Konten dari Pengguna

Mendorong Failure Culture: Regulatory Sandbox Indonesia vs Dunia

Mochamad Irfan Dary
Senior Product Manager // Master's student at Master of Arts in Digital Transformation and Competitiveness, Gadjah Mada University
30 Oktober 2024 13:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mochamad Irfan Dary tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Bagaimana cara merayakan kegagalan bisa jadi nilai tambah untuk daya saing? Apakah regulasi menghambat inovasi?

Ilustrasi sandbox sebagai wahana uji coba. Sumber: Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sandbox sebagai wahana uji coba. Sumber: Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Failure culture dan ekosistem inovasi
ADVERTISEMENT
Inovasi, sebagai jantung dari kemajuan, seringkali dikaitkan dengan keberhasilan. Namun, paradoksnya, inovasi sejati justru bertumbuh subur dalam lingkungan yang merayakan kegagalan. Budaya kegagalan, atau failure culture, menciptakan ekosistem di mana ide-ide baru dapat berkembang bebas, tanpa bayang-bayang ketakutan akan kegagalan. Perusahaan atau organisasi perlu terbiasa mengolah
kegagalan menjadi pembelajaran. Karena inovasi adalah ruang penuh ketidakpastian. Terlebih dalam dunia yang semakin cepat berubah, pendekatan yang menerima kegagalan sebagai bagian dari proses menjadi semakin penting. Tak ada jaminan mutlak sebuah inovasi itu akan mudah diterima dengan kebaruan yang dibawa, artinya kegagalan adalah bagian dari inovasi tersebut. Alih-alih melihat kegagalan sebagai akhir, konsep ini mengajak kita melihatnya sebagai titik belajar, dimana matriks untuk mengukur seberapa jauh kegagalan dari keberhasilan itu diperlukan.
ADVERTISEMENT
Banyak perusahaan yang menerapkan failure culture ini secara sistematis dan berhasil membuat produk baru yang relevan bagi masyarakat. Google misalnya, GMail dan Google Maps yang hampir kita gunakan setiap hari adalah produk yang dihasilkan dari aturan “20% project”. Dilansir dari CNBC, aturan ini memungkinkan para karyawan untuk mengerjakan hal yang disukainya hingga 20% dari waktu kerjanya. Sehingga secara sistem hanya 80% dari waktu kerja karyawan yang boleh dialokasikan untuk pekerjaan sehari-hari dan pimpinan tidak boleh mendorong lebih dari itu.
Contoh lain adalah Netflix. Menurut insights director Netflix, Patrick Collins dalam sebuah interview di Marketing Week mengatakan, bahwa Netflix sengaja menciptakan “honorable failure” untuk mendorong inovasi dalam tim risetnya. Baginya, inovasi hanya mungkin terjadi ketika orang diberikan ruang untuk gagal. Hingga pada akhirnya Netflix menjadi platform streaming terbesar di dunia dengan ragam fungsionalitas secara produk dan juga model bisnis yang cukup berhasil.
ADVERTISEMENT
Regulatory sandbox untuk keberlanjutan inovasi
Ruang bebas kesalahan bisa disimulasikan di internal perusahaan, tapi bagaimana sebuah ide yang telah divalidasi bisa diterapkan dan dilepas ke publik tanpa melanggar aturan yang sudah ada. Seringkali sebuah produk khususnya yang berkaitan dengan industri yang diregulasi secara ketat seperti perbankan menemui kendala eksternal yaitu dari sisi aturan. Hal ini yang membuat sebagus apapun atau secanggih apapun inovasi yang dibuat, tidak akan bisa bertahan lama karena melanggar aturan dari pemerintah selaku regulator. Untuk itu ketika produk digital sudah secara resmi diluncurkan, bukan lagi ada di pikiran atau catatan karyawan, perlu ada sebuah ruang failure culture dengan level yang berbeda. Ruang dimana perusahaan bisa untuk menguji produk, layanan, atau model bisnis inovatif mereka dalam koridor aturan yang berlaku di negara tersebut. Terkadang aturan yang diberlakukan oleh pemerintah memiliki celah-celah yang bisa diisi oleh inovasi sehingga dapat mengatasi hambatan berinovasi.
ADVERTISEMENT
