Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Perspektif Islam terhadap Istri yang Menjadi Tulang Punggung Keluarga
2 Desember 2022 15:06 WIB
Tulisan dari Irham Andy Febrian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ketika pasangan suami-istri telah dinyatakan sah dengan terlaksananya ijab dan kabul, maka seluruh tanggung jawab mencari nafkah sudah jatuh sepenuhnya kepada suami sebagai tulang punggung keluarga. Seorang suami hendaknya memenuhi hak istrinya dengan memberikan nafkah secara materiel dan juga nonmateriel yang berupa nafkah batin dengan cara mempergauli istrinya dengan sebaik mungkin dan menjaganya dari perbuatan dosa dengan sepenuh jiwa dan raga. Namun, istri juga harus menjalani kewajibannya sebagai seorang istri, seperti melayani suaminya dengan sepenuh hati. Istri tidak memiliki kewajiban mencari nafkah seperti halnya seorang suami.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, pada kenyataannya terdapat banyak sekali kasus suami yang tidak bisa memberikan nafkah kepada istri secara penuh, bahkan tidak sama sekali. Hal ini dikarenakan berbagai macam persoalan yang terjadi, seperti masalah kesehatan yang membuat seorang suami tidak bisa bekerja, bisa juga karena kurangnya tanggung jawab, tak berinisiatif, dan juga malas. Hal ini menyebabkan seorang istri harus bekerja keras mencari nafkah menggantikan suaminya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Lantas, bagaimana Islam menanggapi fenomena istri yang menjadi tulang punggung keluarganya?
Di dalam hukum fikih, suami boleh berutang nafkah kepada istrinya dan dibayar jika sudah mampu, tetapi ini tidak etis. Di samping itu, apabila istri rela mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan suami untuk mencari nafkah, maka bantuan tersebut dianggap sebagai sedekah atau hadiah dari istri kepada suami. Namun, jika istri tidak rela menerima keadaan itu, maka dia berhak meminta cerai. Karena menurut ulama syafi’iyyah, apabila suami tidak mampu memberikan nafkah lahir batin kepada istrinya, maka istrinya berhak untuk meminta cerai. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW ketika ada seorang suami yang tidak bisa menafkahi istrinya. Dia berkata "Pisahkan keduanya."
ADVERTISEMENT
Ketua Pengurus Wilayah (PW) Aswaja Nahdlatul Ulama Center Jawa Timur, K.H Ma'ruf Khozin menyebutkan istri harus mempertimbangkan lagi untuk memutuskan gugatan perceraian. Dikarenakan masalah ini bukan hanya tentang kesabaran dalam kekurangan nafkah, tapi juga masa depan anak dan kasih sayang keluarga. Kemuliaan akhlak seorang istri terlihat ketika ia tidak menuntut hak nafkahnya ketika suaminya sedang kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan.
Sebenarnya, sejak zaman Nabi Muhammad SAW sudah ada wanita yang menjadi tulang punggung keluarganya, yaitu istri sahabat Nabi, Zainab Atsaqafiyyah yang merupakan wanita tangguh dan berdagang sebagai perajin. Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan di dalam kitab Fathul Bari, Zainab tidak hanya menghidupi suaminya tetapi juga mengasuh anak-anak saudara laki-laki dan perempuannya yang yatim piatu. Dengan apa yang dilakukannya untuk keluarganya, Nabi SAW berkata bahwa Zainab mendapatkan dua keutamaan pahala, yaitu pahala kekerabatan dan zakat.
ADVERTISEMENT
Pada intinya Islam sangatlah memuliakan wanita. Pada saat seorang wanita dituntut untuk menjadi tulang punggung keluarganya, maka ia diberikan dua pilihan. Pilihannya antara menggugat cerai suami atau bekerja mencari nafkah untuk keluarga yang ganjarannya adalah pahala yang sangat besar. Di satu sisi Islam melaknat suami yang enggan mencari nafkah, namun di sisi lain juga Islam memandang wanita yang menjadi tulang punggung keluarga adalah puncak dari kemuliaan akhlak yang dimiliki seorang wanita.