Mengenang Tragedi WTC 9/11 dan Hegemoni Amerika Serikat

Irsad Irawan
Seniman Gerpolek Gerilya Politik Ekonomi
Konten dari Pengguna
11 September 2023 14:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irsad Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sebuah pesawat komersial yang dibajak menghantam World Trade Center di New York, AS, pada 11 September 2001. Foto: SETH MCALLISTER/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah pesawat komersial yang dibajak menghantam World Trade Center di New York, AS, pada 11 September 2001. Foto: SETH MCALLISTER/AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada 11 September, tepat 22 tahun silam terjadi serangan teroris paling mematikan dalam sejarah Amerika Serikat (AS). Adalah serangan 11 September 2001 atau dikenal sebagai serangan 9/11.
ADVERTISEMENT
Itu sebuah peristiwa pembajakan pesawat dan kemudian menabrakkannya ke menara kembar di World Trade Center (WTC) di New York dan Gedung Pentagon yang mengakibatkan 2.977 orang tewas. Momen berdarah tersebut mengejutkan Amerika.
Tidak lama berselang, Amerika menuduh bahwa serangan teroris tersebut didalangi oleh Osama Bin Laden dan kelompok teroris Al-Qaeda yang bersumpah akan membunuh seluruh warga Amerika.
Tragedi WTC 9/11 ini kemudian menjadi dalih bagi Amerika meluncurkan perang ke berbagai negara, yang oleh Presdien Bush disebut Global War on Terrorism atau War on Terror. Tragedi 9/11 pada 20 tahun silam, menjadi gerbang awal babak baru bagi politik luar negeri AS, yaitu menggalang kekuatan dalam rangka war on terror (perang melawan teror).
ADVERTISEMENT
AS sendiri telah menewaskan Osama Bin Laden satu dekade silam. Sebagai pimpinan Al Qaeda dan orang yang dituduh oleh AS sebagai dalang serangan yang meruntuhkan dua menara kembar WTC serta jantung pertahanan-keamanan AS di Pentagon, tewasnya Osama bin Laden merupakan hadiah terbesar bagi Paman Sam, khususnya dalam agenda perang melawan terorisme.
Namun tewasnya Osama Bin Laden tidak segera merta diikuti oleh penarikan pasukan Amerika di Afghanistan dan Irak, serta tidak berarti pula melemahnya intervensi militer Amerika di Kawasan MENA (Middle East dam North Africa). Bahkan, militer AS baru ditarik penuh pada 2021 dari Afghanistan yang ironisnya menyebabkan negara tersebut dikuasai kembali oleh Taliban yang digulingkan AS atas nama war on terror.
ADVERTISEMENT
Pada paruh awal abad 21, dalam konteks hubungan antar-bangsa, Politik Luar Negeri (PLN) AS dipandang cenderung memperkuat peran hegemonik AS di dunia daripada sebelumnya.
Pada 1997 atau empat tahun sebelum peristiwa 9/11, sejumlah tokoh Neo Conservative (NeoCons) yang juga pendukung “Industrial Military Complex" telah membentuk atau merancang apa yang disebut dengan the Project for the New American Century (PNAC).
Banyak analisis politik pada waktu yang menyebutkan bahwa PNAC berusaha keras untuk merumuskan PLN AS yang diperbarui. PLN yang diperbarui ini bertujuan untuk mempertahankan dan memajukan supremasi cum hegemoni AS dengan segala cara.
Pasca 9/11, sayap kanan atau kelompok NeoCons di Pemerintahan Bush telah menggunakan ide war on terror untuk memajukan ide mereka untuk memperkuat hegemoni Amerika dalam rangka untuk mencapai supremasi di segala bidang.
ADVERTISEMENT
NeoCons menginginkan suatu tatanan dunia yang unipolar, di mana Amerika Serikat dapat bertindak “imposes the rules but, because of its own self-evident goodness, it’s not necessary bound by them”. Diperbolehkan juga bertindak secara unilateral, jika Tindakan sepihak itu berguna bagi kepentingan AS.
