Akankah Perang di Gaza Menyulut Timur Tengah

Irsad Irawan
Seniman Gerpolek Gerilya Politik Ekonomi
Konten dari Pengguna
21 Oktober 2023 13:57 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irsad Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Asap mengepul di udara di atas Gaza setelah pemboman Israel, terlihat dari perbatasan Israel dengan Jalur Gaza, di Israel selatan, Senin (16/10/2023). Foto: Amir Cohen/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Asap mengepul di udara di atas Gaza setelah pemboman Israel, terlihat dari perbatasan Israel dengan Jalur Gaza, di Israel selatan, Senin (16/10/2023). Foto: Amir Cohen/REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah Hamas melancarkan serangan yang spektakuler terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, pandangan umum pada awalnya memperkirakan perang tersebut akan tetap menjadi konflik terbatas antara Israel dan Hamas.
ADVERTISEMENT
Israel, Iran, dan Amerika Serikat masing-masing punya alasan untuk menghindari perang yang meluas. Israel sedang sibuk dengan operasi militernya di Gaza,Iran kemungkinan besar ingin menghindari potensi bentrokan dengan Amerika Serikat, dan Washington tidak tertarik dengan konflik regional yang mengganggu stabilitas yang akan mengganggu pasar minyak, memicu ekstremisme, dan akhirnya tidak tertarik perang.
Sementara itu, Hizbullah, sekutu regional terpenting Iran, menghadapi tantangannya sendiri di Lebanon, di mana perang baru dengan Israel dapat memperparah krisis politik dan ekonomi negara tersebut.
Negara-negara tetangga Israel-Palestina juga tidak begitu berminat melihat eskalasi perang ini meningkat. Negara-negara Arab seperti Yordania dan Mesir sudah menghadapi masalah sosio-ekonomi yang akut, yang akan diperburuk dengan datangnya pengungsi.
ADVERTISEMENT
Bagi negara-negara di kawasan Teluk, perang yang meluas akan mengganggu proyek pembangunan ekonomi mereka yang ambisius; hal ini juga dapat menghambat upaya mereka untuk memperbaiki hubungan regional yang rusak dan mengakhiri konflik yang sedang berlangsung di Libya, Suriah, dan Yaman.
Gaza sudah menghadapi krisis kemanusiaan yang parah di tengah pengeboman Israel yang belum pernah terjadi sebelumnya dan perkiraan akan adanya serangan darat, dan sebagian besar Israel menjadi sasaran serangan rudal secara rutin; tidak ada pemain luar yang ingin memperburuk situasi.
Namun pandangan yang beranggapan perang tidak akan meluas, seolah menjadi tidak relevan setelah terjadi ledakan dahsyat pada tanggal 17 Oktober 20233 di rumah sakit al-Ahli di Kota Gaza, tempat sejumlah pengungsi Palestina berlindung.
Kondisi kehancura usai serangan yang menghantam Rumah Sakit Ahli Arabdi Kota Gaza, Rabu (18/10/2023). Foto: MAHMUD HAMS/AFP
Meskipun ada penjelasan yang kontradiktif atas ledakan tersebut dan penilaian Washington bahwa Israel tidak bertanggung jawab, negara-negara di kawasan ini—termasuk Bahrain, Mesir, Yordania, Maroko, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab—dengan tegas mengaitkan ledakan tersebut dengan serangan udara Israel.
ADVERTISEMENT
Protes pecah di kota-kota di seluruh Timur Tengah. Ketika ketegangan meningkat, Amman membatalkan pertemuan puncak yang dimaksudkan untuk mempertemukan para pemimpin Yordania, Mesir, dan Palestina dengan Presiden AS Joe Biden setelah kunjungannya ke Israel.
Namun bahkan sebelum tragedi rumah sakit tersebut, masifnya serangan Hamas dan kenyataan di lapangan ketika perang terjadi di Gaza telah mengubah perhitungan strategis para aktor utama. Pergeseran tersebut membuat eskalasi regional menjadi lebih mungkin terjadi—dan risiko konfrontasi antara Iran dan Israel sangatlah berbahaya.
Dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera pada tanggal 15 Oktober 2023, Menteri Luar Negeri Iran memperingatkan bahwa selama kampanye Israel di Gaza berlanjut, “sangat mungkin bahwa banyak front lain akan dibuka,” dan menambahkan bahwa jika Israel “Memutuskan untuk memasuki Gaza, para pemimpin perlawanan akan melakukan hal yang sama. Akan mengubah Gaza menjadi kuburan tentara pendudukan Israel.”
ADVERTISEMENT
Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei juga menyuarakan ancaman serupa, dengan menyatakan bahwa tidak boleh ada “harapan apa pun” bahwa Iran akan menahan kelompok militan jika serangan Israel terhadap Gaza terus berlanjut.
Beberapa pakar Iran menafsirkan pernyataan ini sebagai sikap politik atau sebagai indikasi bahwa Iran menjauhkan diri dari tindakan mitra non-negaranya, seperti Hizbullah di Lebanon dan kelompok militan Syiah di Irak. Namun kemungkinan terjadinya bentrokan terbuka Israel-Iran tidak dapat dikesampingkan.
Konfrontasi langsung antara Israel dan Iran bukan sekadar skenario hipotetis. Konflik kedua negara sudah terjadi jauh sebelum perang Israel-Hamas saat ini. Selama beberapa dekade, Israel dan Iran terlibat dalam “perang bayangan” yang terjadi di darat, udara, dan laut.
ADVERTISEMENT
Dan selama lima tahun terakhir, setelah AS menarik diri dari perjanjian nuklir Iran pada tahun 2018 dan di tengah kemajuan program nuklir Iran, perang tersebut semakin intensif.
Ilustrasi reaktor nuklir Iran. Foto: AFP/MAJID ASGARIPOUR/MEHR NEWS
Peningkatan tempo serangan tampak seperti eskalasi yang terkendali, dengan masing-masing pihak percaya bahwa mereka mempunyai kekuatan untuk menarik garis batas sebelum permusuhan menjadi terlalu berbahaya.
Kini, perang di Jalur Gaza mengganggu perhitungan para aktor utama yang sudah rumit. Semakin lama konflik berlanjut, maka akan semakin mengurangi peluang untuk bersikap moderat dan meningkatkan risiko konflik Israel-Iran.

