Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Belajar 'Gila' ala Pariwisata Jepang
2 Januari 2025 15:52 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Irfan Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jepang menutup tahun 2024 dengan torehan pariwisata gemilang. Lebih dari 35 juta wisatawan mancanegara (wisman) berkunjung, mengalahkan angka 33 juta saat sebelum pandemi COVID-19! Gilè!
ADVERTISEMENT
Yes. Pariwisata Jepang sudah REBOUND! Di dunia pariwisata, ada 6 faktor utama dalam mendatangkan wisman:
Melihat dari ke-enam faktor di atas, Jepang sudah khatam semua. Jepang menarik wisman karena kombinasi unik budaya tradisional, keindahan alam, inovasi teknologi, dan pengalaman unik. Destinasi yang begitu beragam, membuat wisman ‘bingung’ mau memilih yang mana.
Budaya tradisional yang unik dengan ribuan kuil dan tempat suci, festival tradisional, budaya berendam onsen, lalu keindahan alam termasuk melihat bunga sakura dan Gunung Fuji, semua memberikan pengalaman otentik.
Belum lagi destinasi modern menawarkan pusat perbelanjaan macam Ginza yang bikin wisman betah spending banyak atau hanya sekadar jalan-jalan. Plus, budaya pop culture macam anime dan manga yang masih sangat disukai milenial dan gen Z!
Di atas itu semua, salah satu penopang utama pariwisata di Jepang adalah kulinernya. Sushi, sashimi, ramen, dan tempura sudah begitu mendunia. Belum lagi street food macam takoyaki, okonomiyaki, mochi, hingga sake.
ADVERTISEMENT
Semua dilengkapi amenitas (akomodasi) dan konektivitas yang super lengkap dan beragam. Selain ribuan hotel kelas melati hingga bintang 5, banyak wisman yang rela menghabiskan waktunya di kampung bahkan rumah penduduk, demi merasakan budaya lokal Jepang.
Kurang apa lagi? Opsi melimpah, konektivitas mudah, masyarakat ramah, kebersihan bikin betah, keamanan tak terbantah. Tak heran, kini Jepang menjadi pilihan destinasi utama wisman asal Indonesia untuk berlibur--walaupun di Jepang wisman terbanyak berasal dari China, Korsel, Taiwan, dan Hongkong.
Memang Jepang cukup diuntungkan secara geografis karena dari negara-negara tersebut hanya butuh waktu penerbangan di bawah 5 jam. Artinya, maskapai cukup menggunakan pesawat berbadan kecil saja untuk dapat mengangkut para wisman dari negara-negara tersebut.
Semua hal di atas, tentu saja tidak terjadi dalam sekejap. Hadirnya pemerintah dalam mendukung ekosistem pariwisata memang benar-benar dirasakan. Dari mulai promosi yang luar biasa, hingga Kemudahan visa untuk beberapa negara dan bebas visa bagi wisman Asia Tenggara. Semua itu melengkapi value mendasar di masyarakat Jepang: budaya omotenashi alias budaya pelayanan yang ramah dan penuh perhatian.
ADVERTISEMENT
Semua di atas itulah yang disebut sebagai competitive advantage atau keunggulan kompetitif dibanding negara kompetitornya dalam berkompetisi memperebutkan wisman.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari rebound-nya pariwisata Jepang?. Apalagi Indonesia masih belum sampai di angka 70% rebound-nya sejak sebelum pandemi COVID-19.
Secara destinasi dan atraksi, Indonesia jelas tidak kalah banyak dari Jepang. Bedanya, di Jepang itu monokultur sementara Indonesia multikultur.
Artinya, kalau di Jepang pemerintahnya cukup fokus kepada satu ‘genre’ kultur, di Indonesia ada banyak kultur yang akan ‘rebutan’ untuk diberi perhatian khusus. Artinya lagi, itu akan butuh effort strategi marketing dan pembiayaan yang lebih pula.
Secara amenitas pun Indonesia sebenarnya tidak kalah. Hotel yang berlimpah bisa mudah diakses lewat pemesanan online. Catatan untuk perbaikannya adalah standarisasi homestay dan desa wisata yang mesti didorong pemerintah agar paling tidak kebersihan, kenyamanan, dan keamanannya bisa membuat wisman jatuh hati untuk kemudian memberikan review bagus di media sosial.
ADVERTISEMENT
Di periode Presiden Jokowi kemarin pemerintah masih fokus di pengembangan 5 Destinasi Super Prioritas (5DSP): Toba, Mandalika, Borobudur, Likupang, dan Labuhan Bajo. Pengembangan ini seperti membangun lima kawasan hotel semacam Nusa Dua baru yang paling tidak butuh waktu 20-30 tahun untuk bisa berkembang.
Belajar dari pariwisata Jepang, ada baiknya pemerintah Indonesia fokus kepada destinasi ‘lowest hangin fruits’ atau yang siap petik. Fokus kepada destinasi yang secara ekosistem sudah siap untuk dikunjungi turis, baik atraksinya, konektivitasnya, akomodasinya, hingga masyarakatnya.
Jawa Barat, Joglo Semar (Jawa Tengah), BTS (Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur), dan Bali/NTB bisa menjadi pilihan fokus pemerintah di tengah keterbatasan anggaran promosi dan beautifikasi infrastruktur dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Hal terakhir, pilih target wisman yang berpotensi besar datang ke Indonesia. Kalau Jepang fokus kepada wisman China, Korsel, Taiwan dan Hongkong, mungkin kita bisa bisa fokus juga untuk mendatangkan ‘wisman sungguhan’ yang banyak banyak datang ke Indonesia: Malaysia, Singapura, Australia, dan sang ‘pendatang baru’ wisman asal India. Apalagi data penerbangan inbound ke Indonesia sudah nyaris pulih seperti sebelum COVID-19.
Mengapa saya tulis ‘wisman sungguhan’? Karena memang kita kerap terkecoh dengan data ‘pelintas batas’ asal Timor Leste dan Malaysia, yang datang ke Indonesia sekadar membeli kebutuhan pokok harian. Padahal mereka bukan termasuk kategori wisman yang ingin berwisata.
Semoga 2025 pariwisata Indonesia lebih baik lagi.