia dan Amerika.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu upaya dalam mematuhi kesepakatan net-zero emission pada Paris Agreement, dibentuk Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon yang mengatur mengenai perdagangan unit karbon melalui mekanisme berbasis pasar. Pasar karbon yang sudah berjalan di bawah naungan regulasi-regulasi tersebut adalah pasar karbon sukarela yang dilakukan oleh entitas-entitas yang ingin berkontribusi pada lingkungan. Peraturan tersebut juga dilengkapi dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon sehingga semakin mendorong pelaksanaan pasar karbon sukarela di Indonesia.
Pasar Karbon Wajib
Setelah melakukan pasar karbon sukarela, Indonesia beritikad untuk turut menghadirkan instrumen pasar karbon wajib dengan skema cap and trade. Pada tahap pertama, sektor pembangkit listrik dijadikan sektor prioritas dengan melibatkan partisipasi 99 PLTU di Indonesia sebagaimana amanat UU No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Dalam pergerakannya, kerangka hukum yang lebih komprehensif turut dibentuk melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 14 Tahun 2023 dan Surat Edaran OJK No 12/SEOJK.04/2023. Regulasi inilah yang kemudian menjadi tonggak kelahiran perdagangan karbon melalui bursa karbon di Indonesia. Adapun, perdagangan karbon di Indonesia dinilai memiliki potensi yang sangat besar, terkhususnya dari segi penyedia karbon karena luasnya area hutan hujan tropis di Indonesia mampu meningkatkan jumlah hak emisi. Dengan skenario harga jual kredit karbon senilai US$ 5 per ton di pasar karbon, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan potensi pendapatan Indonesia dari pasar karbon akan mencapai Rp8.000,- triliun. Selain memotivasi perusahaan untuk mengurangi emisi karbon, hasil perdagangan karbon akan di-reinvestasikan pada upaya pelestarian lingkungan yang sejalan dengan prinsip “The Polluter Pays” yang menyatakan pertanggungjawaban perbaikan lingkungan ada pada pundak pihak yang berkontribusi pada kerusakannya.
ADVERTISEMENT
Ruang untuk Penyempurnaan
Walaupun demikian, kebaruan yang dihadirkan oleh Indonesia melalui bursa karbon menghadirkan beragam tantangan yang perlu diantisipasi. Salah satu persoalan mendasar adalah belum adanya mekanisme dan metodologi jelas dalam melakukan penghitungan dan penetapan harga acuan. Nyatanya, terdapat metodologi perhitungan dan verifikasi kredit karbon yang sangat variatif sehingga perlu ditetapkan secara terarah. Sebagai contoh, IMF mengusulkan harga patokan emisi sebesar US$ 75 per ton sedangkan Wood MacKenzie Energy menyarankan harga karbon ideal adalah US$ 160 per ton. Oleh karenanya, menjadi penting untuk menghadirkan lembaga terstandarisasi yang independen untuk menjalankan peran krusial tersebut. Hadirnya lembaga independen sejatinya sejalan dengan amanat Pasal 1 angka 36 dan 37 Permen LHK No 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon yang hingga saat ini belum terejawantahkan sehingga masih sementara dilakukan oleh SRN PPI (Pasal 40 angka 5 Permen a quo). Hasil perhitungan oleh lembaga independen inilah yang nantinya dilaporkan pada sistem Monitoring, Report, and Verification (MRV) negara sebagaimana turut didukung Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Lembaga ini kian menjadi fundamental di tengah kelemahan Carbon Emission Disclosure Indonesia yang masih bersifat sukarela dan ketiadaan badan Designated Operational Entity yang efektif.
ADVERTISEMENT
Selain solusi pembentukan lembaga independen terstandarisasi, mekanisme lain yang dapat dilakukan guna mengoptimalisasi pasar karbon adalah penerapan pajak karbon. Menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (selanjutnya disebut UU HPP), tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon. Saat ini, UU HPP menetapkan tarif pajak karbon seharga Rp30,00 per kilogram CO2e. Peningkatan tarif dapat turut menjadi poin konsiderasi mengingat semakin tingginya tarif pajak karbon, para pihak akan semakin enggan membayar dan beralih pada jual-beli dalam pasar karbon sebagaimana pandangan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono. Pendapatan yang dihasilkan dari pajak karbon ini nantinya akan disalurkan negara untuk pengendalian perubahan iklim sehingga kenaikan tarif tidak akan berdampak kontraproduktif.
ADVERTISEMENT
Perdagangan karbon sejatinya merupakan alternatif mekanisme yang potensial bagi penanganan perubahan iklim karena mendorong para entitas untuk mengubah pola produksi dan pengelolaan emisi. Akan tetapi, beragam pengembangan masih diperlukan untuk mengoptimalisasi perdagangan karbon, antara lain melalui pembentukan lembaga terstandarisasi independen dan pengembangan pajak karbon sebagai instrumen pendorong. Hal ini menjadi penting untuk menghadirkan skema perdagangan karbon yang tepat sasaran guna mewujudkan perubahan iklim yang lebih baik.