Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Dear Ibu, Hindari Terlalu Sering Bilang 'Hati-hati' pada Anak
19 Januari 2023 18:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Irma Heraa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Anak adalah anugerah terindah yang dititipkan Tuhan kepada setiap pasangan yang sudah menikah dan menjadi orang tua. Setiap orang tua pasti akan melakukan apa pun yang terbaik untuk tumbuh kembang anak-anaknya, melindunginya, menyayangi dan memberikan perhatian yang lebih pada anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, terkadang orang tua bersikap over protektif terhadap aktivitas anaknya, termasuk sering mengatakan “hati-hati ya nak”, “eh hati-hati, nak” tanpa disertai penjelasan. Apakah moms sering mengatakan seperti itu pada anak?
Tanpa disadari orang tua mungkin terlalu sering bilang “hati-hati” kepada anak yang usianya masih di bawah 7 tahun. Pada usia ini anak pasti sangat aktif dalam melakukan sesuatu. Seperti berlari-larian atau bahkan tidak menutup kemungkinan akan memanjat pohon. Umumnya kita merasa takut anak akan jatuh atau terluka. Oleh sebab itu kita sebagai orang tua secara langsung meneriaki anak kita dengan kalimat “hati-hati” atau "jangan lari-larian, nanti jatuh”. Apakah moms sering merasa begitu?
Ada beberapa alasan, bahwa kalimat “hati-hati” itu perlu kita hindari atau sebisanya kita kurangi. Sebab kalimat “hati-hati nak” tidak secara jelas dan spesifik memberi tahu anak tentang hal yang harus anak hindari. Mereka harus berhati-hati dengan siapa? Mengapa sesuatu itu bisa berbahaya?
ADVERTISEMENT
Hal ini adalah skill atau kemampuan yang diperlukan saat anak menjadi dewasa nanti. Kata “hati-hati” juga lebih cenderung menanamkan rasa takut dalam diri anak. Secara tidak sadar, kita sebagai orang tua mentransfer rasa khawatir kita pada anak. Jika kita sering bilang “hati-hati” pada anak, maka anak akan cenderung takut salah, tidak berani mencoba yang berbeda atau tidak kreatif. Anak akan cenderung lebih menghindar dari risiko.
Anak akan menangkap pesan dari kalimat “hati-hati” tersebut ke dalam sebuah pemikiran yang membentuk pola sikap untuk tidak berani mencoba hal baru. Anak akan berpikir untuk mencari cara yang aman, karena anak akan berpikir, ia akan dimarahi oleh orangtuanya jika ia melakukan hal yang membuat orang tua menjadi marah.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang tua, pasti kita tidak ingin hal bahaya terjadi pada anak kita ya moms. Tapi pertanyaannya, apakah kita selalu ingin anak kita hidup dalam zona yang aman terus menerus? Tidak boleh jatuh, tidak boleh lecet, anak selalu dalam perlindungan kita yang aman, tentram dan nyaman. Padahal orang-orang yang berdampak dan berpengaruh di dunia adalah orang-orang yang berani beda, mendobrak dengan daya pikir yang kreatif, yang melihat kegagalan atau kesalahan itu sebagai bagian dari sebuah proses menjadi lebih baik dan lebih maju.
Para ahli mengatakan jika kita tidak pernah mengambil risiko dan selalu mengambil jalan yang aman serta takut berbuat yang salah, maka tanpa kita sadar sebenarnya kita takut pada sebuah kegagalan. Ini menjadi sebuah mentalitas yang berdampak pada segala aspek kehidupan kita. Sebagai contoh kita takut pindah rumah, takut pindah kerjaan, takut memulai bisnis atau takut ambil tanggungjawab yang baru. Intinya moms, kita harus sama-sama ingat, bahwa anak perlu kita berikan ruang untuk bermain yang di dalamnya mengandung sebuah risiko, agar anak bisa bertumbuh sehat dan berkembang.
ADVERTISEMENT
Contohnya, anak perlu bermain dan berlari-larian, dan risikonya anak akan jatuh, lecet, berdarah dan bahkan menangis. Tapi semua itu adalah hal yang normal bukan? Jika respons kita tidak heboh dan panik saat anak kita terjatuh dan terluka, maka anak pun tidak akan panik dan dia akan bangun kembali. Respons yang heboh dan panik akan membuat tangis anak makin heboh dan lama. Namun jika respons kita tenang, mereka pun akan lebih cepat tenang dan akan kembali bermain, dan seiring berjalannya waktu anak pun akan memiliki mentalitas yang kuat.
Tentu berbeda ceritanya jika anak kita bermain dan berlari-larian di tengah jalan raya, atau berlari menyeberang tanpa tengok kanan dan kiri. Maka kita sebagai orang tua perlu mengambil tindakan secara langsung dan memberikan penjelasan pada anak mengapa hal tersebut berbahaya, bukan hanya sekadar meneriaki “hati-hati” pada anak.
ADVERTISEMENT
Nah moms, jika kita tidak boleh bilang “hati-hati” pada anak, lalu baiknya bilang apa pada mereka?
Moms, jika anak akan bermain, atau melakukan sesuatu yang sekiranya kita amati anak kita ceroboh dan akhirnya akan terjatuh atau terluka, maka yang harus dilakukan adalah kita mencoba untuk bersikap tenang, dan melihat situasi. Apakah anak kita dalam bahaya yang serius? Mmengapa situasi seperti ini membuat kita tidak nyaman? Skill atau kemampuan apa yang sebenarnya anak kita sedang pelajari sekarang? Setelah itu baru kita memberi respons.
Anak perlu belajar “problem solving” atau menyelesaikan masalah. Dari pada kita bilang “hati-hati” pada anak, baiknya moms bisa bilang lebih spesifik apa yang perlu anak perhatikan dan hindari ketika akan melakukan sesuatu. Kita bisa mengajarkan pada anak untuk belajar memperhatikan lingkungan sekitarnya, membiasakan anak menganalisa, berpikir dan belajar mengambil pilihan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana jika anak tidak mau mendengarkan dan akhirnya terjatuh ketika sedang bermain?
Nah moms, ini adalah bagian dari pembelajaran untuk anak, bahwa salah, gagal, jatuh, itu adalah bagian dari anak belajar dan menjadi lebih baik. Moms tidak peru panik jika anak terluka. Anda bisa menolongnya dengan memberikan respons yang tenang dan tidak berlebihan, tidak pula menyalahkan anak atas apa yang telah anak lakukan.
Anak yang melihat respons bunda dan ayahnya yang tenang, maka anak pun akan belajar tenang saat dia jatuh. Mentalitasnya akan menganggap bahwa jatuh dan gagal itu adalah sesuatu hal yang biasa, maka mentalitas seperti ini akan terbawa sampai anak tumbuh dewasa.
Mari kita sama-sama mengevaluasi pola asuh yang kita berikan, belajar untuk menahan diri, belajar mengontrol respons, dan mengevaluasi ulang: Apakah selama ini pola asuh kita sudah baik? Seperti apa kebiasaan dan cara kita bicara pada anak? Karena semua yang kita lakukan dan katakan pada anak memiliki dampak yang besar untuk anak hingga dewasa nanti.
ADVERTISEMENT