news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pemerintah Saat Pandemi Tidak Bisa Mendengar Rakyatnya

Irfan Suparman
Sarjana Hukum
Konten dari Pengguna
12 Agustus 2021 20:46 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irfan Suparman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto pendemo tolak omnibus law disaat pandemi. Foto diambil melalui kamera saya dan merupakan dokumen pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Foto pendemo tolak omnibus law disaat pandemi. Foto diambil melalui kamera saya dan merupakan dokumen pribadi.
ADVERTISEMENT
Pemerintah sedang membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan masyarakat meminta pemerintah untuk menunda pembahasan bahkan menolak. Yang paling menarik perhatian adalah “Atasi Pandemi, Tolak OMNIBUS LAW”. Propaganda tersebut merupakan bentuk protes terhadap negara yang lebih mementingkan urusan pemilik modal. Propaganda sudah disebarluaskan, akan tetapi hasilnya RUU Cipta Kerja telah sah menjadi undang-undang. Inilah bahaya laten ketergantungan dengan negara saat pandemi. Untuk saat ini sebagai rakyat biasa, bergantung pada negara adalah bunuh diri paling terang-terangan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mensahkan RUU Cipta Kerja. Lembaga legislasi yang seharusnya mendengerkan suara rakyatnya malah mensahkan RUU tersebut menjadi undang-undang. Masalahnya sudah didemo bahkan saat pandemi, sudah disindir di media sosial tapi tetap tidak didengar. Suara mereka sirna seketika. Sekarang masih perlukah kita ini bergantung pada negara ?
Dalam teori negara apa pun, entah itu liberal, komunis atau sosialis, negara idealnya menjamin hak rakyatnya. Dalam kondisi yang serba krisis seperti ini, yang masyarakat butuhkan tetap sandang, pangan, papan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM. Upaya tersebut untuk menurunkan angka positif COVID-19. Masyarakat tetap protes karena PPKM banyak pekerjaan hilang atau usaha mereka terpaksa bangkrut.
ADVERTISEMENT
Masyarakat tidak perlu lagi protes karena kemungkinan didengarnya kecil. Ibu dan Bapak yang melaksanakan pemerintahan ini lebih senang mendengar kabar baik dari kapitalis. Memang pada dasarnya keluh kesah masyarakat didengar saat menjelang pemilihan umum. Belum lagi saat pandemi begini, muncul baliho untuk pemilu tahun 2024. Pemerintah sebenernya sadar enggak ya, kalau banyak masyarakat mengeluhkan soal ini.
Berbagai macam korupsi bantuan sosial terdengar sampai lapisan masyarakat paling bawah. Sudah kacau, ada yang mengatakan negara ini sakit. Tapi maaf, sepertinya bukan negaranya tapi orang yang menjalankan negara ini termasuk kita. Bagai teori psikologi Cassandra Paradox, sudah tidak akan didengar tapi masih terus bersuara. Maklum, namanya juga usaha butuh makan dari negara. Hidupkan sudah dijamin, bahkan masyarakat miskin dipelihara oleh negara.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya masyarakat bangkit dan tidak menggantungkan hidupnya pada negara. Menganggap negara sebagai penjamin hak asasi manusia sudah usang. Saat ini saatnya mengakui dan sadar bahwa sepenuhnya kita sendiri ialah penjamin hak asasi itu sendiri. Negara hanyalah wadah yang kebetulan kita yakini sebagai penjamin hak asasi manusia, parahnya kita ketergantungan. Faktanya negara ini dikuasai oleh orang yang mendahulukan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan masayarakat.
Yang kita butuhkan sebagai masyarakat tetaplah sandang, pangan, papan. Menjadi masyarakat yang ketergantungan dengan negara memang tidak menyenangkan. Kita harus nunggu negara memberi bantuan dahulu, baru kita merasa terpenuhi haknya. Padahal sebagai manusia kita adalah makhluk sosial, dituntut untuk mampu beradaptasi. Itulah proses seleksi alam oleh sebab itu masyarakat harus peka satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Kepekaan inilah yang harus kita tingkatkan dalam situasi sekarang ini. Sebab Negara ini memang menjamin, tapi menjamin perlindungan industri untuk memproduksi kebutuhan instan. Mulai dari makanan cepat saji sampai pakaian cepat saji. Itulah ciri negara modern, yang semuanya ter-industrialisasi. Faktanya, kita juga ketergantungan dengan industri. Kebutuhan kita diproduksi oleh mesin pembuat makanan dan pakaian. Inilah kita sebagai masyarakat modern di negara modern yang cinta akan produk instan.
Modernisme menjauhkan kita sebagai manusia dengan alam, akan tetapi modernisme mendekatkan kita dengan teknologi. Sementara itu industrialisasi terus merusak alam dengan tujuan modernisasi dan kemajuan. Di saat pandemi begini, kita telah diingatkan untuk kembali ke alam. Sebagai manusia, sudah harus menghilangkan sifat egosentris dan mulai menganggap makhluk lainnya bagian dari sosial. Sebab manusia bukanlah makhluk satu-satunya yang memiliki kesadaran.
ADVERTISEMENT
Sudah waktunya untuk kembali lagi mendekat pada alam. Menjamin mereka untuk tetap ada dan berlipat ganda. Menganggap mereka ada dan sama seperti manusia, memiliki moral dan etika. Pandemi itu menjebak kita untuk masuk ke alam bawah sadar dan bertanya. Apa sih yang kita butuhkan? kenapa kita harus terus bergantung sama negara dan kapitalisme.
Kita harus percaya bahwa kita dan alam ini saling terhubung. Sementara negara, modernisme, dan kapitalisme adalah sesuatu yang kita ciptakan dan sepakati. Menggantungkan hidup pada manusia saja salah apalagi buatan manusia yaitu negara, modernisme dan kapitalisme. Mereka semua adalah hasil olah pikir manusia.
Membangun kesadaran bersama merupakan kunci untuk selamat dari ketergantungan tersebut. Kalau hanya satu orang saja tidak akan berhasil akan tetapi satu orang juga berpengaruh. Perubahan besar juga diawali dengan perubahan kecil, seperti proses evolusi.
ADVERTISEMENT
Setelah demo berjilid RUU Cipta Kerja yang gagal itu, tugas kita belum berhasil. Terima kasih Tuhan telah mengingatkan kita, bahwa legislasi tidak setia mendengar. Tuhan tetap membuktikan bahwa dialah satu-satunya Maha Pendengar, Pengasih lagi Maha Penyayang. Untuk apalagi kita menggantungkan hidup kita pada negara dan modernisme. Kita bisa hidup dengan saling menjaga alam karena kita memang saling membutuhkan. Sudah cukup sampai di sini, modernisme menjauhkan kita dengan alam.
Pandemi bukanlah akhir dari hidup ini, akan tetapi alam semesta ini pasti berakhir. Entah, waktunya kapan tapi yang mengetahui hanya Tuhan dan Evolusi. Berjarak dengan alam bukanlah ide yang buruk dalam pandemi seperti ini. Yang harus dilakukan ialah tetap jaga jarak dengan manusia. Seperti kata pepatah Yunani, bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain. Untuk itu marilah kita dekatkan diri ke alam sebelum alam semesta beserta seisi-isinya lenyap sirna.
ADVERTISEMENT