Seandainya Saya Menjadi Nadiem

Irfan Wahid
Penasihat Khusus Menko Kemaritiman dan Investasi, Bidang Kepariwisataan | KEIN, Head of Working Group on Creative Industry | Creativepreneur
Konten dari Pengguna
28 April 2021 17:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irfan Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tiba tiba Ramadhan yang khusyuk ini pekan lalu diguncang oleh berita hilangnya nama Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy'ari dari buku Kamus Sejarah Republik di website Kemendikbud.
ADVERTISEMENT
Heboh jagat pesantren.
Pentingnya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy'ari atau Mbah Hasyim ini memang tidak bisa dibantah.
Bukan saja Beliau adalah pendiri NU, ormas terbesar negeri ini, Mbah Hasyim adalah juga Bapak Umat Islam Indonesia, karena dianggap sebagai pengayom dan pemersatu bagi banyak ormas Islam di Indonesia.
Itulah mengapa, Resolusi Jihad yang difatwakan Mbah Hasyim—yang kemudian menjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya—terbukti efektif dalam mengusir penjajahan Belanda.
Itulah ‘the true jihad’ melawan penjajah. Bukan kaleng-kaleng.
Sekaliber presiden Soekarno dan Jenderal Soedirman pun tak jarang menjadikannya mitra diskusi dan tempat meminta fatwa.
Karenanya Mbah Hasyim pun mendapat anugerah pahlawan nasional dari Pemerintah.
Hebohnya jagad pesantren dua pekan lalu, bermula dari hilangnya nama Hasyim Asy'ari dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I.
ADVERTISEMENT
Ajaibnya, draf naskah yang dibuat tahun 2017 lalu sudah di-posting di Rumah Belajar, Kemendikbud.
Bila memang masih mentah dan dalam perbaikan belum selayaknya menjadi konsumsi publik, kenapa sudah di-posting di website resmi?
Adakah maksud lain yang terselubung dalam hal ini?
Wallahua’lam.
Seandainya saya jadi Nadiem, saya akan benar-benar menginvestigasi kenapa hal tersebut bisa terjadi.
Paling tidak, lebih dari sekadar pembelaan bahwa kejadian ini sudah ada sebelum ia menjabat dan ini tanggung jawab Dirjen.
Sekjen PBNU Helmy Faisal, Mendikbud Nadiem Makarim, dan Yenny Wahid. Foto: Dok: PBNU
Mas Menteri Nadiem pun kemudian menyambangi PBNU untuk berjumpa dengan Ketua Umum dan Sekjen PBNU.
Tak lupa, Mbak Yenny Wahid yang merupakan cicit dari Mbah Hasyim juga turut dihadirkan.
Menurut menteri Nadiem, kunjungan ke Ketum dan sekjen PBNU plus Mbak Yenny sudah cukup mewakili untuk klarifikasi kejadian hilangnya nama Mbah Hasyim.
ADVERTISEMENT
Di sinilah kita bisa mengukur seberapa Mendikbud sendiri kurang (mau) memahami budaya NU dan pesantren.
Kalau saya menjadi Nadiem, saya pasti akan langsung pergi ke pesantren Tebuireng dan ziarah di makam Mbah Hasyim seraya memohon maaf kepada Allah atas kelalaian kementerian yang dipimpinnya melupakan Hadratussyaikh.
Tebuireng ini yang melahirkan NU.
Jadi bukan Tebuireng adalah bagian dari PBNU.
Jangan dibalik.
Yang saya dengar, jangankan silaturahmi ke Tebuireng, kontak ke Pengasuh Pesantren Tebuireng untuk meminta maaf saja Menteri Nadiem tidak lakukan.
Dan kemarin pun Munarman ditangkap Densus dengan alasan terkait kegiatan radikalisme dan terorisme.
Apapun alasannya, memang kita paham bahwa isu radikalisme ini memang cukup naik daun beberapa bulan terakhir ini.
ADVERTISEMENT
Dan kita semua paham bahwa salah satu ‘peredam’ radikalisme ini ya NU.
Mengapa? Karena Mbah Hasyim inilah yang sejak awal kelahiran Nahdlatul Ulama, selalu mengingatkan bahwa kecintaan kita kepada Islam harus dibarengi dengan kecintaan kita pada Indonesia.
Kalau saya menjadi Nadiem, saat saya silaturahim ke Tebuireng, pasti akan langsung mampir ke Museum Keislaman Hasyim Asyari (MKHA), yang digagas bersama Gus Sholah dan Mendikbud Muhadjir.
Betapa tidak?
MKHA ini sangat unik karena adalah satu-satunya museum di Indonesia yang mengangkat sejarah masuknya Islam di Indonesia. Di museum ini kita bisa melihat bahwa Islam masuk Indonesia melalui kebudayaan di tanah Sumatra, Jawa dan beberapa tempat lainnya.
Juga tentang kisah Walisongo.
Itulah mengapa, pada Selasa 18 Desember 2018, Presiden Jokowi meresmikan Museum Indonesia Hasyim Asy'ari.
ADVERTISEMENT
Tapi uniknya, museum yang sudah diresmikan 2018 lalu itu hingga sekarang masih juga belum rampung penyelesaiannya.
Mungkin karena waktu itu diresmikannya terburu-buru.
Nadiem Makarim. Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Seandainya saya menjadi Nadiem, saya akan segera melakukan pendekatan dengan cara kultural khas NU.
Bukan saja dengan topik hilangnya nama Mbah Hasyim, tetapi justru sekaligus bicara tentang Islam di Indonesia. Islam yang ramah bukan yang marah-marah.
Islam yang rahmatan lil alamin.
Yang kesemuanya ada di dalam Museum Hasyim Asyari, yang kebetulan hingga saat ini belum juga rampung.
Dalam rangka menciptakan sejarah yang berubah menunju ihdinas shiratol mustaqim, memerlukan petunjuk.
Oleh karena itu, diperintahkan wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad (perhatikan sejarahmu, untuk masa depanmu) (Qs:59:18).
Sejarah memberikan mauizhah (pelajaran) yang membuat umat Islam sadar sebagai aktor sejarah untuk menciptakan sejarah yang benar.(QS 11:120.)
ADVERTISEMENT
Selamat berpuasa dan beribadah Ramadhan