Aktor Kunci Masih Menahan Diri dan Berhati-hati

Pada awal perang Israel-Hamas, para aktor utama mengambil posisi yang meredakan kekhawatiran mengenai eskalasi regional. Para pemimpin Israel, yang terkejut dengan skala dan kebrutalan serangan terburuk dalam sejarah negara mereka, fokus pada penghentian ancaman teror dari Gaza saat Negara Zionis itu mempersiapkan operasi militer balasan.
ADVERTISEMENT
Ketika kantor-kantor berita Barat seperti Wall Street Journal melaporkan sehari setelah serangan bahwa Iran “membantu merencanakan” serangan tersebut, pejabat pertahanan Israel dengan cepat menolak klaim tersebut.
Iran diberitakan memberikan bantuan keuangan serta bantuan dan pelatihan militer kepada Hamas, namun para pejabat pertahanan Israel menyoroti kurangnya bukti yang mengkonfirmasi peran jelas Iran dalam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Bahkan ketika komentar dan retorika di kawasan Timur Tengah semakin memanas dan jumlah korban perang meningkat, ada alasan untuk percaya bahwa Iran akan terus berhati-hati. Para pemimpin Iran, yang dilanda penurunan legitimasi dalam negeri dan kesulitan ekonomi, khawatir dengan kelangsungan hidup mereka dan tidak ingin mengambil risiko konflik langsung dengan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Memang benar, sebelum perang ini, Teheran dan Washington fokus pada diplomasi, mencapai perjanjian pertukaran tahanan terbatas yang menyebabkan pencairan beberapa aset Iran. (Pemerintahan Biden dan Qatar, tempat dana tersebut disimpan, menghentikan akses Iran terhadap aset-aset ini pada tanggal 12 Oktober 2023.)
Pengerahan dua kapal induk oleh Washington ke Mediterania timur dimaksudkan untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dengan memperingatkan para pemimpin Iran bahwa jika Iran ikut campur, Amerika Serikat akan merespons.
Sekutu Iran, Hizbullah, juga relatif menahan diri dalam tanggapan awal terhadap perang Israel-Hamas, dengan melancarkan serangan skala kecil yang tampaknya dirancang untuk menghindari eskalasi yang serius.