Sejak tragedi 9/11, AS di bawah kepresidenan Bush telah menjalankan kebijakan “internasionalis sekaligus unitelaris”. Misi internasionalis dengan selubung demokratis pertama kali digencarkan oleh Presiden Woodrow Wilson: “a man who believed that only by interfering in the affairs of the other nations could the United States wage its campaign of self-determination for all peoples".
Doktrin Bush tentang “preemptive strike” dan uniteralisme sejalan dengan visi mendiang Woodrow Wilson. Penekanan terhadap unilateralisme lebih jauh diungkapkan oleh Bush dalam pidatonya pada 29 Januari 2002. Sebagai jawaban atas apa yang Bush sebut “Axis of Evil”, ia berkata AS “will do what is necessary to ensure our nation’s security".
ADVERTISEMENT
PLN AS yang “go it alone” tersebut sesungguhnya dikembangkan dari jaringan NeoCons yang sering disebut sebagai “neokonservatif “dan “neo-imperialisme”. Ada tiga hal penting dalam doktrin Bush yang imperialistis tersebut. Pertama, ambisi global Amerika untuk menjadi “Pemimpin Dunia” yang aktif dan didengar serta dipatuhi segala kehendaknya.
Kedua, Amerika Serikat akan melakukan perubahan rezim di negara-negara yang dianggapnya tidak sehaluan karena dianggap membahayakan kepentingannya. Ketiga, memaksakan prinsip-prinsip demokrasi liberal yang dianutnya ke seluruh penjuru dunia.
Amerika Serikat tampaknya ingin melahirkan semacam struktur "bipolar" baru di bawah kepemimpinan hegemonis negaranya sendiri. Hal ini tentu saja memperumit pola-pola hubungan antar negara-bangsa.
Pernyataan Presiden Bush, "either you are with us or you are with the terrorists," secara hitam putih menggambarkan dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil). Pemilahan dunia sepihak tersebut tentu saja mempersulit posisi banyak negara, khususnya negara-negara Dunia Ketiga yang tidak sekadar menjadi satellite AS.
ADVERTISEMENT
Setelah serangan 9/11 Amerika Serikat membayangkan tatanan dunia bipolar di bawah hegemoninya dam menampilkan dirinya sebagai negara super power tunggal yang meyakini bahwa pendekatan militer merupakan pendekatan terbaik dalam memenuhi dan melindungi kepentingan-kepentingan keamanannya.
Agresi Militer dan Penggulingan Kekuasaan di Afghanistan dan invasi ke Irak, merupakan contoh nyata. Military Approach terlihat jelas melalui peran Pentagon yang dominan dalam menjalankan PLN AS, serta adanya peningkatan bantuan militer kepada pemerintah di negara-negara yang diharapkan AS bisa menjadi mitra dalam war on terror, seperti Pakistan, Filipina, dan negara-negara di Timur Tengah.
Menanggapi situasi internasional dan PLN AS pasca 9/11, Immanuel Wallerstein berpendapat meski Amerika masih menggenggam supremasi, peran AS sebagai kekuatan Global telah memudar sejak dekade 1970-an. Ia berpendapat bahwa Presiden Bush sedang meneruskan PLN yang neo-imperialis dan sesungguhnya membahayakan Amerika sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, penulis ingin mengulang kembali bahwa 9/11 digunakan AS untuk melancarkan unilateralisme dan proyek-proyek Neokonservatif. Peristiwa 9/11 telah mengubah postur politik global dalam kerangka war on terror.
Narasi Presiden Bush dalam konteks Axis of Evil mendorong langkah unilateral Amerika Serikat dan sekutunya dalam perang di Afghanistan, Irak, Libia, Suriah, dan lain sebagainya.
Namun, 20 tahun pasca tragedi 9/11, kekuatan hegemoni Amerika Serikat semakin menurun. Beberapa kekuatan negara-negara powerfull lama terus menanjak, dan beragam aktor baru terus bermunculan. Perkembangan politik Global 20 tahun ke depan akan diwarnai pola relasi dinamis antar negara-negara yang terkonsentrasi di kawasan.