Konten dari Pengguna

Kesepakatan yang Melanggar Hukum: Sahkah atau Haruskah Dibatalkan?

Irman Ichandri
Guru SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Ketua Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Alumni S1 PPKn Universitas Sriwijaya, Alumni S2 Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang.
21 September 2024 16:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irman Ichandri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Irman Ichandri, S.Pd., M.H.
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
Dalam kehidupan sehari-hari, perjanjian adalah bagian yang tak terpisahkan dari interaksi sosial dan bisnis. Orang-orang membuat berbagai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan, mencapai tujuan, atau menyelesaikan masalah. Namun, tidak semua perjanjian yang dibuat oleh masyarakat dianggap sah di mata hukum. Ada banyak faktor yang bisa membuat suatu perjanjian menjadi batal, salah satunya adalah jika kesepakatan tersebut melanggar hukum. Pertanyaannya, apakah perjanjian yang melanggar hukum itu sah dan mengikat atau justru harus dibatalkan?
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus merujuk pada dasar hukum yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian. Dalam konteks hukum perdata di Indonesia, perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), khususnya Pasal 1320. Pasal ini memuat empat syarat mutlak yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian dianggap sah di mata hukum. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Kesepakatan para pihak, artinya kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian harus menyetujui isi perjanjian tersebut tanpa ada paksaan, kesalahan, atau penipuan.
2. Kecakapan hukum, yang berarti para pihak harus memiliki kemampuan hukum untuk membuat perjanjian, yaitu mereka harus dewasa, tidak berada di bawah pengampuan, dan tidak mengalami gangguan mental.
3. Suatu hal tertentu, yang menunjukkan bahwa objek perjanjian harus jelas dan bisa ditentukan.
ADVERTISEMENT
4. Sebab yang halal, yang menegaskan bahwa isi atau tujuan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Dari keempat syarat tersebut, syarat terakhir yakni “sebab yang halal” sering kali menjadi landasan mengapa suatu perjanjian bisa dianggap tidak sah. Perjanjian yang isinya bertentangan dengan hukum atau moralitas jelas tidak akan diakui oleh hukum.
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
Apa yang Dimaksud dengan “Sebab yang Halal”?
Sebab yang halal dalam konteks hukum perdata berarti tujuan dan objek perjanjian harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika perjanjian itu dibuat untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum atau bertentangan dengan nilai-nilai moralitas, maka perjanjian tersebut otomatis batal demi hukum.
Contoh nyata yang sering terjadi dalam masyarakat adalah perjanjian yang dibuat untuk melakukan tindakan melawan hukum, seperti kesepakatan jual beli narkoba, perdagangan manusia, atau transaksi barang curian. Meskipun kedua belah pihak mungkin sepakat dan memenuhi syarat-syarat lain dari Pasal 1320 KUHPer, perjanjian semacam ini tetap tidak sah, karena objek dan tujuan perjanjian jelas melanggar hukum.
ADVERTISEMENT
Perjanjian semacam itu disebut batal demi hukum atau null and void, yang berarti perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sejak awal. Para pihak yang terlibat dalam perjanjian tidak bisa menuntut hak yang dijanjikan dalam perjanjian tersebut, karena dari segi hukum, perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.
Mengapa Kesepakatan yang Melanggar Hukum Tidak Sah?
Alasan utama mengapa perjanjian yang melanggar hukum dianggap tidak sah adalah untuk melindungi ketertiban umum dan kepentingan masyarakat. Bayangkan jika hukum memberikan validitas kepada perjanjian yang melanggar hukum, seperti perjanjian untuk melakukan tindak pidana. Hal ini akan merusak tatanan hukum, karena memungkinkan individu untuk melanggar undang-undang melalui perjanjian-perjanjian pribadi.
Hukum berperan sebagai penjaga moralitas publik dan ketertiban sosial. Dengan membatalkan perjanjian yang melanggar hukum, hukum memberikan pesan tegas bahwa tidak ada ruang bagi perjanjian-perjanjian semacam itu dalam sistem hukum. Masyarakat pun akan dilindungi dari potensi penyalahgunaan hukum melalui perjanjian yang tidak bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Proses Pembatalan Perjanjian yang Melanggar Hukum?
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
Pembatalan perjanjian yang melanggar hukum bisa terjadi secara otomatis. Artinya, begitu suatu perjanjian dinyatakan melanggar hukum, perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada, dan kedua belah pihak tidak memiliki hak atau kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut.
Namun, dalam praktiknya, pembatalan perjanjian ini sering kali memerlukan campur tangan pengadilan. Misalnya, jika salah satu pihak merasa dirugikan oleh perjanjian yang tidak sah, mereka bisa mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta perjanjian tersebut dibatalkan secara resmi. Pengadilan kemudian akan menilai apakah perjanjian tersebut memang melanggar hukum atau tidak, dan jika terbukti melanggar, pengadilan akan menyatakan perjanjian itu batal demi hukum.
Dalam beberapa kasus, pengembalian kondisi ke status quo (keadaan sebelum perjanjian dibuat) mungkin diperlukan. Misalnya, jika uang sudah dibayarkan dalam perjanjian yang tidak sah, pihak yang menerima uang tersebut mungkin diwajibkan untuk mengembalikan uang tersebut kepada pihak lain.
ADVERTISEMENT
Contoh Kasus: Perjanjian Jual Beli Barang Ilegal
Bayangkan ada dua individu yang membuat kesepakatan untuk melakukan jual beli narkoba. Meskipun mereka berdua telah sepakat mengenai harga, barang, dan cara pengiriman, perjanjian tersebut jelas melanggar hukum, karena narkoba merupakan barang ilegal di Indonesia. Oleh karena itu, perjanjian tersebut batal demi hukum.
Jika suatu saat terjadi perselisihan antara kedua pihak, misalnya pembeli tidak membayar sesuai kesepakatan, maka penjual tidak bisa menggugat pembeli di pengadilan dengan alasan perjanjian jual beli. Ini karena objek perjanjian tersebut adalah barang ilegal, sehingga tidak ada perlindungan hukum yang diberikan kepada para pihak dalam transaksi semacam itu.
Sebaliknya, jika barang yang dijual adalah barang legal seperti ponsel atau kendaraan, maka perjanjian tersebut bisa berlaku sah dan mengikat secara hukum, asalkan semua syarat perjanjian lainnya terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak yang Dirugikan
Meskipun perjanjian yang melanggar hukum tidak sah, masih ada pertanyaan tentang perlindungan bagi pihak yang dirugikan dalam perjanjian tersebut. Apakah pihak yang dirugikan berhak atas kompensasi? Dalam hukum, prinsip dasar menyatakan bahwa tidak ada hak yang bisa timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (ex turpi causa non oritur actio).
Namun, dalam beberapa kasus, jika salah satu pihak dapat membuktikan bahwa mereka bertindak dalam keadaan tertipu atau dipaksa, mereka bisa meminta perlindungan hukum. Misalnya, jika seseorang terlibat dalam perjanjian yang melanggar hukum karena ditipu atau diancam, mereka bisa meminta pembatalan perjanjian dan kompensasi atas kerugian yang dialami.
Dalam hukum Indonesia, perjanjian yang melanggar hukum tidak hanya tidak sah, tetapi juga dianggap tidak pernah ada sejak awal. Masyarakat harus memahami bahwa hukum tidak akan memberikan perlindungan bagi perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang atau moralitas. Dengan demikian, kita semua perlu lebih berhati-hati dalam membuat kesepakatan, memastikan bahwa perjanjian yang kita buat tidak hanya sesuai dengan keinginan, tetapi juga tidak melanggar hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT