Konten dari Pengguna

Cari Tahu Pengalaman Hidup di Nunukan, Beranda Terdepan NKRI

Irhamna Atqiya Maarif
Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Universitas Ahmad Dahlan)
18 Januari 2022 22:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irhamna Atqiya Maarif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Ibadah Mimpi dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Ibadah Mimpi dari Pexels
ADVERTISEMENT
Mungkin dari kebanyakan orang masih banyak yang beranggapan bahwa Indonesia hanya sebatas Pulau Jawa saja, tapi pernahkah kalian mengetahui bagaimana kehidupan orang-orang yang tinggal di Wilayah batas Negeri yang bahkan jauh dari kemegahan dan gemerlap cahaya seperti yang ada di kota-kota besar di Indonesia? Jikalau mendengar kata Kalimantan, apa yang langsung terlintas di pikiran kalian? Menurut orang-orang, hutan rimba yang lebat di kelilingi pohon-pohon besar, Orang utan dan bekantan yang berkeliaran dengan liar, memanjat dari satu pohon ke pohon lain, atau suatu tempat yang jauh dari peradaban manusia? Tenang, Kalimantan tak se-primitif itu kok, ada banyak juga kota-kota besar yang ada di Pulau Kalimantan seperti yang ada di Kalimantan Utara.
ADVERTISEMENT
Kalimantan Utara sendiri merupakan Provinsi yang baru berusia delapan tahun. Kabupaten/kota yang tergabung di dalam Provinsi Kalimantan Utara antara lain Nunukan, Tarakan, Kabupaten Tana Tidung (KTT), Malinau, dan Bulungan sebagai Ibu Kota Provinsi dari Kalimantan Utara. Namun, pada kesempatan kali ini aku mau bercerita tentang kota kelahiranku, sekaligus kota yang menjadi beranda dan garis terdepan yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, Nunukan.
Nunukan merupakan salah satu Kabupaten/Kota yang berada di ujung utara pulau kalimantan dan merupakan salah satu dari kabupaten yang tergabung di dalam Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia. Selain itu, Kalimantan Utara juga berbatasan langsung dengan Negara Malaysia tepatnya Ibu Kota Distrik Tawau di Sabah, Malaysia.
Perjalanan menuju Pulau Nunukan hanya dapat di tempuh menggunakan dua jalur yaitu jalur udara dan jalur laut. Dari Kota Tarakan yang merupakan kota terbesar dan tersibuk yang ada di Provinsi Kalimantan Utara, perjalanan menggunakan jalur laut dengan menggunakan speedboat dapat di tempuh dalam waktu dua jam, sedangkan melalui jalur udara dengan menggunakan pesawat dapat di tempuh dalam waktu 20 menit. Meskipun menggunakan jalur udara lebih efektif dan lebih hemat waktu, masyarakat Nunukan lebih sering menggunakan speedboat karena biayanya yang lebih murah walaupun harus mengorbankan waktu yang cukup lama.
ADVERTISEMENT
Karena letaknya yang sangat dekat dengan Negara Malaysia, menjadikan pulau dengan motto “Penekindi Debaya” berasal dari bahasa tidung yang memiliki arti “Membangun Daerah”, menjadi pintu keluar-masuk dan juga sebagai tempat persinggahan Internasional. Hal ini dapat dilihat dengan dibangunnya fasilitas dan infrastruktur yang memadai untuk menunjangnya. Misalnya seperti Pelabuhan Internasional yang diberi nama “Tunon Taka” yang juga berasal dari bahasa tidung yang memiliki arti “ Selamat Datang” yang merupakan pelabuhan lintas dengan Kota Tawau, Malaysia. Bagi penduduk kota Nunukan yang hendak pergi ke Tawau diperlukan dokumen PLB (Pas Lintas Batas). Setiap hari rata-rata sekitar delapan unit kapal cepat dengan kapasitas kurang lebih 100 orang bolak-balik antar Nunukan dengan Tawau.
