Konten dari Pengguna

Kekerasan Murid terhadap Guru: Tantangan Hukum dan Moral dalam Pendidikan

Irman Ichandri
Guru SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Ketua Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Alumni S1 PPKn Universitas Sriwijaya, Alumni S2 Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang.
25 Oktober 2024 10:46 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irman Ichandri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Irman Ichandri, S.Pd., M.H.
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
Tindakan kekerasan murid terhadap guru menjadi isu yang mengkhawatirkan di dunia pendidikan. Guru yang seharusnya dihormati sebagai pemandu pengetahuan, kerap kali menjadi korban kekerasan fisik maupun verbal oleh murid-murid yang seharusnya mereka didik. Fenomena ini tidak hanya mengganggu lingkungan belajar mengajar, tetapi juga menimbulkan tantangan besar dalam penegakan hukum serta pelaksanaan kebijakan pendidikan. Dari perspektif hukum, tindakan kekerasan ini dapat dijerat dengan ketentuan pidana, namun pendekatan tersebut juga harus mempertimbangkan usia pelaku yang umumnya masih di bawah umur. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita harus menangani masalah ini secara adil dan bijaksana?
ADVERTISEMENT
Kekerasan Murid dalam Perspektif Hukum Pidana
Secara hukum, tindakan kekerasan oleh murid terhadap guru dapat diproses melalui jalur pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat berbagai pasal yang mengatur kekerasan, mulai dari penganiayaan hingga tindakan yang melawan aparat negara. Guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di sekolah negeri juga termasuk aparat negara yang dilindungi oleh hukum. Salah satu pasal yang bisa digunakan dalam kasus kekerasan ini adalah Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, yang bisa dikenakan terhadap murid jika tindakan tersebut menyebabkan luka atau cedera pada guru. Hukuman untuk tindak pidana ini bisa mencapai dua tahun delapan bulan penjara.
Namun, meski hukum pidana jelas memberikan perlindungan bagi korban kekerasan, penerapannya pada murid memerlukan kehati-hatian. Usia pelaku kekerasan umumnya masih tergolong anak-anak atau remaja di bawah 18 tahun, yang secara hukum harus mendapatkan perlakuan berbeda dibanding orang dewasa. Inilah mengapa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menjadi acuan dalam menangani kasus seperti ini.
ADVERTISEMENT
Perlindungan Hukum Bagi Anak
SPPA memperkenalkan konsep diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan, seperti mediasi. Prinsip diversi ini bertujuan untuk menjaga masa depan anak dengan mencegah mereka dari stigmatisasi sebagai pelaku kriminal sejak dini. Ini adalah langkah yang baik untuk memastikan bahwa murid yang melakukan kekerasan masih mendapatkan kesempatan kedua dan dibimbing kembali ke jalan yang benar.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah konsep diversi ini selalu relevan dalam kasus kekerasan terhadap guru? Apakah dengan menerapkan pendekatan restoratif, pelaku benar-benar akan menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulangi tindakan serupa? Masalah kekerasan ini memerlukan pendekatan yang lebih mendalam daripada sekadar penerapan hukum pidana atau restoratif, terutama jika mengingat bahwa kekerasan yang dilakukan murid terhadap guru kerap kali memiliki akar yang lebih kompleks, seperti masalah dalam keluarga atau pengaruh lingkungan pergaulan.
ADVERTISEMENT
Perlindungan Hukum untuk Guru
Sementara itu, di sisi lain, guru juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Guru berhak mendapatkan perlindungan, baik dalam menjalankan tugas profesionalnya maupun dalam menghadapi ancaman fisik dan mental. Apabila guru menjadi korban kekerasan dari murid, pemerintah dan pihak sekolah bertanggung jawab memberikan perlindungan dan penanganan hukum yang layak.
Dalam konteks ini, perlindungan hukum terhadap guru tidak hanya terkait dengan kekerasan fisik, tetapi juga meliputi kekerasan psikologis atau ancaman yang mempengaruhi kesehatan mental guru. Tindakan kekerasan dari murid yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan rasa takut dan trauma bagi guru, yang pada akhirnya dapat berdampak pada kinerja mereka di kelas. Sayangnya, perlindungan semacam ini sering kali belum terlaksana secara maksimal, sehingga banyak guru yang akhirnya memilih diam dan tidak melaporkan tindakan kekerasan yang mereka alami.
