Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
DPR, RUU, dan Drama Legislasi: Siapa yang Sebenarnya Berdaulat?
12 Mei 2025 14:21 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Irfan Dhoyfus Salaam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap kali Rancangan Undang-Undang (RUU) dibahas di Senayan, gelombang kritik dari masyarakat hampir tak pernah absen. Drama legislasi seolah menjadi sajian rutin: draf RUU yang tak transparan, pembahasan kilat, hingga pasal-pasal bermasalah yang lolos tanpa pengawasan publik. Dalam berbagai kasus, suara rakyat terdengar seperti gema di ruang kosong. Lantas, siapa sebenarnya yang berdaulat dalam sistem demokrasi kita—rakyat atau wakilnya?
ADVERTISEMENT
Legislasi dalam Bayang-Bayang Kepentingan
Secara teori, DPR adalah lembaga representatif. UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) menegaskan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Namun ketika aspirasi rakyat tidak tercermin dalam undang-undang yang dibuat, klaim kedaulatan itu menjadi problematis.
Sebut saja polemik Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU ITE, hingga revisi UU KPK. Proses pembahasan yang tergesa, minim partisipasi publik, dan dominasi elit politik menciptakan kesan bahwa legislasi lebih ditujukan untuk melayani kepentingan kekuasaan daripada kepentingan rakyat. Apalagi ketika “aspirasi rakyat” yang diserap seringkali hanya formalitas.
Fungsi Legislasi yang Terkikis
DPR memiliki tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, fungsi legislasi tampak kehilangan arah. Banyak RUU prioritas yang molor pembahasannya, sementara RUU bermasalah justru disahkan dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Contohnya revisi UU KUHP. Meski sempat ditunda karena protes publik pada 2019, RUU ini tetap disahkan pada 2022 tanpa revisi substansial. Sementara RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang diajukan sejak 2004 tak kunjung disahkan. Ini menandakan ada ketimpangan dalam prioritas: bukan pada kebutuhan rakyat, tetapi pada kepentingan elit.
Rakyat atau Elit yang Berdaulat?
Pertanyaan kunci pun muncul: masihkah DPR menjadi representasi rakyat, atau hanya panggung kekuasaan elit? Dalam konteks hukum tata negara, kedaulatan rakyat seharusnya terwujud dalam proses legislasi yang terbuka, partisipatif, dan akuntabel. Tanpa itu, demokrasi hanya jadi prosedur formal, bukan esensi substantif. Terlebih di era digital, rakyat kian vokal melalui media sosial, petisi daring, hingga aksi massa. Ketika semua itu diabaikan, kekecewaan meluas.
ADVERTISEMENT
Jalan Tengah: Reformasi Legislasi
Perlu perombakan menyeluruh dalam tata kelola legislasi. Setidaknya ada empat hal yang bisa dilakukan: Transparansi penuh dalam seluruh tahap pembentukan RUU, keterlibatan publik yang bermakna dan bukan hanya formalitas, penguatan peran akademisi serta masyarakat sipil dalam kajian RUU, evaluasi partisipatif atas daftar RUU prioritas.
Demokrasi tak bisa dijalankan hanya lima tahun sekali. Kedaulatan rakyat harus hadir dalam setiap proses pengambilan keputusan, terutama legislasi. Jika tidak, kita hanya memiliki demokrasi simbolik yang jauh dari cita-cita konstitusi. Kini saatnya semua pihak—DPR, pemerintah, dan masyarakat—merebut kembali makna sejati dari kedaulatan rakyat.