Untuk itulah di beberapa negara dibuat sebuah ekosistem bernama regulatory sandbox. Umumnya regulatory sandbox ini dikhususkan pada industri yang diregulasi secara ketat seperti perbankan dan kesehatan. Sebagai ruang uji coba, sandbox mendukung perusahaan untuk mengembangkan produk baru yang mungkin sulit dikembangkan jika harus mematuhi regulasi ketat sejak awal. Ekosistem ini juga membantu perusahaan kecil atau startup untuk memvalidasi dan menyempurnakan produknya tanpa harus memikirkan biaya kepatuhan yang tinggi. Selain itu hasil uji coba di sandbox dapat menjadi sumber data dan wawasan berharga bagi regulator dalam mengembangkan atau memperbarui peraturan agar lebih relevan dengan kemajuan teknologi. Di dalam sandbox, peserta diperbolehkan menguji layanan keuangan, teknologi, atau model bisnis baru dengan konsumen langsung, dengan beberapa aturan yang berkenaan dengan perlindungan dan pengawasan.
ADVERTISEMENT
Implementasi Regulatory Sandbox di Indonesia
Di Indonesia, skema ini telah diterapkan dan melahirkan bermacam-macam produk layanan keuangan berbasis teknologi. Di Bank Indonesia misalnya, skema ini diterapkan untuk menguji coba produk pembayaran digital seperti e-Wallet yang kita gunakan sehari-hari. Sementara di OJK, sandbox difokuskan pada layanan finansial seperti pinjaman peer-to-peer dan insurtech. Secara aturan pelaksanaan regulatory sandbox di bawah OJK dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang selama 6 (enam) bulan apabila diperlukan (Pasal 9 POJK No. 13/2018). Hadirnya sandbox di Indonesia diharapkan dapat merespon gencarnya inklusi keuangan yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan fintech yang mengusung penyediaan jasa keuangan dengan biaya yang lebih rendah.
Tak hanya di sektor keuangan, sejak 2021 Kementerian Kesehatan telah menghasilkan sebuah produk dari sistem ini. Regulatory Sandbox di bidang kesehatan pertama kali diadakan untuk e-Malaria, hasil kerja sama antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dan Universitas Gadjah Mada. Di sektor kesehatan, sandbox dihadirkan untuk menjaga standar kualitas dan mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan melalui inovasi digital kesehatan. Hal ini diperlukan mengingat industri layanan medis berbasis teknologi juga berkembang pesat di Indonesia terutama sejak pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Penerapan regulatory sandbox di negara lain
Animo global terhadap regulatory sandbox khususnya fintech juga sangat besar. Sebagai sarana merespon masifnya perkembangan teknologi, dilansir dari World Bank, saat ini lebih dari 73 negara telah mengadopsinya. Sebagian besar sandbox ini, sekitar 70%, diterapkan di pasar dan negara berkembang terutama di Asia Timur dan Pasifik.
Di Inggris, Financial Conduct Authority (FCA) telah menerapkan skema ini sejak tahun 2016. FCA membuat sistem ini karena London menjadi salah satu pusat fintech global dengan banyaknya layanan keuangan digital saat itu. Jenis layanan keuangan yang diujikan sangat beragam mulai dari pembayaran digital, blockchain, cryptocurrency, hingga produk-produk asuransi. Model sandbox di Inggris sangat sukses dan menjadi contoh di banyak negara lain. Program ini memungkinkan fintech berkembang pesat dan regulator dapat lebih memahami kebutuhan pasar. Salah satu produk layanan perbankan Inggris yang paling sukses dari skema ini adalah Revolut. Revolut rutin memanfaatkan regulatory sandbox untuk menguji produk dan fitur baru, seperti mata uang kripto dan layanan pengiriman uang internasional.
Ilustrasi layanan Revolut
Sementara Singapura mengadopsi regulatory sandbox melalui Monetary Authority of Singapore (MAS) pada tahun 2016 untuk mendukung Singapura sebagai pusat fintech di Asia Tenggara. Sandbox ini bersifat terbuka, di mana perusahaan dari berbagai sektor (bukan hanya fintech) dapat mengajukan permohonan. Ada dua jenis sandbox yang disediakan: Sandbox dan Sandbox Express (untuk pengujian yang bersifat sederhana dan cepat). Di Singapura, sandbox ini umumnya dimanfaatkan untuk produk robo-advisor, layanan pembayaran lintas batas, hingga penggunaan AI dalam asuransi.
ADVERTISEMENT