Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Kebenaran Mutlak dalam Filsafat: Mencari Hakikat yang Tak Terbantahkan
28 Juli 2024 15:33 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Irman Ichandri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Irman Ichandri, S.Pd., M.H.
Guru SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Ketua Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Alumni S1 PPKn Universitas Sriwijaya, Alumni S2 Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang.

Kebenaran mutlak adalah konsep yang telah lama menjadi pusat perdebatan dalam filsafat. Secara sederhana, kebenaran mutlak merujuk pada ide bahwa ada kebenaran yang tidak tergantung pada pandangan subjektif atau konteks, dan bahwa kebenaran ini bersifat universal dan abadi. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah kebenaran mutlak benar-benar ada, ataukah ia hanya idealisme filosofis yang sulit diterapkan dalam kenyataan sehari-hari?
ADVERTISEMENT
Pengertian Kebenaran Mutlak
Kebenaran mutlak dapat diartikan sebagai kebenaran yang tidak terpengaruh oleh waktu, tempat, atau perspektif individu. Dalam konteks ini, kebenaran tidak berubah meskipun pandangan atau kondisi eksternal berubah. Konsep ini seringkali berkaitan dengan prinsip-prinsip moral, hukum, atau kebenaran ilmiah yang dianggap berlaku secara universal.
Perspektif Filosofis tentang Kebenaran Mutlak
1. Filsafat Platonis
Plato, filsuf Yunani kuno, adalah salah satu tokoh awal yang membahas konsep kebenaran mutlak. Dalam teori bentuknya, Plato berpendapat bahwa dunia nyata hanyalah bayangan dari bentuk-bentuk ideal atau "formas" yang ada di dunia ide. Menurutnya, kebenaran mutlak adalah pengetahuan tentang bentuk-bentuk ideal ini. Sebagai contoh, bentuk ideal keadilan atau kebaikan tidak terpengaruh oleh penerapan atau penafsiran manusia di dunia nyata. Kebenaran ini, dalam pandangan Plato, bersifat abadi dan tidak berubah.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dijelaskan oleh Plato dalam karya terkenalnya, *Republik*, “Kebenaran tidak dapat diubah, hanya pernyataan tentang kebenaran yang bisa berubah.” Ini mencerminkan pandangan bahwa kebenaran ideal bersifat konstan meskipun interpretasi manusia dapat bervariasi.
2. Kebenaran Mutlak dalam Filsafat Barat Modern
Filsuf Immanuel Kant, meskipun tidak secara langsung mendukung gagasan kebenaran mutlak dalam cara yang sama dengan Plato, memperkenalkan konsep tentang kebenaran yang berkaitan dengan struktur rasional manusia. Menurut Kant, ada prinsip-prinsip dasar yang menjadi prasyarat bagi pengalaman dan pengetahuan. Namun, ia juga menekankan bahwa pemahaman kita terhadap dunia selalu melalui lensa subjektif kita. Oleh karena itu, meskipun ada prinsip-prinsip rasional yang mendasari pengalaman, kebenaran mutlak dalam bentuknya yang ideal sulit dijangkau.
ADVERTISEMENT
Dalam Kritik terhadap Akal Budi Murni, Kant menyatakan, “Kita tidak bisa memiliki pengetahuan langsung tentang realitas, tetapi hanya tentang cara kita mengalaminya.” Ini menunjukkan bahwa meskipun kita mungkin mendekati kebenaran mutlak, kita selalu terhambat oleh batasan pengalaman dan persepsi subjektif kita.
3. Positivisme dan Kritis
Di sisi lain, aliran filsafat positivisme yang dipelopori oleh Auguste Comte, menolak gagasan kebenaran mutlak dalam konteks metafisika. Positivisme mengutamakan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta empiris dan dapat diverifikasi secara ilmiah. Dalam pandangan ini, kebenaran bersifat sementara dan dapat berubah seiring dengan perkembangan pengetahuan dan metodologi ilmiah. Kebenaran mutlak, dalam konteks ini, dianggap tidak mungkin dicapai karena pengetahuan manusia selalu berkembang dan diperbaiki.