ADVERTISEMENT
Pendekatan Disipliner dan Sanksi di Sekolah
Selain sanksi pidana yang mungkin diberikan melalui jalur hukum, pihak sekolah juga memiliki peran penting dalam menangani kasus kekerasan yang dilakukan oleh murid. Setiap sekolah umumnya memiliki tata tertib dan aturan disipliner yang mengatur perilaku murid, termasuk sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan. Namun, di banyak kasus, tindakan kekerasan sering kali hanya diberi sanksi ringan seperti skorsing atau peringatan lisan, tanpa ada upaya rehabilitasi yang lebih serius.
Sanksi disipliner yang lemah cenderung tidak efektif dalam mencegah kekerasan berulang. Sebaliknya, sekolah perlu merancang kebijakan yang lebih tegas namun tetap mendidik. Misalnya, selain memberikan sanksi, sekolah bisa mengajak pelaku kekerasan untuk mengikuti program konseling, pelatihan manajemen emosi, atau aktivitas sosial yang mendukung perbaikan perilaku. Sanksi harus dipandang sebagai bagian dari proses pembelajaran, bukan sekadar hukuman yang bersifat retributif.
ADVERTISEMENT
Faktor Penyebab Kekerasan Murid terhadap Guru
Untuk memahami fenomena ini, kita juga perlu melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan oleh murid terhadap guru. Terdapat beberapa penyebab yang umum, seperti:
Ketidakmampuan mengelola emosi: Banyak murid yang belum memiliki kemampuan untuk mengelola emosi negatif, sehingga cenderung bertindak impulsif ketika merasa tertekan atau frustasi di lingkungan sekolah.
Pengaruh lingkungan pergaulan: Lingkungan sosial yang buruk, seperti kekerasan di rumah atau tekanan dari kelompok sebaya, juga bisa menjadi pemicu tindakan agresif pada murid.
Masalah dalam keluarga: Anak-anak yang mengalami kekerasan atau masalah keluarga sering kali menunjukkan perilaku agresif di sekolah sebagai bentuk pelampiasan.
Kurangnya komunikasi efektif antara guru dan murid: Sering kali, konflik antara murid dan guru dipicu oleh kesalahpahaman atau ketidakmampuan kedua belah pihak dalam berkomunikasi dengan baik.
ADVERTISEMENT
Dengan memahami faktor-faktor tersebut, pendekatan terhadap masalah kekerasan ini seharusnya tidak hanya berfokus pada hukuman, tetapi juga pada upaya pencegahan dan pembinaan.
Membangun Kembali Hubungan Murid dan Guru
Untuk mengatasi kekerasan di sekolah, diperlukan upaya dari berbagai pihak, termasuk sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pertama, sekolah perlu memperkuat hubungan antara murid dan guru melalui program-program yang mendorong rasa saling menghormati. Guru harus didukung dalam mengembangkan keterampilan manajemen kelas dan komunikasi yang efektif, sementara murid perlu dibimbing agar dapat mengelola emosi mereka dengan lebih baik.
Keluarga juga memainkan peran kunci. Orang tua perlu lebih aktif dalam memantau perkembangan perilaku anak mereka, baik di rumah maupun di sekolah. Jika anak menunjukkan tanda-tanda perilaku agresif, orang tua harus segera bekerja sama dengan pihak sekolah untuk mencari solusi yang tepat. Masyarakat secara umum juga harus dilibatkan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak, sehingga mereka tidak mudah terjerumus ke dalam perilaku kekerasan.
ADVERTISEMENT
Kekerasan yang dilakukan murid terhadap guru adalah masalah serius yang tidak bisa diabaikan. Dari sudut pandang hukum, tindakan ini bisa dijerat dengan pasal-pasal pidana, namun pendekatan hukum harus disesuaikan dengan prinsip perlindungan anak. Guru, sebagai pilar pendidikan, juga berhak mendapatkan perlindungan yang memadai dari ancaman kekerasan. Lebih dari itu, sekolah dan keluarga memiliki tanggung jawab bersama dalam menciptakan lingkungan yang mendukung bagi perkembangan emosional dan moral murid, sehingga kekerasan tidak lagi menjadi solusi yang dipilih oleh murid saat berhadapan dengan konflik di sekolah.