Perjalanan menuju Tawau memakan waktu yang lebih singkat daripada perjalanan menuju Pulau Tarakan, yakni hanya memakan waktu sekitar 30-45 menit dari Pelabuhan Tunon Taka di Kabupaten Nunukan. Tak jarang di Nunukan kita bahkan lebih banyak menjumpai produk dengan label “Buatan Malaysia” khususnya untuk produk bahan pokok seperti beras, susu, minyak makan, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Hal ini disebabkan karena produk buatan luar Negeri tersebut lebih mudah untuk masuk dan tak terlalu memakan biaya yang terlalu banyak untuk mendapatkannya. Tak heran bila ada yang mengatakan “Garuda di Dadaku, Harimau di Perutku” ungkapan tersebut tak lain karena lebih seringnya masyarakat di sana mengonsumsi makanan buatan Malaysia daripada makanan buatan Indonesia. Meskipun banyak juga produk makanan buatan dalam Negeri yang di jual di sana.
Sangking dekatnya dengan Negara Malaysia, bahkan di Nunukan tepatnya di Pulau Sebatik yang masih menjadi bagian dari Kecamatan Nunukan terdapat salah satu rumah warga yang unik. Mengapa di katakan unik? karena rumah tersebut di bangun di atas dua wilayah negara yang berbeda. Teras rumah dan ruang tamunya yang berada di Wilayah Indonesia, sedangkan kamar mandi dan dapurnya berada di Wilayah Malaysia. Dengan keunikannya tersebut menjadikan banyak orang yang penasaran untuk melihatnya secara langsung dan menjadi salah satu objek wisata yang ada di Nunukan. Bahkan beberapa pasar yang ada di Kabupaten Nunukan ini berlaku pecahan dua mata uang yang berbeda pula yakni, mata uang ringgit dan rupiah. Salah satu pasar yang menerima kedua pecahan mata uang tersebut adalah pasar yang berada di jalan Lingkar atau masyarakat Nunukan biasa menyebutnya dengan pasar “Lingkar”.
ADVERTISEMENT
Nunukan juga memiliki keberagaman suku dan budaya. Penduduk asli Nunukan sendiri berasal dari suku-suku asli yang ada di kalimantan seperti Dayak, Tidung, dan Banjar. Semenjak dahulu Nunukan telah menjadi tempat persinggahan dan menjadi jalur Perdagangan Nasional dan Internasional, banyak pedagang dan suku-suku yang berasal dari daerah lain tinggal dan menetap di Pulau Nunukan. Contohnya seperti suku Jawa, Bugis, Toraja, dan suku-suku yang berasal dari Indonesia bagian timur.
Dengan keberagaman itulah akhirnya menciptakan sebuah akulturasi budaya yang baru. Salah satunya yang bisa dilihat dengan jelas adalah di bidang kuliner. Walaupun masyarakat yang tinggal di Kabupaten Nunukan pada dasarnya adalah suku-suku asli yang ada di Kalimantan, namun karena masuknya budaya-budaya dari luar tersebut menjadikan akulturasi budaya yang baru. Salah satu contohnya karena Nunukan yang juga sudah didominasi oleh suku Bugis yang berasal dari Sulawesi, bila ada perayaan hari besar seperti lebaran, resepsi pernikahan atau hari besar yang lain, selalu menyediakan makanan buras atau “Burassa” yaitu makan yang terbuat dari beras yang di campurkan dengan santan lalu diikat dan dimasak menggunakan daun pisang lalu di makan dengan lauk ikan teri balado, serundeng, opor ayam, ataupun daging rendang. Makanan tersebut sebenarnya asli budaya dari suku Bugis namun karena akulturasi budaya itu tadi menjadikan makanan ini menjadi makanan yang wajib ada di setiap perayaan hari besar yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Menurut saya apabila ada perayaan hari besar contohnya seperti lebaran dan tidak ada makanan ini saya merasa ada yang kurang, sebab saya sendiri yang juga merupakan keturunan dari suku Bugis.
Itulah mungkin sedikit cerita tentang gambaran bagaimana kehidupan masyarakat yang hidup dan tinggal di pelosok-pelosok Negeri khususnya dari tempat kelahiranku di Nunukan, beranda terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia.