Konten dari Pengguna

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 Pasal 103 Ayat (4) Huruf E

Irman Ichandri
Guru SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Ketua Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Alumni S1 PPKn Universitas Sriwijaya, Alumni S2 Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang.
21 Agustus 2024 8:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irman Ichandri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh : Irman Ichandri, S.Pd., M.H.
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang bertujuan untuk mengatur berbagai aspek layanan kesehatan di Indonesia, termasuk kesehatan reproduksi. Namun, satu bagian dari peraturan ini, yaitu Pasal 103 ayat (4) huruf e, telah menimbulkan kontroversi yang cukup besar. Bagian ini mengatur tentang layanan kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah dan remaja, yang kemudian memicu perdebatan luas di kalangan masyarakat, ahli, dan pengamat.
ADVERTISEMENT
Pasal 103 ayat (4) huruf e berbunyi penyediaan alat kontrasepsi. Tujuan utama dari pasal ini adalah memberikan akses yang lebih mudah bagi remaja untuk mendapatkan layanan kesehatan reproduksi yang diperlukan. Namun, meskipun niatnya baik, pasal ini memicu kontroversi karena berbagai alasan.
Sumber Foto : Peraturan Pemerintah Nomor 28/2024 Pasal 103 ayat (4)
1. Kekhawatiran Moral dan Sosial
Salah satu argumen utama yang digunakan oleh pihak yang menentang pasal ini adalah kekhawatiran terhadap dampak moral dan sosial. Banyak pihak, terutama dari kelompok konservatif, berpendapat bahwa memberikan akses layanan kesehatan reproduksi kepada remaja bisa memicu perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Mereka khawatir bahwa remaja akan merasa "dilegalkan" untuk melakukan hubungan seksual di usia yang masih sangat muda karena mereka tahu bahwa layanan kesehatan reproduksi mudah diakses.
ADVERTISEMENT
Namun, pandangan ini dapat dianggap sebagai respons yang terlalu berlebihan. Sebagian besar remaja yang mendapatkan akses ke layanan kesehatan reproduksi tidak semata-mata bertujuan untuk melakukan aktivitas seksual, tetapi lebih kepada pemahaman akan tubuh mereka dan cara menjaga kesehatan reproduksi mereka. Pengetahuan dan akses terhadap layanan ini justru dapat mencegah dampak negatif dari ketidaktahuan atau informasi yang salah mengenai kesehatan reproduksi.
2. Hak Remaja terhadap Kesehatan Reproduksi
Di sisi lain, banyak ahli kesehatan dan aktivis hak asasi manusia yang mendukung keberadaan Pasal 103 ayat (4) huruf e ini. Mereka berargumen bahwa remaja berhak mendapatkan informasi dan layanan kesehatan yang komprehensif, termasuk kesehatan reproduksi. Remaja merupakan kelompok yang rentan terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi, termasuk kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, dan kekerasan seksual. Oleh karena itu, akses terhadap layanan kesehatan reproduksi adalah langkah preventif yang penting untuk melindungi mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kasus, kurangnya pengetahuan dan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi dapat berujung pada keputusan yang salah atau bahkan berbahaya. Misalnya, seorang remaja yang tidak mendapatkan informasi yang tepat tentang cara mencegah kehamilan mungkin akan mencari solusi yang tidak aman jika ia mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu, layanan kesehatan reproduksi yang tepat juga dapat membantu remaja dalam menghadapi berbagai masalah kesehatan, seperti menstruasi yang tidak teratur, infeksi, atau kekerasan seksual.
3. Tantangan Implementasi
Meskipun secara teori Pasal 103 ayat (4) huruf e memiliki tujuan yang baik, implementasinya di lapangan dapat menjadi tantangan besar. Salah satu masalah yang mungkin muncul adalah keterbatasan tenaga kesehatan yang kompeten di berbagai daerah, terutama di daerah terpencil. Selain itu, stigma sosial terhadap layanan kesehatan reproduksi bagi remaja dapat membuat mereka enggan untuk mengakses layanan tersebut, meskipun sudah disediakan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif untuk memastikan bahwa layanan ini benar-benar dapat diakses oleh remaja yang membutuhkan. Pemerintah harus memastikan bahwa tenaga kesehatan yang ada sudah terlatih dengan baik dan mampu memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan remaja. Selain itu, program edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat juga perlu digalakkan agar stigma terhadap layanan kesehatan reproduksi ini dapat diminimalisir.
4. Peran Orang Tua dan Pendidikan Seksual
Penting juga untuk mempertimbangkan peran orang tua dalam mendampingi remaja dalam hal kesehatan reproduksi. Salah satu kritik yang sering muncul adalah bahwa PP Nomor 28/2024 ini kurang melibatkan peran orang tua dalam memberikan edukasi dan pengawasan terhadap anak-anak mereka. Padahal, pendidikan seksual yang baik di rumah merupakan fondasi yang penting untuk mencegah berbagai masalah kesehatan reproduksi di kalangan remaja.
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu mendorong program-program yang melibatkan orang tua dalam pendidikan kesehatan reproduksi. Dengan demikian, orang tua dapat menjadi mitra yang aktif dalam memberikan pemahaman yang benar kepada anak-anak mereka, bukan hanya mengandalkan sekolah atau fasilitas pelayanan kesehatan.
5. Kebutuhan akan Kebijakan yang Responsif
Kontroversi yang muncul terkait Pasal 103 ayat (4) huruf e ini menunjukkan bahwa kebijakan kesehatan di Indonesia masih membutuhkan perbaikan agar lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat, terutama kelompok yang rentan seperti remaja. Pemerintah perlu mendengarkan suara-suara dari berbagai pihak dan mempertimbangkan masukan-masukan yang ada untuk menyempurnakan kebijakan ini.
Misalnya, pemerintah bisa mempertimbangkan untuk melibatkan lebih banyak pihak dalam proses sosialisasi dan implementasi kebijakan ini, termasuk komunitas, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan. Selain itu, evaluasi berkala terhadap pelaksanaan kebijakan ini juga penting dilakukan agar dapat menilai efektivitasnya dan mengatasi berbagai masalah yang mungkin muncul.
ADVERTISEMENT
Pasal 103 ayat (4) huruf e dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan telah menimbulkan kontroversi yang cukup signifikan di masyarakat. Meskipun memiliki tujuan yang baik, yaitu memberikan akses layanan kesehatan reproduksi bagi remaja, pasal ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait dampak moral dan sosial yang mungkin terjadi. Namun, penting untuk diingat bahwa hak remaja terhadap kesehatan reproduksi adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi.
Pemerintah perlu melakukan pendekatan yang komprehensif dan inklusif dalam mengimplementasikan kebijakan ini, termasuk melibatkan orang tua, masyarakat, dan tenaga kesehatan dalam prosesnya. Dengan demikian, layanan kesehatan reproduksi bagi remaja dapat benar-benar menjadi alat yang efektif untuk melindungi mereka dari berbagai masalah kesehatan dan membantu mereka dalam menjalani masa remaja dengan lebih baik.
ADVERTISEMENT