Bom Waktu

Namun jalannya perang di Gaza mengubah perhitungan keamanan Iran dan Israel, situasi mutakhir akibat perang di Jalur Gaza memungkinkan terjadinya konflik langsung antara Iran dan Israel. Sesungguhnya, bahaya konflik semacam ini sudah semakin besar sebelum perang dimulai.
ADVERTISEMENT
Ketika perang bayangan Israel dan Iran semakin intensif dalam beberapa tahun terakhir, serangan Israel terhadap pasukan proksi Iran di Suriah meluas ke aset angkatan laut dan militer Iran di luar dan di dalam Iran, termasuk serangan signifikan terhadap fasilitas nuklir Iran.
Sebelum perang di Gaza dimulai, kedua belah pihak tampak yakin bahwa mereka dapat mengendalikan eskalasi konflik. Respons Iran terhadap provokasi Amerika Serikat dan Israel—termasuk pembunuhan komandan Pasukan Quds Qasem Soleimani oleh Amerika Serikat pada Januari 2020 dan serangan Israel di Suriah dan Iran—relatif masih terkendali.
Aziz Asmar, salah satu dari dua pelukis Suriah yang menyelesaikan mural pada 3 Januari 2020 setelah pembunuhan komandan Pengawal Revolusi Iran Qasem Soleimani berpose di sebelah karyanya di kota Binnish di provinsi Idlib barat laut. Foto: MUHAMMAD HAJ KADOUR/AFP
Kemudian para pemimpin Israel menafsirkan mereka telah berhasil menghalangi Iran untuk memulai konflik yang lebih luas. Asumsi Israel mengenai Iran semakin mirip dengan asumsi mereka sebelum perang mengenai Hamas di Gaza: Israel percaya bahwa mereka dapat secara berkala menurunkan kemampuan musuhnya—“memotong rumput”—tanpa mengambil risiko pembalasan serius atau perang yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, Iran mungkin percaya bahwa daya gentar negara itu dan kemampuan pencegahannya—termasuk ancaman yang ditimbulkan oleh pasukan Hizbullah terhadap Israel—akan memungkinkan Iran untuk memproyeksikan kekuatan di seluruh kawasan dan mempertahankan program nuklirnya tanpa menimbulkan respons negarif yang signifikan dari Israel.
Protes yang meluas terhadap pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam beberapa bulan terakhir kemungkinan besar memperkuat asumsi Iran bahwa Israel yang melemah tidak akan bermanuver lebih lanjut.
Fakta bahwa Israel dan Iran sama-sama yakin bahwa mereka lebih unggul telah membawa kedua negara tersebut ke jalur yang berbahaya. Masing-masing pihak membayangkan bahwa mereka dapat saling menyerang secara berkala tanpa menimbulkan risiko eskalasi yang tidak dapat dikendalikan.
Saat ini, beberapa hambatan terhadap terjadinya konflik Israel-Iran mungkin sudah mulai runtuh. Jika perang di Gaza saat ini berujung pada serangan besar-besaran Hizbullah terhadap Israel, serangan besar-besaran Israel terhadap Hizbullah, serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran, atau peristiwa serupa lainnya, hambatan yang ada bisa saja hilang.
ADVERTISEMENT
Israel dan Iran dapat memandang perkembangan tersebut sebagai ancaman nyata, sehingga membuat para pemimpin mereka kurang berhati-hati dalam menghadapi konflik langsung.

Akankah Timur Tengah Membara?

Lebih banyak bentrokan antara Israel dan Iran, apalagi perang skala penuh, dapat mengganggu stabilitas kawasan, mengganggu pasar global, menyebabkan kerugian besar bagi warga sipil, melibatkan pasukan AS, dan bahkan mungkin mendorong Iran untuk mempersenjatai kemampuan nuklirnya.
Fakta bahwa perang belum meluas ke seluruh kawasan tidak seharusnya membuat para pemimpin dunia membayangkan bahwa konflik regional di Timur Tengah tidak dapat terjadi. Bagaimanapun juga, asumsi-asumsi rapuh dan ilusi yang mendasari dinamika eskalasi Israel dan Iran cenderung tiba-tiba terganggu oleh kemarahan, kesalahan perhitungan, atau perubahan strategi.
Sejauh ini, Rezim Biden tampaknya memahami risiko dan dengan tepat memprioritaskan pengendalian perang Israel-Hamas dalam tindakan-tindakan diplomatiknya selama seminggu terakhir. Dengan bantuan mitra regional, pemerintah AS juga tampaknya berupaya menjangkau Iran melalui jalur belakang. Komunikasi seperti ini sangat penting untuk menghindari kesalahan perhitungan dan eskalasi militer yang tidak diinginkan.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, konflik ini hanya akan dapat diatasi jika semua pihak mempunyai kepentingan untuk menghindari perang regional. Untuk saat ini, kondisi tersebut tampaknya masih berlaku. Namun tidak ada jaminan bahwa hal ini akan bertahan di masa depan.
Situasi di lapangan tidak menentu, dan perubahan perhitungan strategis di Israel, Iran, atau kedua negara dapat membuat para pemimpin Israel dan Iran percaya bahwa “menghindari konflik yang lebih luas akan lebih berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka daripada saling berhadapan dalam perang”.