Konten dari Pengguna

Actori Incumbit Onus Probandi: Kewajiban Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Irman Ichandri
Guru SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Ketua Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Alumni S1 PPKn Universitas Sriwijaya, Alumni S2 Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang.
28 Juli 2024 17:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irman Ichandri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Irman Ichandri, S.Pd., M.H.
Guru Pendidikan Pancasila di SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Ketua Satgas Kedisiplinan di SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Ketua Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
Hukum acara pidana di Indonesia, sebagaimana hukum di banyak negara lainnya, berpegang pada prinsip-prinsip dasar yang menjamin keadilan dalam proses peradilan. Dua prinsip penting yang mendasari hukum acara pidana adalah asas "Actori Incumbit Onus Probandi" dan asas "Actore Non Probante, Reus Absolvitur". Prinsip-prinsip ini memainkan peran kunci dalam menentukan beban pembuktian dan hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana.
ADVERTISEMENT
Actori Incumbit Onus Probandi
Secara harfiah, asas "Actori Incumbit Onus Probandi" berarti "barangsiapa yang menuntut, dialah yang wajib membuktikan". Prinsip ini menegaskan bahwa pihak yang mengajukan tuduhan atau gugatan haruslah membuktikan kebenaran dari tuduhan atau gugatan tersebut. Dalam konteks hukum pidana, pihak yang dimaksud adalah penuntut umum atau jaksa.
Asas ini memiliki beberapa implikasi penting:
1. Beban Pembuktian di Pihak Penuntut : Penuntut umum harus menyajikan bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Beban ini mencakup pembuktian elemen-elemen dari tindak pidana yang relevan, seperti niat, tindakan, dan akibat dari tindakan tersebut.
2. Standar Pembuktian : Dalam hukum pidana, standar pembuktian yang harus dipenuhi oleh penuntut umum adalah "beyond a reasonable doubt" atau "tanpa keraguan yang masuk akal". Ini berarti bahwa bukti yang diajukan harus cukup kuat untuk meyakinkan hakim atau juri bahwa terdakwa bersalah, dengan menghilangkan segala keraguan yang wajar.
ADVERTISEMENT
3. Perlindungan terhadap Terdakwa : Prinsip ini juga memberikan perlindungan bagi terdakwa. Dengan menetapkan bahwa penuntut umum yang harus membuktikan kesalahan terdakwa, hukum menghindari situasi di mana terdakwa harus membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Ini konsisten dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang menyatakan bahwa setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah.
Actore Non Probante, Reus Absolvitur
Asas kedua yang merupakan kelanjutan dari asas pertama adalah "Actore Non Probante, Reus Absolvitur" yang berarti "jika tidak dapat dibuktikan, terdakwa harus dibebaskan". Prinsip ini menekankan bahwa jika penuntut umum gagal membuktikan tuduhannya dengan standar pembuktian yang ditentukan, maka terdakwa harus dibebaskan.
1. Pembebasan Terdakwa : Jika bukti yang diajukan oleh penuntut umum tidak cukup kuat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, maka hakim wajib membebaskan terdakwa. Ini berlaku bahkan jika terdakwa mungkin bersalah tetapi bukti yang diajukan tidak cukup kuat atau meyakinkan.
ADVERTISEMENT
2. Peran Hakim : Hakim memiliki peran penting dalam menilai apakah bukti yang diajukan oleh penuntut umum memenuhi standar pembuktian yang ditetapkan. Hakim harus objektif dan tidak boleh terpengaruh oleh prasangka atau opini publik.
3. Kepastian Hukum : Asas ini juga berkontribusi terhadap kepastian hukum dan keadilan. Dengan menetapkan bahwa terdakwa harus dibebaskan jika tuduhan tidak dapat dibuktikan, hukum memastikan bahwa tidak ada orang yang dihukum tanpa bukti yang memadai.
Penerapan di Indonesia
Di Indonesia, prinsip-prinsip ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal ini sejalan dengan asas Actori Incumbit Onus Probandi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus bebas. Ini mencerminkan asas Actore Non Probante, Reus Absolvitur.
Tantangan dalam Penerapan
Meskipun prinsip-prinsip ini jelas dan mendasar, penerapannya tidak selalu mudah dan bebas dari tantangan. Beberapa tantangan yang sering dihadapi dalam penerapan asas-asas ini termasuk:
1. Kualitas dan Integritas Bukti : Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa bukti yang diajukan dalam proses peradilan adalah bukti yang sah, berkualitas, dan dapat diandalkan. Penyalahgunaan bukti atau manipulasi bukti dapat merusak integritas proses peradilan.
2. Kapabilitas Penuntut Umum dan Hakim : Kapabilitas dan integritas penuntut umum serta hakim juga memainkan peran penting. Penuntut umum harus memiliki kemampuan untuk menyusun dan menyajikan kasus yang kuat, sementara hakim harus mampu menilai bukti secara objektif dan adil.
ADVERTISEMENT
3. Prasangka dan Tekanan Publik : Tekanan dari opini publik atau prasangka terhadap terdakwa dapat mempengaruhi proses peradilan. Hakim dan penuntut umum harus mampu menjaga independensi dan objektivitas mereka meskipun ada tekanan dari luar.
4. Akses terhadap Bantuan Hukum : Terdakwa harus memiliki akses yang memadai terhadap bantuan hukum untuk memastikan bahwa mereka dapat membela diri dengan efektif. Keterbatasan akses terhadap bantuan hukum dapat merugikan terdakwa dan merusak prinsip keadilan.
Prinsip "Actori Incumbit Onus Probandi" dan "Actore Non Probante, Reus Absolvitur" merupakan landasan penting dalam hukum acara pidana yang menjamin keadilan dan perlindungan hak-hak terdakwa. Meskipun menghadapi berbagai tantangan dalam penerapannya, prinsip-prinsip ini tetap esensial dalam menjaga integritas dan keadilan sistem peradilan pidana. Dengan memastikan bahwa pihak yang menuntut harus membuktikan tuduhannya dan bahwa terdakwa harus dibebaskan jika tuduhan tidak dapat dibuktikan, hukum menciptakan kerangka kerja yang adil dan bertanggung jawab dalam penanganan kasus pidana.
ADVERTISEMENT