Seperti yang diungkapkan oleh Comte, “Pengetahuan ilmiah bersifat sementara dan terus berkembang. Kebenaran mutlak adalah ilusi, dan sains adalah satu-satunya cara kita bisa mendekati kebenaran yang lebih akurat.”
ADVERTISEMENT
Kebenaran Mutlak dalam Konteks Moral dan Etika
Pertanyaan tentang kebenaran mutlak juga sangat relevan dalam ranah moral dan etika. Apakah ada standar moral yang bersifat universal dan tidak tergantung pada budaya atau pandangan individu? Filsafat moral menawarkan berbagai pandangan mengenai hal ini:
1. Etika Deontologis
Immanuel Kant, dalam teori etika deontologisnya, berpendapat bahwa ada prinsip moral universal yang berlaku untuk semua orang. Menurut Kant, tindakan yang benar atau salah tidak bergantung pada konsekuensi, tetapi pada apakah tindakan tersebut mematuhi prinsip moral yang universal. Dengan kata lain, kebenaran moral menurut Kant bersifat mutlak dan tidak dapat diubah oleh situasi atau hasil.
Kant menyatakan dalam Dasar-Dasar Metafisika Moral, “Tindakan harus dilakukan tidak hanya sesuai dengan hukum moral tetapi juga karena kesadaran akan kewajiban moral.” Ini mencerminkan keyakinan bahwa ada prinsip moral yang bersifat mutlak dan harus diikuti tanpa memandang hasil.
ADVERTISEMENT
2. Etika Utilitarian
Sebaliknya, utilitarianisme, yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, menganggap kebenaran moral sebagai sesuatu yang bergantung pada hasil tindakan. Dalam pandangan ini, tindakan dianggap benar jika menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbanyak. Dengan demikian, kebenaran moral dalam utilitarianisme tidak bersifat mutlak, tetapi bergantung pada situasi dan konteks.
Sebagaimana Bentham katakan dalam Introduction to the Principles of Morals and Legislation, “Kebahagiaan adalah ukuran utama dari moralitas; prinsip moral harus dinilai berdasarkan kemampuannya untuk mempromosikan kebahagiaan terbesar.” Ini menunjukkan pandangan bahwa moralitas bersifat relatif dan bergantung pada dampaknya terhadap kesejahteraan manusia.
Tantangan dalam Menerima Kebenaran Mutlak
Salah satu tantangan utama dalam menerima kebenaran mutlak adalah keragaman perspektif manusia. Setiap individu membawa pengalaman, budaya, dan nilai-nilai pribadi yang memengaruhi pemahaman mereka tentang kebenaran. Dalam konteks ini, kebenaran mutlak tampaknya sulit untuk diterima secara universal, karena pandangan dan interpretasi dapat berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kemajuan ilmu pengetahuan sering kali membawa perubahan dalam pemahaman kita tentang dunia. Penemuan baru dapat mengubah atau membatalkan apa yang sebelumnya dianggap sebagai kebenaran absolut. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dalam ranah ilmiah, kebenaran dapat bersifat sementara dan tergantung pada bukti yang tersedia pada saat tertentu.
Kebenaran mutlak adalah konsep yang telah menjadi pusat perdebatan dalam filsafat, dengan berbagai pandangan yang mengemukakan baik kemungkinan maupun tantangannya. Dari perspektif Plato yang mencari bentuk ideal, hingga pandangan positivis yang menekankan fakta empiris, pencarian kebenaran mutlak menggambarkan keragaman cara kita memahami dan berinteraksi dengan dunia. Meskipun ada argumen kuat untuk kebenaran mutlak dalam beberapa konteks, realitas kompleksitas manusia dan perkembangan pengetahuan menunjukkan bahwa kebenaran mungkin lebih bersifat dinamis daripada absolut. Dengan memahami berbagai perspektif ini, kita dapat lebih menghargai kedalaman dan kekayaan pemikiran filosofis tentang kebenaran.
ADVERTISEMENT