Konten dari Pengguna

MK Gagap Menyikapi Perkembangan Zaman?

Irfan Wahid
Penasihat Khusus Menko Kemaritiman dan Investasi, Bidang Kepariwisataan | KEIN, Head of Working Group on Creative Industry | Creativepreneur
7 Januari 2025 11:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irfan Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Minggu lalu MK mengeluarkan putusan yang agak ‘tidak biasa’.
Melarang peserta pemilu menggunakan foto atau gambar yang direkayasa secara berlebihan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam materi kampanye.
ADVERTISEMENT
Artinya, peserta pemilu diwajibkan untuk menggunakan foto atau gambar asli dan terbaru tanpa manipulasi berlebihan menggunakan teknologi AI dalam materi kampanye mereka.
Sebagai praktisi komunikasi yang sering terlibat dalam urusan politik dan melibatkan machine learning berbasis AI, saya tergelitik untuk berpendapat.
Ada 2 pertanyaan mendasar bagi saya:
Pertama, apakah yang dilarang itu digunakannya foto AI sebagai Foto Resmi saja yang terdapat di kertas suara?
Atau untuk semua alat peraga kampanye (APK)?
Kalau untuk foto resmi di kertas suara, saya sangat sepakat karena mengubah foto secara berlebihan bisa masuk kategori manipulasi.
Tetapi kalau dilarangnya dengan menggeneralisasi semua APK, termasuk turunan produk kreatif untuk program kampanye di billboard, brosur, pin, kaos, stiker, dan lain-lain, menurut saya MK sudah “crossed the line”.
ADVERTISEMENT
Mengapa demikian?
Karena kalau untuk non foto resmi di APK, menurut saya itu sudah masuk ke dalam ranah strategi komunikasi dan kreativitas dari masing-masing tim paslon.
Pertanyaan kedua: Apakah langkah MK itu lebay atau karena ketidaktahuan?
Banyak yang berpandangan langkah itu dianggap membatasi ruang inovasi, kreativitas, dan kebebasan berekspresi dalam kampanye dan berpotensi melanggar prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
Nah, ada baiknya kita mencoba mendalami lebih lanjut.
Apakah MK tahu apa perbedaan dari produk yang dihasilkan oleh AI atau karya yang dihasilkan oleh ilustrator maupun animator?
Mengingat hasil akhirnya bisa terlihat sangat mirip.
Baliho gemoy Prabowo-Gibran di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Foto: Ahmad Romadoni/kumparan
Maskot kartun gemoy dari pasangan Prabowo-Gibran lalu memang hasil dari AI. Tapi bukan berarti animator atau ilustrator tidak bisa membuatnya.
ADVERTISEMENT
Artinya, kalau yang MK permasalahkan adalah manipulasi visual, bukan hanya AI yang sanggup melakukannya, karena artis ilustrasi, desainer dan animator-pun sanggup melakukan apa yang AI bisa lakukan.
Ada banyak output visual hasil dari AI, mulai dari animasi 2 dimensi, animasi 3 dimensi, ilustrasi sketsa, etsa, hingga foto realisme.
Yang ke semuanya sangat bisa juga dikerjakan oleh desainer, ilustrator maupun 2D/3D animator.
Tanpa keterlibatan AI sama sekali!
Jadi pahamkan salah kaprahnya di mana?
Mestinya yang dilarang adalah hasil foto yang terlalu manipulatif, bukan digunakannya AI. Karena AI ini kan hanya alat bantu saja untuk menghasilkan karya kreatif. Seperti halnya pilihan mau gambar pakai pensil atau mau gambar pakai photoshop di komputer.
ADVERTISEMENT
Bahkan bicara soal efek negatif ke masyarakat, penyedia jasa AI pun seperti sekelas OpenAi pun di awal 2024 ini melarang untuk AI dijadikan untuk propaganda hoaks (seperti deepfake, dan lain-lain).
Kalau MK hanya melarang penggunaan AI saja, ke depannya boleh dong kita manipulasi foto tanpa AI (dikerjakan artis ilustrasi secara manual)?
Lantas, mengapa saya bilang MK kebablasan?
Selama yang diubah bukan foto resmi di kertas suara, mestinya tidak ada masalah sama sekali.
Ada beberapa alasan mengapa para konsultan komunikasi dan periklanan sering menggunakan
kartun atau animasi dalam menyampaikan pesan mereka.
1.⁠ Menarik perhatian dan mudah dipahami.
2.⁠ Menyederhanakan informasi rumit.
3.⁠ Menggunakan simbolisme visual tanpa banyak kata.
4.⁠ Menghibur dan ringan, membuat pesan lebih santai.
ADVERTISEMENT
5.⁠ Membangkitkan emosi seperti simpati, tawa, haru, sedih hingga kagum.
6.⁠ Cocok untuk semua usia.
7.⁠ Mudah diingat (karena otak memproses visual 60.000 kali lebih cepat daripada teks.)
Jadi digunakannya kartun, animasi, komik, sketsa baik itu hasil AI maupun digambar manual, semua adalah metode dalam rangka memudahkan penyampaian pesan saja.
Kesimpulannya menurut saya:
•⁠ ⁠Harus diperjelas bahwa yang dilarang itu manipulasi foto di kertas suara bukan di seluruh Alat Peraga Kampanye (APK)
•⁠ ⁠⁠Yang harus diatur adalah batasan manipulasi visual berlebihan, bukan penggunaan AI itu sendiri.
Karena kalau penggunaan AI-nya yang dilarang sementara substansi permasalahannya tidak dilarang, sama saja kita menolak teknologi dan kemajuan zaman.
Bayangkan jika aturan ini dipakai untuk tahun 2029, bisa jadi 4 tahun ke depan teknologi akan lebih canggih lagi, yang bisa jadi pula namanya bukan AI.
ADVERTISEMENT